SYAHADAT CIREBON & WAFATNYA KI GEDENG KEMUNING

Cirebon – menaramadinah.com
Suatu ketika Ki Gedeng Plumbon berguru agama Islam pada Sunan Gunung Jati, namun dari hari ke hari, bulan ke bulan rupanya yang diajarkan oleh Sunan Gunung Jati hanya kalimat Syahadat saja. Tentu saja hal ini membuat Ki Gedeng Plumbon merasa sia-sia, karenaya beliau pun akhirnya pamit Pulang ke Plumbon.

Ki Gedeng Plumbon berprasangka bahwa Sunan Gunung Jati sesungguhnya bukan seorang Wali yang layak dijadikan sebagai guru, sebab Sunan Gunung Jati dianggap tidak mempunyai ilmu yang cukup untuk diajarkan kepada muridnya. Lagipula Ki Gede Pelumbon merasa bahwa jangankan membaca dua klimat Syahadat, membaca doa-doa yang panjang pun beliau sanggup.

Ditengah perjalanan Pulang, Ki Gedeng Plumbon bertemu dengan Ki Gede Kemuning.

Setelah saling menyapa Ki Gede Plumbon kemudian bertanya pada Ki Gede Kemuning yang waktu itu mambawa serta anaknya Arya Salingsing, “ Saudaraku hendak kemanakah perginya tuan?” yang ditanya kemudian menjawab “Kami bermaksud pergi ke Cirebon, sebab Kabarnya disana ada wali Allah, kami hendak berguru padanya”.

Mendengar jawaban itu, Ki Gede Plumbon kemudian berkata “Kalau kalian hendak berguru, berguru lah pada yang lain, sebab wali Cirebon itu hanya mengajarkan kalimat Syahadat saja. Telah berbulan-bulan ku tunggu masih itu saja yang diajarkan, hanya dua kalimat itu saja. Karena tak ada pelajaran lainnya aku mohon pamit”.

Mendengar arahan dari Ki Gede Plumbon, Ki Gede Kemuning kemudian berkata “Biarlah, yang kuinginkan hanyalah agar dapat menerima kalimat Syahadat dengan baik” dan setelah itu Ki Gede Kemuning pun kemudian pergi bersama anaknya melanjutkan perjalanan.

Setelah lamanya waktu belajar di Gunung Sembung, Ki Gede Kemuning kemudian mohon diri kepada Sunan Gunung Jati untuk pulang ke tanah kelahirannya, sebab beliau merasa pengajaran yang diberikan Sunan Gunung Jati kepadanya telah dapat diserap oleh sanubarinya.

Bersama anaknya Arya Salingsing, Ki Gede Kemuning kemudian bertolak menuju kampung halamannya, tapi rupanya dalam perjalanan keduanya kembali bertemu dengan Ki Gede Plumbon, merekapun kemudian saling menyapa dan sejenak bercakap-cakap dalam tengah perjalanan.

Tapi, rupanya takdir berkata lain, dalam suasana temu sahabat lama itu, rupanya Ki Gede Kemuning tiba-tiba ambruk ke tanah, beliau wafat seketika. Yang menjadi aneh, tiba-tiba jasad Ki Gede Kemuning menggelembung, membengkak sebesar Bedug.

Ki Gede Plumbon kemudian berkata kepada Arya Salingsing “Apa kataku juga, aku telah melarang kalian untuk pergi berguru kepada Sunan Gunung Jati, tapi bapakmu ini amat keras adatnya, tidak mau menurut apa kataku” dalam kondisi masih kaget, Arya Salingsing tidak mengucapkan sepatah katapun.

Tidak lama kemudian, Jenazah yang dulunya membengkak itu kemudian kembali menyusut seperti semula, tampak jasad itu bercahaya, menakjubkan yang melihatnya. Dan tak lama kemudian jasad itu menjadi kecil, dan terus-terusan menjadi kecil hingga menyerupai kuncup bunga melati. Jenazah itu harum baunya.

Ki Gede Plumbon pun kemudian merasa takjub, dan heran, ia pun kemudian menanyakan kepada Arya Salingsing tentang ilmu apa yang diajarkan oleh Wali, sehingga bapaknya wafat dalam keadaan Indah. Arya Salingsing kemudian menjawab “Sesungguhnya selama berbulan-bulan di Gunung Sembung, kami hanya diajarkan 2 Kalimat Syahadat”.

Mendapati jawaban tersebut, Ki Gede Plumbon menangis, ia telah berprasangka buruk pada Wali, iapun kemudian bertolak ke Gunung Sembung untuk bertaubat dan kembali berguru kepada Sunan Gunung Jati untuk mendapatkan ilmu yang sejati. (hsn)

Sumber : Naskah Mertasinga.