MUSEUM NASIONAL D.33 & D.172
J.L.A Brandes & W.F Stutterheim VS Louis Charles Damais
Prasasti Sirah Kĕting yang ditemukan di daerah Ponorogo, Jawa Timur terdapat dua pendapat yang berbeda dalam penyebutan angka tahunnya. Menurut pembacaan J.L.A. Brandes dan W.F. Stutterheim, Prasasti Sirah Kĕting berangka tahun 1026 Śaka, sedangkan menurut hasil pembacaan Louis-Charles Damais, Prasasti Sirah Kĕting berangka tahun 1126 Śaka. Berdasarkan beberapa hasil perbandingan dapat ditarik simpulan bahwa angka tahun pada Prasasti Sirah Kĕting adalah 1126 Śaka (1204 Masehi), artinya sependapat dengan pembacaan Louis-Charles Damais. Tokoh Śrī Jayawarsa Digwijaya Śastraprabhu merupakan seorang raja yang memiliki kerajaan (kekuasaan) otonom yang terletak di wilayah Madiun dan Ponorogo, Jawa Timur dan merupakan cucu dari Dharmmawangsa Tguh, Pada prasasti tersebut terdapat adanya penyebutan nama Śrī Jayawarsa Digwijaya Śastraprabhu yang merupakan cucu (anak) dari Śrī Iśāna Dharmăwangśā Tguh Hanantawikramotunggadewa. Berdasarkan Kitab Wirataparwa, Śrī Iśāna Dharmăwangśā Tguh Hanantawikramotunggadewa memerintah dalam dasarwasa terakhir abad ke-10 Masehi dan mungkin sampai dengan tahun 1017 Masehi. Jika melihat gelarnya yang mengandung unsur Iśāna, jelas ia adalah keturunan Pu Siṇḍok secara langsung (Poesponegoro & Notosusanto, 1993, hal. 170 – 171). Prasasti tersebut bernama Prasasti Sirah Kĕting yang ditemukan di daerah Ponorogo, Jawa Timur. Menurut pembacaan J.L.A. Brandes (Brandes, 1913, hal. 149 – 150) dan W.F. Stutterheim (Stutterheim, 1940, hal. 364 – 366), Prasasti Sirah Kĕting berangka tahun 1026 Śaka, sedangkan menurut hasil pembacaan Louis-Charles Damais (Damais, 1955, hal. 287 – 288) Prasasti Sirah Kĕting berangka tahun 1126 Śaka.
Prasasti Sirah Kĕting1 sekarang disimpan di Museum Nasional dengan Nomor Inventaris D33 dan D172. Prasasti ini patah menjadi dua bagian, yang bagian atas bernomor inventaris D33 dan bagian bawah bernomor D172. Kondisi Prasasti Sirah Kĕting saat ini masih baik, tetapi ada beberapa bagian yang sudah aus dan sulit dibaca, termasuk pada bagian yang menyebutkan adanya angka tahun. Hal ini menimbulkan dua pendapat yang berbeda pada pembacaan angka tahunnya. Bagian yang menyebut angka tahun terletak pada prasasti yang bernomor inventaris D33, yaitu pada bagian sisi depan prasasti.
