Gesah Kopitayan jilid 4, Kapitayan Agama Orang Pinggiran*

Banyuwangi-menaramadinah.com, Ada yang menarik dalam gesah ngopi malam itu hari ke 6 Pameran lukisan dan Sastra .Gesah dan Ngopi bareng juga dalam rangka memperingati satu abad NU, dihadiri kurang lebih 40 orang , di tempat yang juga sebagai Ilyasin Galery Plantaran Tamansuruh Glagah- Banyuwangi, Senin, 6/2/2023.

Hadir dalam acara yang dibalut dengan gesah dan ngopi sambil menikmati hidangan polo pendem tersebut budayawan, perupa, sastrawan, pemerhati sejarah, pelaku seni yang lain , dosen , anggota DPRD yang peduli dengan tema yang diusung malam itu ‘ Kapitayan Agama Orang Pinggiran , gesah sambil ngopi itu terkesan omong kelamong ngalor ngidul namun tetap berbobot dan berisi, memaknai Kapitayan dan laku spiritualnya dari berbagai sisi, apalagi dipandu oleh moderator yang sangat sok tahu, tapi tidak menguasai masalahnya yakni Aden’ *Janakim* ‘ Sahlana yang mengarahkan audien dengan santai tapi gak menjurus hingga sering memancing gelak tawa yang hadir malam itu.

Menyinggung Kapitayan dengan tema seperti dikatakan yang yang diberi kesempatan pertama oleh Janakim “Dari sisi plesetan Kapitayan menjadi Kopitayan ( Kopi tanpa pelayan ) adalah Kanjeng Ilham Panjiblambangan
menyinggung jejak gesah Kopitayan jilid 1 hingga jilid 3 memang sepakat sama-sama tidak tahu banyak soal Kapitayan masih gelap , bahkan semua itu refleksi masa lalu yang sudah tidak aktual, sekalipun sebagai konsekwensi implementasi dari Kapitayan kita memang sepakat sama-sama tidak tahu banyak soal Kapitayan apalagi jejaknya ada meski masih gelap , bahkan semua itu refleksi masa lalu yang sudah tidak aktual.

Jejak Kapitayan bisa ditelusuri sudah membaur ke seluruh Nusantara dengan kebudayaan Jawa menjadi Kejawen, dengan Sunda menjadi Sunda Wit-Witan , dengan Dayak menjadi Tjilik Riwut, dengan Batak menjadi Ugamo Malin.

”Kontak kebudayaan dengan bangsa lain menyebabkan penyerapan unsur-unsur kebudayaan Hindu, Budha , Islam dan Kristen dalam kebudayaan Nusantara melebur didalamnya. Unsur kebudayaan ”asing” ini kemudian diterapkan dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat, tambah Ilham

Tambah Ilham Panjibelambangan , dari sudut arkeologis peninggalan kuno, jika dinilai dari sisi antropologis perkembangan candi-candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur, beberapa berasal dari masa pra sejarah seperti dolmen , menhir, sarkofogus, punden berundak-undak hingga kerajaan awal nusantara mendirikan candi-candi
pada kerajaan-kerajaan menunjukkan begitu pentingnya kawasan Jawa di dalam sejarah perjalanan kerajaan-kerajaan di nusantara pada masa lalu, khususnya dari masa protosejarah menuju masa klasik yang kemudian sebagian besar terkonsentrasi di kawasan Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin maju diharapkan dapat menemukan tinggalan dan dapat menguak lebih jauh tentang jejak-jejak kapitayan , pungkas Ilham.

Dalam kesempatan berikutnya Aden Janakim memberikan kesempatan kepada Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi, Taufik Wr. Hidayat ( Gus Fiq ) membahas spiritual Kapitayan , keyakinan dan kepercayaan orang Banyuwangi jaman dahulu, mencari jejak-jejak Kapitayan mereka beda pendapat dalam debat adalah hal yang biasa, namun tetap bisa menjaga dan bersama-sama mencari tahu supaya sama-sama tahu dan memahami tentang apa itu Kapitayan.

Kapitayan yang dipahami sebagai sebuah keyakinan purba orang nusantara. _kita sepakat untuk tidak sepakat_ meninggalkan catatan yang masuk akal, diantaranya : Para leluhur merasa bahwa KEYAKINAN itu adalah untuk DIPERCAYA dan DILAKUKAN ajarannya yang diwariskan lewat agama langit.

Menurut Taufik Wr ( Gus Fiq ) Kapitayan adalah salah-satu agama kuno yang dipeluk oleh masyarakat Nusantara. Beberapa kalangan berpendapat bahwa agama ini merupakan agama asli dan tertua di Nusantara. Kapitayan lahir jauh sebelum hadirnya pengaruh Hindu dan Budha maupun Islam.

Secara gamblang bahwa Kapitayan sebagai agama asli bangsa Nusantara menampilkan konsepsi monoteisme dalam ajaran agamanya. agama leluhur Kapitayan telah mengenal adanya konsepsi tentang kemaha-tunggalan Tuhan yang keberadaannya ada pada alam dimensi yang berbeda dari manusia.

Secara sederhana Kapitayan didefinisikan sebagai agama yang memiliki keyakinan terhadap sesembahan utama kepada “Sang Hyang Taya”. Posisi Sang Hyang Taya sendiri dimaknai sebagai sesuatu yang “hampa, kosong, suwung, awang-uwung.
Leluhur Jawa kuno biasa mendefinisikan Sang Hyang Taya dalam ungkapan “Tan Kena Kinaya Ngapa”, yang memiliki arti “tidak bisa diapa-apakan keberadaan-Nya”.

Dengan artian bahwa Zat ini tidak ada tapi ada, tidak bisa dilihat oleh mata tetapi eksistensinya diyakini ada sebagai satu-satunya sumber kekuatan. Oleh karena ketiadaannya yang sebenarnya ada, diusahakan untuk mengenal dan menyembah “Sang Hyang Taya” , tambah Gus Fiq.

Berdasarkan penjelasan di atas, sifat utama Sang Hyang Tunggal adalah “ghaib” dan tidak terlacak oleh indera manusia.

Kondisi yang demikian membutuhkan sarana yang dapat ditangkap oleh indera dan alam pikiran manusia, sehingga dalam keyakinan Kapitayan, urai Gus Fiq.
H

ingga saat ini, beberapa ritual atau sang hyang taya, peninggalan Kapitayan masih lestari dan menyatu dalam beberapa agama baru, seperti “ ‘pondok pesantren’ yang kini menyebar ke seluruh pelosok Nusantara dan menjadi pusat transformasi keilmuan Islam adalah konsep pendidikan keagamaan yang diadopsi dari sistem pendidikan Kapitayan (santri, padepokan), tambah Gus Fiq. (Rishje***)