Dinara dan Batik Songsong Sewulan

 

Payung Tunggul Naga. Payung kerajaan dengan tiga tingkat lagu-lagu berwarna hijau indah dengan ukuran mengerucut keatas. Pada setiap tingkatan terdapat hiasan manik-manik menjuntai berwarna emas. Sedangkan di bagian kaki payung, melingkar sepasang naga, juga berwarna emas. Keturunan Kyai Ageng Basyariyah atau Raden Bagus Harun dan masyarakat sekitar Sewulan, Delopo, Kabupaten Madiun menyebutnya Payung Songsong. Payung ini menjadi penanda suatu wilayah yang berstatus tanah perdikan atau tanah bebas pajak.

Bahwa, ketika terjadi peristiwa Geger Pecinan di Kesultanan Kartasura, Raja Kartasura, Pakubowono II meminta perlindungan dan bantuan kepada Kyai Hasan Besari di Pondok Pesantren Tegalsari, Jetis, Ponorogo. Kyai Hasan Besari memerintahkan santri kinasihnya, Bagus Harun serta pasukannya untuk membantu Pakubuwono II merebut kembali Kartasura dari pemberontakan Sunan Kuning.

Syahdan, Bagus Harun berhasil merebut kembali Kartasura.

Sebagai bentuk penghargaan atas jasanya, Pakubuwono II ingin mengangkat Bagus Harun sebagai Adipati. Namun, Bagus Harun menolaknya. Dia lebih memilih jalan hidup sebagai pendakwah. Sebagai ganti, Pakubuwono II memberikan anugerah tanah perdikan yang sekarang dikenal dengan Sewulan.

Kisah Bagus Harun ini berulang-ulang diceritakan Mbah Doel kepada Dinara, sampai cucu perempuannya itu bosan.

Sebenarnya Dinara bukan hanya bosan sebab Mbah Doel terus mengulang cerita yang sama, tetapi juga dari penuturan lelaki uzur yang menjadi marbot Masjid Agung Sewulan itu selain mengagung-agungkan kepahlawan Bagus Harun atau Mbah Basyariyah, juga ada bumbu penyedap di akhir cerita.

Dinara pun sudah bisa menerka maksud Simbah Kakung-nya itu bercerita.

“Sampun tha, Mbah Kung. Dinara masih belum tertarik,” keluh Dinara pada suatu malam. Ketika itu, Mbah Doel yang duduk di kursi goyangnya sambil menghisap lintingan klobot kembali menceritakan kisah yang sama. Pada akhir cerita, lelaki yang seluruh rambutnya sudah dipenuhi uban itu membujuk cucunya untuk mau belajar membatik.

“Maafkan Dinara, Mbah Kung. Bukannya Dinara tak mau membatik. Dinara sangat ingin bisa membatik seperti almarhumah ibu, tapi Dinara masih takut. Trauma atas kepergian beliau karena membatik, masih sangat membekas di ingatan Dinara,” sanggag Dinara. Tanpa diketahui Mbah Doel, diam-diam ada yang mengalir dari pelupuk mata, lalu membelah sepasang pipinya yang tirus.

Ibu Dinara, Siti Amanah meninggal karena menderita ambien akut yang disebabkan terlalu banyak menghabiskan waktu untuk duduk. Apalagi kalau bukan karena membatik. Selain itu, kurangnya cairan dalam tubuh mengakibatkan keadaanya semakin parah sehingga nyawanya tak bisa diselamatkan.

Siti Aminah adalah salah satu dari segelintir pengrajin batik yang tersisa di sekitar Sewulan. Hasil membatiknya sudah mendapatkan tempat di hati orang-orang. Konon, sangat halus dan rapi. Batik bermotif payung bertingkat. Payung Songsong Tunggul Naga. Dialah yang menggagas rencana pendirian sekolah membatik di Sewulan. Namun, belum sempat terlaksana, dia sudah pergi.

Seiring kepergian Siti Aminah, batik bermotif Payung Songsong seperti ikut lenyap dari Bumi Sewulan.

Dinara kecil yang saat itu berusia sepuluh tahun sangat terpukul atas kematian ibunya. Dinara menganggap karena membatiklah ibunya meninggal. Dia sangat membenci semua yang berhubungan dengan batik. Semua peralatan membatik ibunya nyaris dia buang. Mbah Doel yang mencegahnya.

“Nduk, jika suatu saat nanti kamu punya niat belajar membatik, peralatan peninggalan ibumu masih aku simpan di kamar belakang,” pesan Mbah Doel.

Akan tetapi, Dinara tak pernah sekalipun menengok kamar yang dimaksud Mbah Doel.

***

Senja memasuki tanah Sewulan, semburat cahaya mentari berwarna jingga menerobos masuk celah angin-angin Masjid Basyariyah. Terdengar suara riuh anak-anak sedang bersenda gurau dan saling meledek. Walau terhalang tembok setinggi leher orang dewasa, suara mereka sangat jelas yang dibarengi dengan suara cipratan air. Mereka sedang bermain di blumbangan yang ada di depan Masjid. Di tepi blumbangan, terdapat jalan yang digunakan jamaah memasuki masjid. Sebelum memasuki masjid pula terdapat kobokan kaki, semua jamaah yang akan memasuki masjid pasti akan melalui kobokan kaki tersebut.

