Makna Hadits Qudsi & Hadits Hadits Nabi Tentang Keihklasan

Surabaya, Menara Madinah Com.
Selasa 28 maret 2023 pukul 13.00-15.00 kami mengikuti perkuliahan “Studi Hadits” di gedung E 202 FTK Uinsa.

Pemakalah hari ini : Ahmad Roihan Alfarizi, Azka Razaqa G, Nur Imana Khofiyani S dan sebagai moderator adalah Moh. Rizkj Ardika Akbar.

Hadits Qudsi disebut juga dengan istilah hadits Ilahi atau hadits Rabbani. Secara bahasa hadits Qudsi merupakan penisbatan kepada kata Quds yang berarti suci, yaitu hadits yang dinisbatkan kepada dzat yang suci. Sedangkan secara istilah, pengertian hadits qudsi terdapat dua macam, yaitu;
Hadits qudsi merupakan kalam Allah Azza wa Jalla (baik dalam matan maupun substansi bahasanya), dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hanya menyampaikannya kepada kita.

Hadits qudsi adalah perkataan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan isi perkataan tersebut berasal dari Allah Azza wa Jalla.
Dari istilah tersebut dapat dikatakan bahwa hadits Qudsi adalah hadits yang berisi firman Allah yang disampaikan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menerangkannya dengan menyandarkannya kepada Allah. Dengan kata lain, hadits qudsi ialah hadits yang disampaikan kepada kita dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan sanad dari beliau sendiri kepada Rabb Azza wa Jalla.

“Persamaan Dan Perbedaan Hadits Nabawi Dan Hadits Qudsi”
1. Persamaan Hadits Qudsi dan Hadits Nabawi
Hadits qudsi dan hadits nabawi pada dasarnya mempunyai persamaan, yaitu sama-sama bersumber dari Allah SWT. Hal ini dijelaskan oleh Allah SWT dalam firmannya.

“Dan tidaklah yang diucapkan itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapanya itu tiada lain hanya wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (Q.S An-najm:3-4).
Selain itu, redaksi keduanya (hadits qudsi dan hadits nabawi) disusun oleh Nabi SAW. Jadi yang tertulis itu semata-mata ungkapan atau kata-kata Nabi sendiri.
“Perbedaan Hadits Qudsi dan Hadits Nabawi’

Perbedaan antara hadits qudsi dan hadits nabawi dapat dilihat dari segi penisbatan, yaitu hadits nabawi dinisbatkan kepada Rasul SAW, dan diriwayatkan dari beliau sehinga dinamakan hadits nabawi. Adapun hadists qudsi dinisbatkan kepada Allah SWT, oleh karena itu, ia dibatasi dengan sebutan Al-quds atau Al-ilah sehingga disebut hadits qudsi atau hadits ilahi, yakni penisbatan kepada Dzat yang maha tinggi.

“Persamaan Dan Perbedaan Hadits Qudsi Dan Al-quran” :
Al-quran dan Hadits Qudsi adalah dua hal yang memiliki persamaan kuat namun juga berbeda secara prinsip. Al-quran adalah wahyu Allah SWT yang makna dan lafatnya dari Allah SWT. Sementara Hadits Qudsi adalah juga wahyu Allah SWT dimana maknanya dari Allah namun lafal atau redaksi perkatannya dari Rasulullah SAW. Adapun persamaan antara keduanya adalah sama-sama wahyu atau firman Allah SWT. Hanya saja, bentuk penyampainya yang berbeda.

Adapun perbedaanya dari keduanya sebagai berikut :
Bahwasanya Al-quran lafadz dan makna nya datang dari Allah SWT. Sementara Hadits Qudsi maknanya dari Allah SWT tetapi lafadz dan redaksinya dari Nabi Muhammad SAW.

Membaca ayat Al-quran adalah dikategorikan ibadah atas aktivitas ta’abbud. Sementara hadits qudsi tidak, meski mereka yang mempelajarinya mendapat pahala.