Sisi Depan (D33)
1. ║o║om swasthā dirghāyūrāstu
2. ║o║sang hyang wisnu sirāçarira sira ring bhuwana
3. subhaga wasta ring prajā swastha śrī jayawarsa di
4. gjaya śāstra prabhu saphala siněmbahing sa
5. rāt saksāt bhaskara candratirtha sira tā
6. mrta ri hajěng ikang sarāt kabeh astwā
7. ninggya sahaçracandra pangaděg nira sini
8. wi haneng jagat krtā║swasti śaka
9. warsātīta 1026 ka(r)ttikamā
10. sa tithi pañcadaśī śukla paksa amrtam
11. sasamangkana ha pa ca nilangkir graham
12. cāra wawakārana śiwayoga krtamandala
13. hyang kuwera dewatā mûsaka rāśi iri
14. kā diwāśanira sira śrī śāstraprabhu sira sang
15. potra (l)ali ……i…..ngaparap anak
Sisi Belakang (D33)
1. ya makmitana sang hyang ajñā haji anugraha rasāmṛta su
2. baddhākna pagěḥnyānugraha nira sira śrī jaya prabhu irikang
3. atitiḥ mangaran marjaya yadyan ikang marjaya
4. mantuka ring koluyan makasonga kawanangan sang hyang rā
5. jānugraha kāngkěn kā manggalāstawānya ring rāt
6. kalilirana deni wka wetya mne hlěm ta ri dlāha ning
7. dlāha de sang anagata prabhu kasaksyan de tanda (ra)
8. kryān ring pakirakiran makamanggala sira dewa ra
9. ja tuhan mapatih sang apañji jayādhara karuhun
10. sira mpungku çewasogata samgět i tirwan samgět
11. sanga Pañji samaya samgět ran&u kabayan
12. sangapañji madimana sogata mpu wuja
13. taṇḍa sang adhimantrī rakryan ka (D172) nuruhan sa
Sisi Kanan (D33)
1. ………..(ri)prabhu………..
2. ….…(ng)danguky……..madu
3. du(lang)……….(ingha)
4. (mak aliwwan awr)
5. (sabha)…………….ado
6. do kasusursusuran
7. domdoman rāçī
8. ado(dota) besa
9. mās acuring atěhě
10. riwnanganyāngang ( )ḍampa
11. blaḥ karājyan muwaḥ
12. rihanani( )nira
13. dāna nikang marjaya
14. denira sira çrī jayaprabhu āpa
15. n pāwak rikā(di) i……..prabhu bha
(D172)
14. ……………… yaprabhu sang apa
15. ñji tkajaya rakryān huwung atĕhĕr manumbuk i ra
16. kryān pulung kajang atĕhĕr masalĕsih samgat i
17. wka mapañji waśengrāt dumadyakĕn sang hyang ajñā
18. haji rājānugraha kunang ri sdĕngan yan hanānyāyu…
19. ksāngruddha kanāna dĕnda kā 1 su 5 atĕhĕr ma
20. sapatha kabyĕt karmmaknan salwirnikeng janma i
21. katmahanya ring ihatraparatra salwirning janma
(D172)
16. ni sira sang apañji wijayāmrtawarddha(na)
17. sira srī iśānadharmmawangśātguhanantawi
18. kramotunggadewadhipatināmasanga
19. skārābhiśeka. Irika diwāśa nikāng a
20. titih mangaran marjaya. Inanugrahan de ni
21. rar śrī jayadrtaprabhu ikā ta raksa(kmi) …(h)……..ira
22. (katĕ)guh……….
(D172)
14. ta kamung hyang śrī ha
15. ricandana agasti
16. maharśi pūrbwa daksina
17. passima uttara maddhya
18. agneya neriti bā
19. yabya airśanya ū
20. rddhamadhah sira patra
21. …..har sara….d….
(D172)
16. nya sang apañji wijayāmrtawarddha(na)
17. dia adalah śrī iśānadharmmawangśātguhanantawi
18. kramotunggadewadhipatinamasanga
19. skārābhiśeka ditetapkan diberikan
20. bernama marjaya. Dianugerahkan oleh
21. śrī jayadrtaprabhu itu perlindungan ………
22. ……………………………………………………
ALIH BAHASA
Sisi Depan (D33)
1. ║o║ om swasthā dirghāyūrāstu
2. ║o║ Dewa Wisnu sendirilah yang menjelma ke dunia
3. sangat termasyur di kalangan rakyat. Berbahagialah çrī jayawarsa di
3. berkedudukan bernama marjaya yadyan itu marjaya
4. mantuka ke koluyan makasonga sekelompok, sang hyang
5. rājā menganugerahkan menyuruh kā manggalāstawānya di dunia
6. diwariskannya oleh wka wetya mne hlĕm ri dlāha di
7. dlāha yang akan datang oleh prabhu kasaksyan yang bertanda
8. (ra)kryān ring pakirakiran dewa nya dewaraja
9. tuan mapatih sang apañji jayādhara karuhun
10. dia mpungku çewasogata samgĕt i tirwan samgĕt
11. Pañji datang bersama-sama samgĕt raṇu kabayan
12. sangapañji madimana sogata (penganut agama Buddha) mpu wujataṇ
13. Sang adhimantrī (perdana menteri) rakryan ka (D172) nuruhan
Sisi Kanan (D33)
1. ………. Prabhu …….
