Oleh : Es Hadi Gayatri
Dalam seni pertunjukan salah satu sisi penting yang sangat ditonjolkan untuk ditampilkan adalah ekspresif. Apakah itu seni tari, teater atau seni suara. Dari ekspresif yang keluar dari mimik wajah selain gerak gestur luwes untuk penari, penonton akan tahu dan menjiwai, dan barangkali juga akan ikut larut dalam suasana yang dimainkan seorang aktris yang memeran di panggung.
Mengikuti sarasehan dan workshop dari Sang Maestro tari Eyang Didik Nini Thowok yang diselenggarakan sanggar tari Candra Mustika kemarin pada session workshop salah satu materi penting bagaimana sebuah tontonan performance Art menjadi menarik, maka yang dilatih adalah ekspresi agar terbentuk sebuah suguhan tari yang berkarakter.
Mengawali obrolan materi yang disampaikan Eyang Didik (saya ikutan menyebutnya eyang), beliau membukanya dengan informasi bahwa di era sekarang saat ini, garapan tari kebanyakan cenderung dilakukan dengan gerakan dan tempo yang cepat. Itu menurutnya relatif lebih mudah dilakukan daripada dengan garapan yang tempo lambat. Karena yang perlahan membutuhkan dan menjaga konsentrasi lebih intens agar selalu fokus. Terlebih jika harus ditambah dengan ekspresi mimik wajah dan dipadu dengan olah gerak koreonya.
Saat itu Eyang Didik menyuruh semua peserta dalam posisi berdiri dengan nyaman, badan tegap pandangan lurus ke depan nafas diatur serileks mungkin dan mencoba merasakan detak jantung masing-masing. Beberapa saat kemudian pandangan mata perlahan dialihkan memandang ujung hidungnya masing-masing. Nafas tetap diatur rileks rasakan denyut jantung. Dan dalam diam seperti saat ini seorang penari harus tetap konsentrasi fokus melakukan olah gerakan-gerakan tarian. Keadaan seperti itu diperintahkan untuk dilakukan cukup lama, sambil mengukur berapa lama dan berapa kuat peserta mampu melakukannya. Setelah beberapa saat Eyang Didik memerintahkan untuk mengakhiri situasi konsentrasi dan fokus tersebut.
Berikutnya peserta diminta kaki kiri gejlik ke belakang. Lantas tangan kanan menjulur lurus sedikit miring ke kanan dua jari tengah dan telunjuk juga dijulurkan lurus, jari yg lain posisi menggenggam. Pandangan mata menatap dua jari yang menjulur. Pertama mimik muka datar atur nafas, pandangan fokus pada dua jari. Kemudian mimik muka berubah dengan ekspresi marah, dengan ekspresi marah otot-otot menegang. Pandangan tetap fokus pada dua jari. Perlahan ekspresi mimik wajah berubah dengan kesedihan tanpa bersuara. Kemudian yang terakhir tertawa seakan ada yang lucu, mula-mula juga tanpa suara selanjutnya ekspresi seakan melihat kelucuan itu diungkapkan boleh tertawa dengan terbahak-bahak.
EKSPRESI
Dari materi ekspresi tersebut Eyang Didik selanjutnya meminta asistennya mengambil topeng untuk peragaan berikutnya. Ada dua kantong putih dibuka dengan perlahan kantong pertama isinya dua buah topeng satu putih polos satu berbentuk topeng berkarakter lucu. Satu kantong lagi sebuah topeng berwatak beringas dengan cat warna merah, konon penuturan Eyang Didik terinspirasi dari topeng Jepang. Ketiga topeng yang dilolos dari bungkusnya itu kemudian diletakkan di nampan dengan taplak kain putih pula. Eyang Didik kemudian mengambil topeng pertama yang putih polos dengan karakter wajah datar wajah umum tanpa ekspresi. Sebelum mengenakan topeng tersebut beliau menjelaskan kenapa topeng” tadi dibungkus dengan kemasan khusus.