Al-quran dikategorikan sebagai mukjizat namun tidak demikian dengan hadits qudsi.
Contoh Hadits Qudsi,
sebagai berikut :
ما رواه مسلم في صحيحه : “عن أبي ذر رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم فيما روى عن الله تبارك وتعالى أنه قال : يا عبادي إني حرمت الظلم على نفسي وجعلته بينكم محرما فلا تظالموا…… “.
ما رواه الترمذي في صحيحه :”عن نَسِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: قَالَ اللهُ تبارك و تَعَالَى: “يَا ابْنَ آَدَمَ إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِيْ وَرَجَوْتَنِيْ غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ فيك وَلا أُبَالِيْ….”.
“Hadits Hadits Nabi Tentang Keikhlasan”
Berikut hadits hadits Nabi tentang keikhlasan (nilai-nilai pendidikan dan aplikasinya) :
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رض قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص : اِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ اِلىَ اَجْسَامِكُمْ وَلاَ اِلىَ صُوَرِكُمْ وَ لٰكِنْ يَنْظُرُ اِلىَ قُلُوْبِكُمْ.
Hadist diatas mempunyai arti:
“Sesungguhnya allah tidak melihat keadaan bentuk tubuhmu (keindahan bentuk) dan juga tidak melihat harta kekayanmu, akan tetapi Allah melihat amal perbuatan dan hatimu”.

Hadist shahih yang di riwayatkan ibnu majah ini terdapat perbedaan redaksi dalam matannya namun semua memiliki substansi yang sama yakni bahwa Allah tidak melihat tampilan fisik atau harta seseorang, namun yang Allah lihat adalah hati dan amalnya.

Apa makna dari Allah melihat pada hadis di atas, Imam al-Nawawi dalam Syarh Muslimnya menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah Allah tidak memberikan balasan dan menghitung amal seseorang berdasarkan tampilan fisiknya namun berdasarkan apa yang ada di hatinya.
Dalam dunia Pendidikan hadist ini sangat lah penting di tanamkan pada mindset para siswa, mahasiswa, dosen dan para pelaku akademika Pendidikan. Khusus untuk para pelajar untuk menenamkan pada benakknya, bahwasannya mereka mencari ilmu bukan untuk mencari kekayaan melainkan untuk menjaga diri dari kebodohan. Dalam ranah Pendidikan kita harus ikhlas sebagaimana murid belajar tanpa memikirkan apa dampak dari belajar tersebut.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرَفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَعْنِي رِيحَهَا. رواه ابو داود وابن ماجه و أحمد
Hadist di atas mempunyai arti:
“Siapa orang yang mempelajari satu ilmu dari ilmu-ilmu yang mesti dipelajari karena Allah azza wajalla seperti ilmu syar’i tetapi dia tidak mempelajari ilmu itu kecuali hanya untuk memperoleh keuntungan duniawi maka dia tidak akan bisa mencium baunya surga pada hari kiamat”.
Mengutip dari maqola Al Ustad Abu Haidar As-sundawy beliau mengatakan adakalanya dimana Ibnu Atha rahimahullah ketika menjelaskan bahwasannya orang yang berniat selain karena Allah ketika mencari ilmu “Allah menjadikan ilmu yang diberikan kepada orang yang niatnya tidak ikhlas, Allah akan jadikan itu sebagai alasan untuk membinasakan dia. Jangan engkau tertipu dengan banyaknya orang-orang yang hadir dan mengambil manfaat dari ilmunya umpamanya orang ini ketika belajar ilmu dan mengajarkan ilmunya tidak ikhlas karena Allah dia ingin keuntungan duniawi, banyak orang yang mengambil manfaat dari ilmu-ilmunya benar tetapi ketika dia menyampaikan ilmunya atau ketika dahulu dia belajar ilmu itu tidak ikhlas karena Allah azza wajalla, maka kata ibnu Atha jangan kamu tertipu dengan banyaknya orang yang mengambil manfaat”.

7Contohnya orang yang belajar ilmu untuk mencari keuntungan dunia dan untuk mencari kedudukan, popularitas, untuk mencari pujian manusia maka dia fajir dia orang yang durhaka bukan karena amal dan ilmunya tetapi karena niatnya. Jangankan mencari ilmu dan mengajarkannya, sholat sebagai ibadah yang super agung ketika niatnya salah maka akan menjadi maksiat. Kenapa menjadi maksiat? karena Allah mengancam kecelakaan bagi seseorang yang lalai dalam sholatnya dan orang yang riya didalam sholatnya. Orang yang belajar ilmu dan mengajarkan ilmu niatnya tidak ikhlas maka itu maksiat pelakunya fajir walaupun ada manfaat untuk dakwah, orang banyak mengambil manfaat dari dakwahnya, apalagi dakwah sekarang ini tidak sekedar melibatkan seorang alim dan muta’alim, tidak hanya melibatkan guru dan murid tetapi melibatkan banyak pihak, seluruh bagian punya andil ada pahala sesuai dengan kadar keterlibatan dia, wajib semuanya ikhlas karena Allah azza wajalla.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” قَالَ اللَّهُ: أَنْفِقْ يَا ابْنَ آدَمَ، أُنْفِقْ عَلَيْكَ
Arti nya Di riwayatkan dari abu Hurairah R.a :
”Sesungguhnya Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam bersabda, “Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman, berinfaklah wahai anak adam, (jika kamu berbuat demikian) Aku memberi infak kepada kalian (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadist tersebut menjelaskan bahwasannya ketika kita ikhlas dalam menafkahi keluarga kita, maka allah akan memberikan nafkah yang setimpal bahkan lebih.

