Jatuh Cinta Dalam Pilihan Politik

 

(Dr. Laurensius Laka, M.Psi.)

 

Alkisah, bertanyalah seorang awam kepada seorang mahasiswa prodi filsafat, “Coba sebutkan berapa jenis manusia didasarkan pada kesulitannya menerima nasihat!” Mahasiswa calon filsuf itu pun tampak termenung sejenak, menarik nafas panjang sambil menggaruk-garuk kepalanya. “Mudah saja,” jawab sang calon filsuf itu, “ada dua golongan manusia yang sangat sulit untuk dinasehati, yang pertama adalah golongan manusia yang sedang jatuh cinta, dan yang kedua adalah golongan manusia yang melabeli dirinya sebagai pendukung capres tertentu.” Orang awam itupun tertawa lepas mendengar jawaban sang mahasiswa, yang usut punya usut, rupanya orang awam ini adalah anggota group WA, dimana sebagian dari kita juga sama-sama menjadi anggota dari group WA itu. Gambaran dari hingar-bingar dan kehebohan di group-group WA, itu pula yang memantik penulis berkelakar melalui artikel sederhana ini.

Terkait dengan golongan manusia yang pertama, bagi kita yang lahir antara tahun 1965 sampai 1980, yang tergolong “Generasi X” (seperti penulis artikel ini, dan barangkali juga para pembaca), fenomena jatuh cinta mungkin menjadi lebih mudah dilukiskan lewat lagu kenangan karya Titiek Puspa, berjudul Cinta. Sepotong lirik lagu karya Titiek Puspa dimaksud berbunyi, “Jatuh cinta berjuta rasanya; Biar siang biar malam terbayang wajahnya; Jatuh cinta berjuta indahnya; Biar hitam biar putih manislah nampaknya” dan seterusnya.. oh repotnya. Lagu ini pernah bertengger di papan atas dalam Festival Lagu Populer Indonesia 1974, yang kala itu dibawakan oleh Simon Dominggus Pesulima, atau yang lebih dikenal dengan Broery Marantika. Lagu yang sungguh indah, dengan lirik yang begitu ‘ringan’ untuk dicerna semua kalangan, sehingga tak heran lagu ini sukses menembus batas waktu. Lagu yang menggambarkan betapa seseorang yang sedang ‘mabuk kepayang’ melambungkan khayalan, merekahkan kasih, mengikatkan rindu penuh kasmaran, sehingga seolah-olah dunia hanya milik berdua, yang lain cuma numpang saja, ohhh… asyiknya. Begitulah gambaran dari orang-orang yang sedang dimabuk asmara. Sambil membaca artikel ini, para pembaca juga dipersilakan untuk melakukan relaksasi dengan menghidupkan memory lama bersama sang mantan, baik mantan yang sudah ‘terlanjur’ menjadi pasangan hidup, atau mantan yang doeloe sempat masuk halaman rumah dan mengisi daftar panjang dari rangkaian kenangan.