2. …………….. minum
3. madu (?)……………..
4. ……………………..
5. …………………….. pakaian
6. ………… menyusuri
7. membagi-bagikan gundukan
8. pakaian besar
9. emas (kekayaan) dikeluarkan kemudian
10. ……………………tahta
11. pembagian kerajaan dan
12. ada di wānirakti dia sima
13. hadiah itu marjaya
14. oleh dia çrī jaya prabhu
15. ……itulah
(D172)
prabhu bha
16. tara dengan jelas wisnu wangsa
17. watara tidak mengikat tidak
18. berbelas kasih di anugrah dia
19. manusia berakhir pada waktu
20. kebaktian dia itulah
21. sebabnya diberikan yang patut dimuliakan marjaya
Sisi Kiri (D33)
1. maupun brahmaṇa
2. maupun kṣtriya
3. maupun 4 weçya
4. maupun sudra angru
5. pemberian pakari diberikan
6. yang ini
7. rakyat begitulah katanya
8. semoga bhasmībhūtātma
9. …. abu kemudian
10. diberikan hak hidupnya kepada
11. dewa yama ║
Dalam Prasasti Sirah Kĕting disebutkan adanya nama raja yang bernama Śrī Jayawarsa Digwijaya Śastraprabhu yang mengaku sebagai cucu anak Sang Apañji Wijayamŗtawarddhana yang bergelar abhiseka Śrī Iśāna Dharmăwangśā Tguh Hanantawikramotunggadewa. Penyebutan nama raja Śrī Jayawarsa Digwijaya Śastraprabhu disebutkan di dalam dua prasasti, yaitu Prasasti Sirah Kĕting dan Prasasti Mṛwak 1108 Śaka (1186 M). Di dalam Prasasti Mṛwak, raja Śrī Jayawarsa Digwijaya Śastraprabhu hanya disebut nama Srī Jaya Prabhu. Dalam pembahasan ini akan diungkap perbedaan penyebutan angka tahun, sedangkan keberadaan Prasasti Mṛwak akan dijadikan sebagai bahan pembanding. Unsur penanggalan adalah bagian yang sangat penting peranannya dalam menempatkan kronologi prasasti ke dalam data sumber penulisan sejarah kuno Indonesia. Hasil pembacaan prasasti di atas diketahui bahwa Prasasti Sirah Kĕting memiliki unsur penanggalan 1026 Śaka, bulan Karttika (nama bulan ke-8 dalam penghitungan tahun Śaka yang jatuh pada
bulan Oktober – November), tanggal 15 paruh terang, hariyaŋ (merupakan hari ke-2 dalam siklus 6 hari/sadwāra), pahiŋ (merupakan hari ke-1 dalam siklus 5 hari/ pañcawāra), śanaiścara (merupakan hari ke-7 dalam siklus 7 hari/saptawāra).
