Menelusuri Jejak Tuan Tanah 125 Hektar di Bondowoso…

Menelusuri jejak keberadaan keluarga tuan tanah Tempo Doeloe di Kabupaten Bondowoso serasa waktu berhenti sejenak. Berikut ini laporan Azka dari Bondowoso :

 

Saat kaki saya melangkah ke halaman yang luas di penuhi beberapa pohon buah, seperti mangga , Jambu, rambutan, juga pohon sukun tua yang masih rindang.

Kesan halaman yang kurang terawat, seakan menyapu sejarah. Pemilik rumah di Cindogo Bondowoso ini dulu bernama KH.Sulaeman. Memiliki anak laki dan perempuan. Yang laki laki KH.Abdurrachman kuliah di Belanda.

” Dulu cuma ada 2 mobil di kota ini, milik Wedono dan Pak Kyai. Selebihnya mobil tentara compeni dan perkebunan Belanda, papar Hj.Tut cicit KH.Sulaeman, yg masih terlihat sehat di usia 86 tahun.

Makin ke dalam saya teresona dengan bangunan sentuhan arsitek kolonial peninggalan tahun 1920 an atau pra kemerdekaan.

Rumah kembar ini kokoh dengan dominasi kayu jati tua.

Masuk ke teras yang sejuk nampak khas bangunan loji yang belakangan di pakai tempat administratur pegawai perkebunan.

Saya permisi masuk ke ruang tamu disambut hangat Bude Tut mantan guru didikan tulen Belanda.

Mata saya terus menyapu seluruh ruang. Dipojok masih bertengger gramophone, yang biasa di gunakan memutar musik piringan hitam.

” Cucu cicit banyak tersebar, ada di Surabaya, Yogya, Jakarta bahkan Italy . Paling tidak sekali setahun ngumpul saat libur Hari Raya,” cerita Bude Tut.

Eksplorasi saya berlanjut ke ruang belakang. Saya berdecak. Wow…ada pohon durian montong di halaman belakang dan sedang lebat berbuah.

” Maaf..nikmatnya menyantap tidak aku ceritakan di sini, ha…ha..

Lupakan sejenak soal durian. Kita kembali ke tuan tanah yang bernama
KH.Sulaeman.
Selain tokoh agama beliau adalah seorang pedagang dan petani yang gemar membeli lahan lahan pertanian. Mulai dari kerjasama model tradisional sampai yang semi modern. Atas ketekunannya selama beberapa puluh tahun, tidak kurang dari 125 hektar lahan pertanian subur di wilayah Cindogo, Prajekan, Tapen semuanya masuk di wilayah Bondowoso, berada dalam genggamannya.

Menurut cerita Hj.Tin Atikatun cicit KH.Sulaeman yang saat ini berusia 83 dan masih gemar menyantap sate gule, para cicit se tahun sekali paling tidak menjenguk kakaknya , Bude Tut ( 87 tahun) masih tinggal di rumah kolonial Arsitek Cindogo.

“Dulu keluarga kami menguasai 125 hektar, sampai ada kebijakan landreform , sampai tinggal 10 hektar. Di mana masing masing anak di beri oleh pemerintah 2 hektar saja. Kami 5 bersaudara, ” papar Hj.Tin yang mantan isteri Kajari Sabang.

Menelusuri rumah tua di Cindogo kita serasa di putaran waktu tahun 20 an.
Dua rumah kembar ini masih mempesona, indah, eksotik dan terawat.

Bangunan yang berdiri diatas lahan lebih dari 3000 m2 ini memiliki halaman yang luas dengan beberapa tanaman hias.

” Dulu saat saya kecil, halaman penuh dengan pohon buah buahan. Ada rambutan, mangga, jambu air, jambu jamaika, nangka, juga pohon sukun yang menjulang tinggi masih bertahan sampai sekarang,” tutur Ivon generasi ke 4 KH.Sulaiman.

Keluarga KH.Sulaeman memiliki putra dan putri. Salah satu yang bernama Hj.Ruhaniah menjadi menantu KH Abi Sujak ( Pahlawan Nasional) dari Sumenep. Putranya KH.Abdus syukur inilah yang kelak meneruskan bisnis dagang dan pertanian.

Menurut Hj.Tin , Kakak KH.Abdus Syukur bernama KH. Abdurrachman pernah kuliah di Amsterdam Belanda, namun sayang setelah lulus dan bekerja di Amsterdam meninggal di sana ..itu sebelum kemerdakaan.

MAKAM KELUARGA

Dibelakang rumah kembar yang berada di sisi timur ini mesti terawat dan bersih namun sudah lama di biarkan kosong.

” Sudah puluhan tahun tidak dihuni tapi tetap di cat dan di bersihkan,” papar Hj.Tin cicit KH.Sulaeman.

Ada makam keluarga tepat di bawh pohon sukun yang rindang. Kesan angker tak bisa di hindari saat senja beranjak malam.

Rumah tua dengan sejarahnya seakan bertutur, saat tiba tiba kelambu tersingkap mendadak..dan suara langkah berlari menuju tembok….

” Nginap di sini? Tanyaku ke isteri.

…nginap.??

Pulang !! Sekarang!!
###