Menurut cerita Mbah Doel, Mbah Basyariyah membangun kobokan kaki dan blumbangan di depan masjid, agar setiap orang yang masuk masjid kakinya bersih. Dahulu, masyarakat sekitar Sewulan banyak yang bekerja di ladang, hutan, dan kebun tanpa alas kaki. Kobokan kaki inilah yang mereka gunakan untuk membersihkan kaki, sedangkan blumbangan digunakan untuk membersihkan badan yang kotor setelah bekerja. Tempat ini juga menjadi kegemaran anak-anak bermain sampai saat ini. Tak terkecuali Dinara kecil, cucu Mbah Doel. Rumah yang tak jauh dari masjid, menjadikan blumbngan masjid itu menjadi tempat bermain dinara dan kawan-kawannya.

Senja dengan hiruk-pikuk anak-anak seperti ini tiba-tiba mengingatkan Dinara kepada masa kecilnya. Mendadak dia teringat pula kepada sosok ibunya.

Ada kerinduan yang ikut menghimpit dadanya. Kerinduan yang membuncah itu membawanya dengan langkah tergesa-gesa memasuki kamar belakang, tempat alat membatik ibunya disimpan.

Dinara dibekap badai kegelisahan. Atau barangkali gelombang kesedihan. Bukan tanpa sebab.

Iya, tadi malam dia bermimpi bertemu ibunya.

Dalam mimpi itu, Dinara melihat ibunya duduk di sebuah kursi kayu di depan pintu. Tatapannya kosong. Hanya menerawang jauh ke belakang.

Oh, bukan kosong. Ternyata ada air mata yang menyertai tatapan mendiang pembatik motif Payung Songsong.

***

Cukup lama Dinara mematung di depan pintu kamar belakang. Hatinya bergemuruh. Dia masih ragu-ragu masuk ke dalam kamar. Sisa-sisa perasaan takut masih memenuhi rongga dadanya. Mendadak bayangan wajah ibunya dalam mimpi semalam kembali hadir di benaknya. Dina ber-istighfar. Kali ini tangisnya pecah menjadi-jadi.

“Ibu, maafkan Dinara.”

Dinara berusaha menguatkan hatinya untuk masuk kamar.

Pelan-pelan Dinara membuka pintu. Sesaat, dia menebar pandangan ke segala penjuru kamar. Tampak perabot-perabot tua yang berdebu memenuhi ruangan. Mata Dinara menumbuk sebuah buntalan kain berwarna putih. Mendadak napasnya naik turun tak beraturan. Dengan keberanian yang tumbuh di luar kehendaknya, Dinara kain putih.

“Ternyata Mbah Kung menyimpan semua ini untukku,” batin Dinara dalam hati, ketika benda-benda di dalam buntalan kain dia keluarkan. Satu per satu dia amati peralatan membatik mendiang ibunya. Walau sudah hampir lima belas tahun tak terjamah, warna telah memudar, tapi benda-benda itu masih tampak layak dipakai. Sesaat kemudian, pandangan Dinara berpindah ke peti kayu di sudut ruangan. Dia menepuk-nepukkan telapak tangan untuk membersihkan debu yang menempel, kemudian membuka peti kayu itu. Ada canting, bandul, dan lilin di dalamnya. Semua masih lengkap. Dinara juga menemukan kain batik berwarna dasar putih yang dilipat menjadi empat.

Dinara membuka lipatan demi lipatan kain batik itu dengan sangat hati-hati. Mendadak matanya terbelalak, telapak tangannya menutup mulut. Kakinya bergetar sedemikian hebat. Dinara tersungkur dengan posisi bersimpuh di ubin dengan deraian air mata.

Tak banyak motif pada kain putih itu, hanya beberapa motif payung bertingkat dengan ukuran mengecil ke atas yang dikolabiorasikan dengan sedikit motif parang kusumo. Dinara sangat hafal motif payung itu. Iya, motif yang menyerupai payung songsong. Payung yang sekarang berada di depan makam Kyai Ageng Basyariyah yang terletak di belakang cungkup utama Masjid Agung Sewulan.

Bukan motif yang membuat Dinara menangis histeris, tetapi tulisan yang diguratkan menggunakan malam di bagian tengah. Motif Payung Songsong mengelilingi tulisan tersebut. Sangat klasik. Dinara yakin, batik itu hasil karya ibunya. Tulisan itu juga isi hati Ibunya. Dinara menjerit sambil memeluk kain tersebut. Dia membenci ketakutannya.

“Aku, batik, lan Sewulan iku siji.”

***

Ta’lina, lahir di Nganjuk, kini berprofesi sebagai pengajar di Raudlatul Athfal di Magetan. Bergiat sastra di Komunitas Pegiat Literasi Nganjuk.

Editor: Heru Sang Amurwabumi.

Catatan:
Nduk = Kependekan genduk (bahasa Jawa), panggilan kepada perempuan yang lebih muda.
Blumbangan = Kolam buatan.
Kobokan = Penampung air untuk mencuci tangan dan kaki.
Aku, batik, lan Sewulan iku siji (bahasa Jawa) = Aku, batik, dan Sewulan itu satu.