Begitu pula fenomena yang terjadi pada orang-orang yang melabeli dirinya sebagai pendukung capres/cawapres, yang sedang ‘mabuk karisma capres/cawapres’ tertentu. “Biar siang biar malam memuji-muji capres/cawapres pilihan hatinya… ohhh asyiknya.” Indikator ‘mabuk’ itu juga menunjukkan perilaku yang mirip dengan orang-orang yang sedang kasmaran. Pada orang-orang yang sedang ‘mabuk karisma capres/cawapres’ tertentu, mereka menunjukkan perhatian ekstra pada pasangan capres/cawapres pilihannya, menunjukkan dorongan kuat untuk memberitakan kehebatan pasangan capres/cawapres pilihannya, mengekspresikan kebahagiaan melalui kehadiran dalam aktivitas kampanye pasangan capres/cawapres pilihannya, mengekspresikan rasa hormat dan kepercayaan yang mendalam terhadap kapabilitas pasangan capres/cawapres pilihannya, bahkan mungkin hingga kehilangan konsentrasi disebabkan distraksi akan pentingnya memenangkan pasangan capres/cawapres pilihannya. Lihatlah, sejumlah indikator ‘mabuk’ itu mewujud di media-media sosial melalui intensitas postingan dan muatan isi (content) postingan itu sendiri. Misalnya, setiap postingan yang menunjukkan haluan politik yang sama langsung ditanggapi dan diulangi. Setiap postingan yang ‘meng-high light’ pasangan capres/cawapres pilihannya selalu menyajikan informasi mengenai hal-hal yang baik-baik saja (cenderung bernada pujian), dan sekiranya pernah ada ‘track record’ mengenai hal-hal yang kurang baik, maka biasanya diabaikan atau bahkan dibantah oleh orang-orang yang ‘mabuk karisma capres’ tertentu tersebut. Alhasil, group WA sungguh-sungguh menjadi mirip pertarungan antar politikus kawakan, yang kalap menagih janji, menunjukkan alternatif solusi (meski sama-sama menyadari tidak ada saluran apapun untuk sampai ke meja pemegang otoritas), menilai tinggi kapabilitas sang capres/cawapres pilihannya, hingga sorak-sorai diksi “menang satu putaran” versus menolak hasil survey dari sejumlah lembaga yang kian marak dihidangkan ke ruang publik.

Entahlah, bagaimana tajamnya adu argumentasi serta dampaknya dalam hitungan beberapa hari ke depan, terlebih-lebih pada fase pemungutan dan perhitungan suara pada tanggal 14-15 Februari 2024 mendatang. Acara debat capres/cawapres terbukti sukses membius dan merambah ke berbagai media sosial, terutama di group-group WA. Beragam isu sosial dan politik yang aktual, dan strategi para capres/cawapres dalam menanggapi isu-isu tersebut, terbukti juga sukses memengaruhi pandangan di tingkat akar rumput.  Oleh sebab itu, terdapat sejumlah ‘prinsip umum’ yang seharusnya membimbing para capres/cawapres dalam berdebat, yaitu pahamilah secara mendalam dampak dari isu-isu tersebut terhadap masyarakat, berupayalah untuk fokus pada kebijakan (policy) dan solusi konkret, hindarilah retorika yang dapat memprovokasi antar pasangan capres/cawapres, berkontribusilah dalam menciptakan iklim politik yang kondusif dengan menghindari kampanye adu domba, serta tekankanlah pentingnya persatuan dan solidaritas sebagai ‘modal’ untuk membangun citra pemimpin yang dapat menyatukan masyarakat di tengah kemajemukan.

Tulisan ini tidak bermaksud melarang seseorang untuk jatuh cinta, sebab itu baik adanya, justru setiap kita harus mengusahakan cinta agar terus bertumbuh dan berbuah tanpa mengenal musim. Tulisan ini juga tidak bermaksud melarang seseorang untuk bersikap fanatik terhadap pilihan politik, namun menyarankan agar tetap menempatkan cinta di atas pilihan politik itu, sembari menambahkan bumbu kesadaran bahwa “siapapun yang nantinya terpilih” beliau adalah Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan Republik Indonesia tercinta. Dengan demikian, black campaign, penyebaran berita hoax, fitnah sana-sini karena terbawa emosi, money politic, isu SARA, dan berbagai potensi pelanggaran kampanye, serta ‘peperangan’ di media-media sosial dapat direduksi. Usaha menurunkan tensi politik tidak berarti menurunkan partisipasi politik, atau bersikap apatis terhadap kehidupan politik, tetapi mengajak dan menjauhkan diri dari agresivitas (perilaku yang sengaja diarahkan untuk ‘menyakiti’ pihak lain), sehingga perilaku demokrasi setiap manusia Indonesia diharapkan senantiasa selaras dengan cita-cita bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

 

Edisi kontemplasi detik-detik pergantian tahun 2023-2024

Dr. Laurensius Laka, M.Psi., Pemerhati Sosial dan Pendidikan.