“Ini bukan apa” dan tidak ada kaitannya dengan hal mistis, hanya saja karena ini adalah peralatan tari maka saya memperlakukannya sebagai barang penting, seperti halnya sebuah bantal yang dipakai tidur dan dikenakan dikepala anda tentu anda memperlakukannya tidak sembarangan. Misalnya ditaruh dilantai dapur lalu diinjak-injak, kan nggak mungkin….” Begitu antara lain tuturnya memperlakukan aksesoris” tarinya.
Topeng putih polos itu dikenakannya dengan perlahan lalu dengan gerakan yang amat pelan dan halus dia menari semula datar lalu berubah seperti orang yang kemayu gerakannya melenggak-lenggok centil. Lalu dengan selendangnya dia menutupi wajahnya yang mengenakan topeng memperagakan seperti orang yang malu-malu kucing kadang mengintip. Sedetik berikutnya olah tubuhnya berubah berwibawa, lalu seperti orang marah. Saya perhatikan topeng yang dikenakan dari perubahan-perubahan ekspresi yang beliau peragakan, wajah topeng tersebut seakan-akan berubah-ubah dari ekspresi biasa, kemayu, malu-malu, wibawa, marah hingga kembali biasa. Dalam hati saya bertanya apakah ekspresinya di balik topeng tersebut mimik wajah beliau juga berubah-ubah?
Topeng pertama dilepas dengan perlahan diletakkan di nampan lalu mengambil topeng kedua yang berwarna merah dengan karakter brangasan, begitu terpasang di wajah langsung membuat gerakan” marah. Mendongak melotot terlihat pada ekspresi topengnya. Yang ketiga topeng badut dg wajah lucu juga diperagakan. Maka berakhirlah rangkaian workshop bersama Sang Maestro Tari Eyang Didik Nini Thowok… Sebelum mengakhiri beliau memberikan kesempatan barangkali ada yang ditanyakan. Akhirnya yang tadi tak batin saya utarakan bahwa saya melihat ketika beliau mengenakan topeng putih yang berkarakter datar itu bisa berubah-ubah sesuai dengan pembawaan beliau tadi, apakah tadi Eyang Didik di dalamnya juga berubah-ubah. Kata beliau saat itu mengomentari pertanyaan yang cerdas (hehehe…) Lalu beliau menjawab dengan bercerita bahwa suatu saat ketika dia tampil di Negara Sakura dihadapan para koreo, membawakan tari topeng dengan amat apik tiba-tiba ada salah satu memperhati minta menghentikan tariannya lalu bertanya seperti yang saya tanyakan tadi di atas. Jawabnya dengan perlahan beliau melepaskan topengnya lalu di dalamnya mimik wajahnya persis dengan karakter topeng yang dibawakan tadi. (Dan catatan saya kalok ini tidak punya jam terbang tinggi (belajar tari topeng sudah puluhan tahun) sebagai maestro tentunya ketika dilepas topengnya membawakan karakter marah di dalamnya ternyata berwajah mrenges….
PENUTUP
Dari materi yang disampaikan oleh Sang Maestro tadi tidak ada artinya jika kita hanya berpikir bahwa semua itu bisa dicapai dengan cara instan. Ujug-ujug jadi dan serba cepat, tiba-tiba bisa dicapai dan dilakukan bisa menari dengan luwes dan enak dilihat sak obahe awake. Padahal Sang Maestro sendiri untuk meraih kemampuan capaiannya seperti saat ini diperlukan waktu dan proses yang amat panjang dan berlatih terus setiap saat sepanjang badan dan batinnya masih mampu bergerak.
Perjalanan panjang dan jam terbang tinggi dan ditambah ngangsu kaweruh kepada suhu-suhu tari di mana-mana tidak hanya di dalam negeri tapi juga luar negeri seperti India, Thailand dan Jepang maka capaian beliau sebagai seorang Maestro Tari Garda Depan patut disandang oleh Eyang Didik Nini Thowok.
Salam Budaya