Bantahan Itsbat dan Ingkarnya Imam Madzhab (Terhadap Nasab Ba ‘alwi)

oleh : Hamdan Suhaemi.

Dalam haul Habib Soleh Tanggul yang ke 48 ada seorang habib yang mengisi sambutan. Dalam sambutannya ada narasi tentang sikap 4 Imam Madzhab Ahli Sunnah wal Jama’ah yang tidak mengingkari nasab Ubaidillah yang tersambung hingga ke Rosulillah S.a.w dari jalur Sayid Ahmad al-Muhajir.

Berkali-kali saya lihat dan dengar agar bisa memahaminya ucapannya tersebut, tetapi otak ini belum bisa menerima apakah bisa orang hidup menyaksikan orang yang belum lahir, atau orang yang sudah meninggal duluan tapi menyaksikan yang lahir belakangan ?.

Pertanyaan yang mengarah pada logika sejarah juga, apa ada orang yang wafat di tahun 200 Hijriyah mengenali dan bahkan menyaksikan orang yang hidup di tahun 300 Hijriyah, atau ibarat kritik Imam al-Ghozali yang hidup di tahun 1100 Masehi menulis kitab Tahaffut al-Falasifah tapi mengkritik kitab karya Imam Ibnu Rusyd yang hidup di tahun 1200 Masehi, harusnya yang kritik itu Ibnu Rusyd yang hidup di tahun 1200 kepada pemikiran Imam al-Ghozali yang wafat di tahun 1111 Masehi.

Jangankan bicara itsbat bahkan ingkar pun tidak pernah ada dialami oleh para Imam Mujtahid Mutlak itu terhadap sadah Ba’Alawi, kecuali jika salah satu Imam mujtahid mutlak itu pernah ketemu dengan Sayidina Imam Ali Zaenal Abidin bin Sayidina Imam Husain, karena kehidupannya di era abad 2 Hijriyah, kalau seperti Imam Ahmad bin Hambal mungkin bertemu dengan para keturunan Sayidina Imam Ali Zaenal Abidin tersebut, seperti Sayidina Imam Ja’far Shodiq, karena tahun hidupnya sama di abad ke 3 Hijriyah.

Imam Abu Hanifah yang lahir pada 80 H atau 699 M, adalah putera Tsabit bin Zutha al-Kufi di Kota Anbar Provinsi Kufah, ayahnya memberi nama Nu’man, yang kemudian ketika menjadi Imam mujtahid mutlak lalu masyhur dengan sebutan Imam Abu Hanifah, sang imam ini dalam hidupnya tidak menulis karya tulis seperti umumnya ulama menulis kitab, tetapi buah pikiran dan hasil ijtihadnya dituangkan oleh murid-muridnya di beberapa karya antara lain, al-Fiqhu al-Akbar, al-Fiqhu al-Absath, al-Risalah, al-Washiyah. Kitab-kitab tersebut membahas fiqih atau yurisprudensi Islam, tidak bahas bidang lainnya dari pijakan kitab itulah madzhab Hanafiah berkembang hingga sekarang terutama di Turki.

Imam Malik adalah Mujtahid mutlak setelah Imam Abu Hanifah, yang lahir pada 95 H atau 713 M di Kota Madinah dari ayah bernama Anas bin Amir. Imam Malik bin Anas ini salah satu muridnya Imam Abu Hanifah, kedua tokoh Mujtahid ini bertemu dalam posisi guru dengan murid, meski Imam Abu Hanifah berada di Kufah sedangkan Imam Malik di Madinah, tetapi dalam kaitan belajar tidak kenal istilah kejauhan, karena kemasyhuran Imam Abu Hanifah menarik Imam Malik yang di Madinah untuk belajar kepadanya, kira-kira 1400 km jarak dari Madinah ke Kufah Irak. Karya monumental Imam Malik itu adalah al-Muwatho, kitab tebal tentang hadits Nabi S.a.w.

Imam Syafi’i adalah Imam Mujtahid mutlak berikutnya setelah Imam Malik, yang lahir di Gaza Palestina pada tahun 150 H atau 767 M dari ayah bernama Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’i bin as-Saib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin Abdul Mutholib. Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i ini muridnya Imam Malik, setelah belajar kepada Imam Sufyan bin Uyainah dan Imam Muslim bin Khalid di Mekkah. Ia dijuluki Nashiru al-Sunnah yakni sang pembela sunnah, sekaligus Mujtahid mutlak yang mengokohkan madzhab Ahli Sunnah wal Jama’ah. Karyanya yang monumental adalah kitab al-Umm dan ar-Risalah, isinya tentang fiqih dan ushul fiqih.

Imam Ahmad bin Hanbal adalah yang terakhir dijuluki sebagai Mujtahid mutlak dari 8 orang imam mujtahid, seperti Imam Sufyan Tsauri, Imam Abu Hanifah, Imam Sufyan bin Uyainah, Imam Daud al-Dahiri, Imam Ibnu Jarir al-Thobari, Imam Malik dan Imam Syafi’i. Imam Ahmad lahir pada tahun 164 H atau 781 M dari ayah bernama Muhammad bin Hanbal bin Hilal di Baghdad Irak, kemudian di tahun 241 H atau 855 M sang Imam nashiru Sunnah ini wafat di Baghdad Irak.

Catatan sejarah kelahiran para Imam Mujtahid mutlak di atas tersebut dimaksudkan agar diketahui bahwa antara kehidupan para imam madzhab kita ini dari tahun 80 Hijriyah hingga 241 Hijriyah, sementara dzuriyat Rosulullah seperti Sayid Isa al-Rumi saja wafatnya pada 298 Hijriyah itu pun ayah dari Sayid Ahmad al-Muhajir yang wafatnya tahun 345 Hijriyah.

Lalu, bagaimana keempat Imam madzhab Ahli Sunnah wal Jama’ah itu melakukan kesaksian hingga tidak ada mengingkari atau itsbat akan kehidupan Ubaidillah ini yang oleh penceramah habib tersebut adalah anak dari Sayid Ahmad al-Muhajir, leluhur Ba’Alawi yang diklaim sahih sebagai anak Sayid Ahmad al-Muhajir, padahal dalam kitab nasab tidak tercantum nama Ubaidillah anak dari Sayid Ahmad al-Muhajir.

Mari kita yakini bahwa nama tokoh yang berkaitan dengan keluarga Rosulullah S.a.w tidak mungkin luput dari catatan ulama para ahli nasab, karena itu pasti tercatat oleh kitab-kitab nasab sadatul asyraf ( keturunan Rosulullah S.a.w ) oleh banyak ulama pakar nasab atau ahli sejarah. Namun nama Ubaidillah ini tidak tercatat sebagai anak Sayid Ahmad al-Muhajir, karena hanya 3 anaknya, Muhammad, Husain dan Ali . Meskipun barangkali Ubaidillah ini anak dari istrinya Sayid Ahmad al-Muhajir yang lainnya. Tetapi wajib menyodorkan penjelasan atau catatan yang valid dengan data akurat, dari beberapa manuskrip yang ditulis sekitaran 380 hingga 400 Hijriyah.

Kesimpulannya, tidak benar 4 Imam madzhab ahli sunnah wal jama’ah melakukan itsbat atau inkar kepada Ubaidillah bin Sayid Ahmad al-Muhajir, karena memang tidak ada nama Ubaidillah tersebut di Kitab-kitab nasab adalah putera dari Sayid Ahmad al-Muhajir.

Weliwis, 22 April 2024