menurut pembacaan J.L.A. Brandes & W.F. Stutterheim, usia Prasasti Sirah Kĕting lebih tua 82 tahun, itu artinya adalah usia Raja lebih dari 82 tahun. Secara logika itu merupakan usia yang terlalu tua untuk rata-rata umur manusia meskipun hal itu dapat saja terjadi. Jika dilihat dari gelar rajanya, Prasasti Sirah Kĕting sangat panjang menyebutkan nama gelar, yaitu Śrī Jayawarsa Digwijaya Śastraprabhu, tetapiPrasasti Mṛwak hanya menyebutkan Srī Jaya Prabhu. Pada hal ini juga terlihat adanya kejanggalan karena seorang raja, di satu sisi disebutkan secara lengkap tetapi pada beberapa tahun kemudian hanya disebutkan dengan pendek. Berbeda halnya dengan hasil pembacaan dari Louis-Charles Damais, usia Prasasti Sirah Kĕting lebih muda 18 tahun. Secara logika hal ini masuk akal karena seorang raja memerintah kerajaan bisa lebih dari 18 tahun. Jika dilihat dari gelarnya, Prasasti Mṛwak hanya menyebutkan nama Srī Jaya Pprabhu, sedangkan Prasasti Sirah Kĕting lebih
panjang, yaitu Śrī Jayawarsa Digwijaya Śastraprabhu.
Dapat ditarik simpulan bahwa Raja Srī Jaya Prabhu ini dulunya masih berupa raja kecil sehingga hanya menyebutkan gelar yang pendek, tetapi dalam jangka waktu 18 tahun kemudian, kekuasaannya semakin besar dan gelar rajanya semakin panjang, seperti yang tertulis pada Prasasti Sirah Kĕting, yaitu Śrī Jayawarsa Digwijaya Śastraprabhu. Perbedaan angka tahun tersebut dapat dikaitkan juga dengan keberadaan Śrī Jayawarsa Digwijaya Śastraprabhu sebagai raja di wilayah tersebut. Seperti yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa penyebutan Srī Jaya Prabhu baru diketahui di dalam dua prasasti, yaitu Prasasti Sirah Kĕting dan Prasasti Mṛwak.
Penyebutan Srī Jaya Prabhu dalam Prasasti Sirah Kĕting ini lebih lengkap, yaitu pada bagian manggala disebutkan Śrī Jayawarsa Digwijaya Śastraprabhu prabhu. Pada bagian selanjutnya disebutkan juga Srī Jaya Prabhu, seperti yang terdapat pada Prasasti Mṛwak. Pemakaian nama Srī Jaya Prabhu pada Prasasti Sirah Kĕting terdapat pada baris ke-14 bagian kanan (D33), “…..Sira śrī jayaprabhu . āpa….”, dan pada baris ke-2 bagian belakang (D33), “……..baddhākna pagĕhnyānugraha nira sira śrī jayaprabhu irikang………”. Śri Jayawarsa Digwijaya Śastraprabhu naik tahta yang berarti ia memerintah bersamaan dengan Śrī Kameśwara dan pengganti-penggantinya yang semuanya adalah raja-raja Kadiri, yaitu keturunan dari Raja Airlangga. Dalam Prasasti Mṛwak disebutkan adanya angka tahun 1108 Śaka, di sisi lain dalam Prasasti Cĕkĕr disebutkan adanya seorang raja Kadiri yang bernama Śrī Kameśwara Triwikramāwatāra Aniwaryyawiryya Parākrama Digjayotungga Dewa dan prasasti itu berangka tahun 1107 Śaka (Brandes, 1913, hal. 169). Hal ini berarti bahwa tidak mungkin terdapat dua orang raja yang memerintah dalam satu masa (tahun).
Śri Jayawarsa Digwijaya Śastraprabhu merupakan raja
yang memerintah suatu wilayah di Madiun dan Ponorogo, semasa dengan Śrī Kameśwara Triwikramāwatāra Aniwaryyawiryya Parākrama Digjayotungga Dewa yang merupakan raja dari Kerajaan Kadiri. Kekuasaan Śrī Jaya Prabhu atau Śri Jayawarṣa Digwijaya Śastraprabhu ini terlepas dari kekuasaan Kadiri dan memiliki kerajaan (kekuasaan) otonom, yaitu terletak di wilayah Madiun dan Ponorogo, Jawa Timur (sekarang) meskipun kekuasaannya tidak sebesar Kerajaan Kadiri. Dalam Prasasti Sirah Kĕting disebutkan adanya dampa blaḥ karajyan yang diartikan ‘pembagian tahta kerajaan’.
