Sains Lailatul Qadar

 

Catatan : Prof. Dr. Fahmi Amhar
Anggota Dewan Pakar Ikatan Alumni Program Habibie.

Di bulan Ramadhan ada malam-malam spesial, di sepuluh hari terakhir, khususnya Lailatul Qadar (LQ), yang pahalanya senilai 1000 bulan. Datangnya LQ sesuai Hadits yang mengatakan “Rasulullah beri’tikaf di sepuluh hari terakhir Ramadan” dan “Carilah Lailatul Qadar pada 10 malam terakhir bulan Ramadan” (HR Bukhari). Ada juga hadits bahwa LQ terjadi pada malam ganjil.

Surat Al-Qadar ayat 1 mengatakan bahwa di malam itu diturunkannya sesuatu yang amat penting. Apakah yang dimaksud adalah Al Qur’an? Bukankah wahyu turun berangsur-angsur? Bukankah al-Qur’an kini sudah selesai? Tak heran beberapa mufassir memahami bahwa di LQ itu Allah menurunkan hikmah, pertolongan, ataupun sesuatu yang penting bagi perjalanan hidup hambanya, dan ini akan terus ada sampai kiamat tiba.

Ada yang mencoba mendekati LQ secara fisik. Semisal bahwa malam LQ adalah “baljah” (langit cerah, tidak tampak meteor, suhunya nyaman), dan esok harinya matahari keluar dengan sinar yang lembut.

Menurut hemat penulis, secara saintifik ada tiga hal yang menjadi pertanyaan, yang ini seharusnya mendorong seorang ilmuwan untuk meneliti lebih serius.

Pertama, bumi itu bulat, dan malam tidak terjadi serentak. Bahkan, pada musim panas, ada beberapa lokasi yang dihuni manusia, yang tidak merasakan malam sama sekali.

Kedua, bahwa awal Ramadhan masih sering tidak serentak karena belum ada sistem kalender atau metode itsbat rukyatul hilal yang diterima secara aklamasi. Pula saat ini tak ada lagi seorang khalifah yang keputusannya otoritatif di seluruh dunia Islam. Seperti tahun ini. Karenanya menjadi membingungkan, kapan sepuluh hari terakhir Ramadhan, apalagi malam ganjilnya ?

Ketiga, tentang tiada hamburan meteor, cuaca nyaman, dan esoknya matahari bersinar lembut, maka ini perlu pengamatan objektif secara terus menerus yang merata. Semisal dengan data arsip satelit-satelit cuaca. Tidak bisa diserahkan secara subjektif pada segelintir orang yang kebetulan berburu LQ.

Dari tiga hal ini, timbul pertanyaan: apakah LQ itu sangat lokal: hanya di lokasi yang sedang malam saja, yang malam ganji, dan tidak sedang tertutup awan? Sulit menjawabnya secara saintifik.

Namun kalau menelisik hadits-hadits LQ, maka tampak bahwa:

Pertama, hadits-hadits ini tidak qath’iy, baik dalam riwayat maupun dalalah. Jadi memang sulit dicarikan legitimasi objektif empiris sebagaimana sifat sains.

Kedua, kemungkinan LQ ini akan menjadi pengalaman spiritual yang subjektif bagi pelaku ibadah yang memang serius, khusyu’ dan ikhlas. LQ bukan fenomena yang berlaku bagi setiap orang yang kebetulan beribadah di malam yang sama. Allah memilih hambanya yang pantas untuk diturunkan sesuatu atasnya, dan malaikat atas izin-Nya mengatur segala urusannya. Boleh jadi hambanya tersebut adalah seorang ibu yang sedang merawat bayinya. Boleh jadi dokter yang sedang menyelamatkan pasiennya. Boleh jadi hakim-hakim MK yang ingin memutus perkara secara bijaksana.

Maka tak tepat pula orang yang menunda melaksanakan kewajiban atau kebaikan, karena ingin dilakukan pas malam LQ. Bukankah tetap lebih baik untuk kewajiban atau kebaikan itu disegerakan, karena kita tidak pernah tahu ujung usia kita? Jangan-jangan usia kita tak sampai di malam LQ?

Kemudian urusan yang Allah turunkan malaikat atas kita, itu boleh jadi sudah Allah berikan dalam trilyunan sel sehat di tubuh kita, aliran darah yang lancar, nafas yang lega, mata yang terang, dan pikiran yang jernih.

Jadi, LQ tak perlu ditunggu legitimasi saintifiknya. Marilah kita berlomba mengisi hari-hari kita dengan amal shaleh. Semoga Allah terima ibadah kita semua, dan dilipatgandakan faedahnya di malam Lailatul Qadar.

_Kedaulatan Rakyat, 3 April 2024_