Tulungagung Cikal Bakal Lahirnya Nusantara Dan Semboyan Bhineka Tunggal Ika

 

Oleh: Wawan Susetya
(Jurnalis Menara Madinah).

“Seandainya pandangan salah seorang pemerhati sejarah di Tulungagung benar bahwa Tulungagung merupakan kota penting dalam cikal-bakal lahirnya Nusantara dan lahirnya gagasan semboyan Bhineka tunggal ika, tentu kita sebagai warga Tulungagung patut bersyukur karenanya,” ujar Ki Wawan Susetya dalam sarasehan budaya bersama keluarga besar trah Eyang Krama Semita di rumah Bapa Suratno Tanggung-Campurdarat, Minggu (26/6) siang.
Lebih jauh, ia menguraikan mengenai pandangan pemerhati sejarah di Tulungagung.
Pertama menyangkut cikal-bakal lahirnya Nusantara (yang selanjutnya disebut Nusantara I) bersumber dari Prasasti Mulamalurung yang berisi mengenai “Cakrawala Mandala Nusantara” yang dikeluarkan Prabu Kertanegara (Raja Singosari) di Gunung Wilis (Sendang Tulungagung) tahun 1255. Setelah runtuhnya Kerajaan Singosari, Nusantara II diteruskan dengan berdirinya Kerajaan Majapahit oleh Raden Wijaya (menantu Prabu Kertanegara, Raja Singosari) pada tahun 1293. Setelah itu dilanjutkan Nusantara III yang ditandai berdirinya NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) yang diproklamirkan Bung Karno dan Bung Hatta pada tahun 1945.

Kedua mengenai lahirnya gagasan semboyan Bhineka Tunggal Ika (lengkapnya ditambah: Tan hana darma mangrwa) bersumber dari hasil pertapaan Ratu Gayatri di Gua Pasir Sumbergempol yang kemudian diberikan kepada cucunya Prabu Hayam Wuruk (Raja Majapahit) yang mengantarkan masa keemasan Nusantara pada abad XIV (tepatnya tahun 1350).
“Sekali lagi kita patut bersyukur menjadi warga Tulungagung yang guyub rukun dan ayem tentrem ini. Wajar kalau banyak teman saya dari luar ketika di Tulungagung merasa krasan,” tandasnya.

Kebesaran nama Tulungagung juga telah dinisbatkan pada nama kota itu yang berarti “pitulungan kang agung”, di samping juga berarti sumber air yang besar (kata tulung berasal dari tuk dan telung yang artinya sumber air, sedang agung sudah jelas, yaitu besar). Berkaitan dengan sumber air yang besar itu dulunya berada di tengah alun-alun yang kemudian berhasil disumbat oleh Kyai Abu Mansur Tawangsari dengan menggunakan duk (daun aren dan kepala kerbau).

Peristiwa itu sekitar tahun 1727. Sementara hari jadi Tulungagung didasarkan pada Prasasti Lawadan yang dikeluarkan Prabu Sri Kertajaya alias Prabu Dhandhang Gemdhis (Raja Kediri) yang ditemukan di Ds Wateskroya Besuki pada tahun 1205, tepatnya tanggal 18 November. Momentum itulah yang kemudian dijadikan sebagai hari jadi Kab. Tulungagung (WW).