SURABAYA – Dua penyair legendaris Indonesia tampil menawan di panggung. Apalagi puisi mereka tergolong puisi yang memang cocok digemakan di hadapan khalayak. Ya, penyair Pelopor Angkatan 66, Taufiq Ismail (88 tahun), dan penyair celurit emas dari Sumenep, D. Zawawi Imron (78 tahun), tampil bergantian membacakan karya-karya berkualitasnya di Auditorium Tower lantai 9, Universitas Nahdlatul Ulama (Unusa) Surabaya, Senin (29/5) siang.
Masih dalam rangkaian hari Kebangkitan Nasional, acara Parade Pembacaan Puisi kali ini mengusung tema Kebangkitan Bangsa Bebas dari Korupsi. Parade juga disiarkan secara daring lewat Zoom meeting dan live streaming Youtobe. Selain dua penyair tersebut, juga turut meramaikan parade jajaran pejabat dan dosen Unusa serta sejumlah penyair Jawa Timur, sepert Prof. Kacung Marijan, Dr. Suhermono Kasiyun M.Pd, PD. Hermono, Aming Aminuddin, Shoim Anwar, Susilo Basuki, Hesti Palestina, Gatot Stren Kali, dan lainnya.
Kondisi sehat, meski harus dikawani tongkat, dua penyair tersebut merupakan aset bangsa yang perlu disyukuri. Sebab penyair besar adalah penjaga jiwa, perawat hati nurani masyarakat dan bangsanya.Melalui untaian kata mereka menjalankan darmanya. Memberi penyadaran, pelembutan rasa, juga penghiburan. Jangan lupa penyair juga mengkritisi ketimpangan serta mengutuk nafas zaman yang busuk. Darinya kata tidak sekadar retorika klise karena ditulis sepenuh jiwa dan diolah dengan originalitas kepenyairannya. Maka yang hadir adalah mata air, inspirasi yang menyulut, sekaligus alarm peringatan yang berdaya gugat.
Dengan Puisi, Aku
Dengan puisi, aku bernyanyi
Sampai senja umurku nanti
Dengan puisi, aku bercinta
Berbatas cakrawala
Dengan puisi, aku mengenang
Keabadian yang akan datang
Dengan puisi, aku menangis
Jarum waktu bila kejam mengiris
Dengan puisi, aku mengutuk
Nafas zaman yang busuk
Dengan puisi, aku berdoa
Perkenankanlah kiranya
(Taufiq Ismail, pernah dilagukan Bimbo)
Taufiq tampil membaca sejumlah sajak dalam aneka tema, tetapi semua bermuara kepada kepedulian dan kecintaan kepada negerinya. Lewat puisi pembuka, dirinya memprihatini budaya baca kita yang masih rendah. Mengajak kaum muda mau berpayah-payah mencari ilmu. Juga mengingatkan bahaya kecintaan berlebihan kepada harta benda lewat “Lima Syair Tentang Warisan Harta.” Pesan bernas melalui keteladanan akhlak Rasulullah, Sahabat Umar, Khalid bin Walid, Sultan Shalahudddin, dan Autrangzeb penguasa imperium India.
(1)
Inilah syair pertama tentang secercah sejarah
Mengenai Nabi Muhammad menjelang wafat
Ketika sakit beliau sudah terasa berat
Pada tabungannya yang sedikit jadi teringat
Menyedekahkannya belumlah lagi sempat
“Aisyah, mana itu ashrafi?
Sedekahkanlah segera di jalan Allah
Berikanlah secepatnya pada orang tidak berpunya
Bila masih ada harta kutinggalkan
Di rumahku ini, pasti itu bakal jadi rintangan
Dan aku tak aman menghadap Tuhan.”
Sesudah tabungan itu dibagikan
Maka wafatlah beliau dengan aman.
…………………………….
Berikutnya giliran penyair D. Zawawi menghidupkan panggung dengan pantun dan puisi satir yang menyentil para koruptor. Berikut ini salah satunya:
Ketika hujan mengguyur
Basah kuyup orang yang jujur
Basah kuyup juga orang yang tidak jujur
Tetapi yang lebih banyak basah kuyub adalah orang yang jujur.
Kenapa? Kenapa?
Karena payung orang yang jujur telah habis dicuri oleh orang yang tidak jujur.
Tetapi kalau hujan itu berkah perlambang rahmat
Hujan rahmat hanya akan membasahi orang yang jujur saja
Orang-orang yang tidak jujur tidak pernah akan basah oleh hujan rahmat
Kenapa? Kenapa?
Karena merekalah yang menolak hujan rahmat dengan payung-payung hasil curiannya itu.
Tidak hanya mengulas koruptor, Zawawi juga menebar pesan tentang pentingnya budi pekerti, adab anak kepada bapak ibu serta kepada guru, seraya menyitir “puisi” Imam Syafini dan kata bijak pada ulama terdahulu.
Alhasil acara parade puisi berlangsung sukses dan seru. Juga melegakan, karena uneg-uneg, kejengkelan, dan aspirasi penonton tersalurkan lewat bait sajak yang disuarakan sejumlah penyair di dalam parade. Akan tetapi, harus diakui, pentas puisi kritik saat ini tidak dapat menandingi kehebohan acara yang sama, yang ditampilkan pada saat zaman Orde Baru dulu.
Dulu untuk lantang meneriakkan kritik di tengah sistem politik yang represif dan rezim militeristik seperti itu, butuh nyali rangkap. Dan tidak semua penyair memiliki. Begitu ada penyair tatag meneriakkan sindiran pedas yang memerahkan kuping penguasa, maka yang terjadi adalah katarsis. Penonton bersorak girang, lantaran ganjalan yang menyumbat hati mendapat saluran pelepasannya. Penonton menjadi suporter yang nimbrung unjuk rasa, tanpa takut risiko diciduk aparat.
Rupanya, untuk menjadi tontonan seru dan tegang, pembacaan puisi kritik membutuhkan “bumbu” intimidatif secukupnya. Tetapi di era medsos, di mana semua orang dapat seenaknya menyinyiri dan mencaci maki penguasa negeri, agaknya kritik lewat puisi menjadi berkurang daya gigitnya.
Begitukah? (ono)