عن ابن عمر بن الخطاب رضي الله عنه قال سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول: إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَةِ وَإِنَّمَا لِكُلِ امْرِئِ مَا نَوَى مَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى الله وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى الله وَرَسُوْلِهِ وَمَنْ كَانَ هِجْرَتُهُ لِدُّنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْامْرَأَةِ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ (رواه البخاري).
Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh Umar bin Al Khaththab adia berkata: ‘Aku mendengar Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Amalan-amalan itu hanyalah tergantung pada niatnya. Dan setiap orang itu hanyalah akan dibalas berdasarkan apa yang ia niatkan. Maka barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya keapda Allah dan Rasul-Nya. Namun barang siapa yang hijrahnya untuk mendapatkan dunia atau seorang wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang ia niatkan tersebut.” (Diriwayatkan oleh dua Imamnya para ahli hadits, Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhari dan Abul Husain Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naisaburi dalam dua kitab shahih mereka, yang keduanya merupakan kitab yang paling shahih diantara kitab-kitab yang ada.

عن سعد بن ابی وقاص ان رسول الله صلى تبتغى الله عليه وسلم قال: إِنَّكَ لَنْ تَنْفِقَ نَفَقَةً : بِهَا وَجْهَ الله اِلَّا اُجِرْتُ عَلَيْهَاحَتَى مَا تَجْعَلُ فِيْ فَمِ امْرَاَتكَ (رواه البخاري).
Hadist di atas mempunyai arti: “Dari Sa’ad Bin Abu Waqosh bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: sesungguhnya apa saja yang kamu belanjakan dengan niat mencari keridhahan Allah, niscaya kamu akan mendapat pahala, seperti apa yang kamu siapkan untuk memberi makan istri mu (H.R. Bukhori).”
Maka yang wajib adalah berhati-hati agar tidak pelit dengan yang wajib, dan yang wajib adalah rajin menunaikan kewajiban dan memperbanyaknya, memperbanyak dalam kebaikan, pembelanjaan, kedermawanan, kedermawanan dan kedermawanan dalam aspek-aspeknya. bahwa Allah telah mensahkan bagi fakir, miskin, anak yatim dan musafir, dan demi Allah, dan dalam pembangunan masjid, dan dalam ikatan dan hal-hal lain yang bermanfaat bagi umat Islam.
عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا، سَهَّلَ اللهُ لَهُ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ”. (رواه مسلم.(
“Barangsiapa yang menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu maka akan Allah mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim No. 2699)
Sebab terbesar keberhasilan seseorang dalam menuntut ilmu adalah tawakal kepada Allah kemudian ia meluruskan niatnya. Seorang penuntut ilmu juga harus memperhatikan adab-adab menuntut ilmu. Selain itu, ada beberapa faktor yang hendaknya menjadi perhatian bagi seorang penuntut ilmu sehingga menjadi sebab keberhasilan dalam proses belajarnya.
Mengamalkan ilmu yang telah di dapat. Jika ilmunya berkaitan dengan akidah maka hati kita meyakini dan beriman dengan akidah yang dipelajari. Jika berupa ibadah maka kita mengerjakan ibadah tersebut. Jika kita mengetahui sebuah dosa maka kita memperingatkan yang lain dari dosa itu. Jika kita mengetahui tentang bid’ah, selayaknya kita memperingatkan orang lain dari kebid’ahan tersebut dengan hikmah. Tips kedepalan bisa jadi tips yang terakhir, tetapi mengamalkan ilmu sejatinya adalah tujuan utama kita untuk bersungguh-sungguh dalam belajar. Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang diamalkan. Apabila kita ibaratkan ilmu seperti pohon yang rindang maka amal adalah buahnya. Ilmu yang kokoh dan shahih akan menghilangkan keraguan dalam beramal shalih karena ia dibangun di atas dalil ilmiah.

Barakallah semoga bermanfaat….
Penulis : Ahmad Roihan Alfarizi, Azka Razaka G, Nur Imana Khofiyani S, Mahasiswa PBA FTK UINSA.

.