Dengan demikian bila Śri Jayawarsa Digwijaya Śastraprabhu memperoleh tahta dari buyutnya, kerajaannya terpisah dari Kerajaan Kadiri, itu berarti buyut Śri Jayawarsa Digwijaya Śastraprabhu adalah anak (cucu) satu-satunya dari Dharmmawangsa Tguh dan itulah sebabnya kekuasaan Śri Jayawarsa Digwijaya Śastraprabhu terpisah dari Kadiri. Kerajaan (wilayah) otonom3 ini meliputi wilayah Madiun dan Ponorogo, Jawa Timur (sekarang). Dalam Prasasti Sirah Kĕting disebutkan Śrī Jayawarsa Digwijaya Śastraprabhu mengaku sebagai cucu anak Sang Apañji Wijayamŗtawarddhana yang bergelar abhiseka Śrī Iśāna Dharmăwangsa Tguh Hanantawikramotunggadewa. Jika melihat gelarnya yang mengandung unsur
Iśāna, Dharmmawangsa Tguh adalah keturunan dari Pu Siṇdok (Wardhani, 1982, hal. 163). Keterangan terkait Dharmmawangsa Tguh mulai muncul dalam dasawarsa terakhir dari abad ke10 Masehi dengan pusat kerajaan ada di sebelah utara Maospati, Kabupaten Madiun, Jawa timur (sekarang). Beberapa prasasti juga menyebutkan bahwa Raja Airlangga menyebut dirinya masih anggota keluarga dari Raja Dharmmawangsa Tguh (Poesponegoro & Notosusanto, 1993, hal. 170 – 172).
bahwa angka tahun Prasasti Sirah Kĕting adalah 1126 Śaka (1204 Masehi), artinya hal itu sependapat dengan pembacaan Louis-Charles Damais. Hal ini dibuktikan dengan cara penghitungan tanggal berdasarkan hitungan hari (wāra) nya, yaitu ha. pa. ca sudah sesuai. Terkait dengan perbandingan angka tahun tersebut, terdapat adanya penyebutan nama raja Śri Jayawarsa Digwijaya Śastraprabhu yang dalam Prasasti Mṛwak 1108 Śaka (1186 Masehi) disebut dengan Śrī Jaya Prabhu. Tokoh Śrī Jayawarsa Digwijaya Śastraprabhu merupakan seorang raja yang memiliki kerajaan (kekuasaan) otonom yang terletak di wilayah Madiun dan Ponorogo, Jawa Timur dan merupakan cucu dari Dharmmawangsa Tguh
DAFTAR PUSTAKA
Bakker, W. S. (1972). Ilmu Prasasti Indonesia, Seri Risalah Pengantar Pengadjaran dan Peladjaran Sedjarah. Jogjakarta: Djurusan Sedjarah Budaja IKIP Sanata Dharma.
Boechari. (2012). Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Brandes, J. (1913). Oud Javaansche Orkonden, VBG LX. Batavia: Albrecht & Co.
Casparis, J. d. (1978). Indonesian Chronology. Leiden/Köln: E.J. Brill.
Damais, L.-C. (1955). É´tudes d’Ephigraphie Indonesiénne: IV. BEFEO XLVII (1), 252 – 441. Damais, L.-C. (1995). Epigrafi dan Sejarah Nusantara. Jakarta: EFEO dan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Djafar, H. (1991). Prasasti dan Historiografi. Proceedings Seminar Sejarah Nasional IV: Subtema Historiografi (hal. 177 – 216). Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional.
Nasoichah, C. (2007). Prasasti Mṛwak 1108 Śaka (1186 Masehi). Skripsi, Depok: Jurusan Arkeologi, Universitas Indonesia.
Husnu Mufid
Jurnalis Citizen MM.com