
Azan maghrib belum selesai ketika saya lihat dari kejauhan seorang perempuan tua ribut kecil dengan polisi masjid. Ia menunjuk-nunjuk muka si polisi masjid. Kejadian itu berlangsung persis di bawah payung raksasa yang menaungi halaman luas Masjid Nabawi. Ah, perempuan Indonesia, gumam saya ketika melihat model baju yang dikenakannya. Saya berlari kecil menuju kedua hamba Allah yang sedang bertengkar itu. Si polisi masjid girang melihat saya, terutama ketika melihat seragam petugas haji yang saya pakai.
‘’Ta’al, ta’al, Andanusi, Andanusi,’’ kata si polisi Arab menunjuk perempuan berusia 65 tahun yang menunjuk-nunjuk batang hidungnya.
Si polisi ternyata melarang perempuan itu masuk ke barisan jemaah laki-laki tapi perempuan asal Indonesia itu dengan gagah ngotot ingin masuk ke sana. Tentu saja si perempuan salah karena barisan yang hendak diterobosnya memang berisi laki-laki semua. Ketika itu saya berpikir singkat, perempuan ini pasti tak paham bahwa yang hendak ia masuki adalah kerumunan laki-laki yang hendak salat berjamaah di halaman masjid. Buat polisi Arab, kerumunan itu haram dimasuki jemaah perempuan, sebaliknya kerumunan jemaah perempuan pun haram dimasuki laki-laki.
‘’Suwayya, suwayya,’’ kata saya sambil berlari kecil ke arah
mereka.
Tapi, begitu sampai di lokasi keributan, saya kaget. Ternyata di sana ada tiga hamba Allah, bukan dua seperti dugaan awal saya. Satu lelaki tua, sekitar 70 tahun, juga berwajah Indonesia, ternyata tengah berdiri menyender ke tiang payung raksasa, lengkap dengan kain sarung dan peci di kepala. Makanya saya tak melihatnya dari kejauhan. Dari sini saya jadi paham, rupanya perempuan itu hendak mendampingi si lelaki tadi salat berjemaah, padahal hal itu sangat dilarang oleh semua polisi masjid.
‘’Bu, maaf ya bu,’’ kata saya merayu si perempuan tua yang ngotot ingin masuk ke barisan jemaah laki-laki. ‘’Ibu salat di sana bu, bareng jemaah perempuan. Di sini khusus buat jemaah laki-laki.’’
‘’Iya saya tahu,’’ jawab perempuan itu gesit. ‘’Tapi siapa yang mau jagai suami saya? Saya titip suami saya lho ya.’’
Oh, rupanya perempuan ini sangat gigih ingin menjagai suaminya yang hendak bergabung dengan ribuan jemaah laki-laki lain. Dia sangat khawatir kehilangan suaminya itu. Kepada si polisi masjid saya buru-buru berkata: ‘’Hiya laa turiid an tufaariqa zaujahaa.’’
Si polisi berkumis tipis itu tersenyum mendengar penjelasan saya bahwa perempuan tua itu bukan ingin melanggar peraturan, tapi hanya tak mau berpisah dengan lelaki tua yang menjadi suaminya. Ah, romantis sekali …
Mendengar amanat yang disampaikan perempuan itu saya jadi ngeri. Ini tanah suci. Jika saya pura-pura mengiyakannya padahal saya tak mendampingi lelaki tua itu selama salat maghrib, saya khawatir kualat dari langit jatuh di atas kelapa saya. Maka, saya batalkan niat saya salat di dalam masjid yang dingin ber-AC lalu menggantinya dengan salat di halaman masjid bersama lelaki tua yang belum saya kenal namanya.
Sebelum salat, saya masih sempat melihat perempuan tua itu tetap tak mau bergabung dengan jemaah perempuan yang salat di pelataran masjid. Dia lebih memilih salat bersama dua perempuan lain di luar barisan jemaah perempuan asalkan dari situ dia masih bisa bebas memantau keberadaan suaminya.
Kejadian berikutnya sungguh luar biasa. Berbarengan saat saya menengok ke kanan melakukan salam pertama, mata saya pas tertumbuk pada perempuan itu yang tengah menengok ke kiri melakukan salam kedua. Saya lihat gerak tubuhnya memperlihatkan dia tengah mengawasi kerumunan jemaah laki-laki. Wajahnya memancarkan kekhawatiran. Rupanya ia tengah memastikan apakah suaminya benar-benar masih ada.
‘’Nama bapak siapa, dari mana,’’ tanya saya kepada lelaki tua itu usai salat.
‘’Fatur, Faturahman. Dari Malang.’’
‘’Itu istri bapak? Siapa namanya,’ kata saya menunjuk perempuan tua yang tadi ribut dengan polisi masjid. Si lelaki tua lalu menyebut nama ‘’Jumiatin’’ plus empat anak – padahal saya tidak bertanya jumlah anak mereka.
Sekarang saya ingin tahu, mengapa Jumiatin begitu khawatir melepas Fathurrahman menjelang salat. Maka, secara tersamar saya tes lelaki tua dengan bertanya di mana ia tinggal selama di Madinah? Benar saja, dia lalu menunjuk sebuah hotel yang sangat jauh untuk ukuran lelaki tua seumurnya. Saya tak percaya. Maka, pelan-pelan saya tuntun Fathurrahman ke arah Jumiatin lalu saya tanya perempuan tua itu di mana mereka tinggal selama di Madinah. Tanpa diduga, Jumiatin menunjuk hotel persis di depan pagar Masjid Nabawi – sangat kontras dibanding hotel paling jauh yang tadi ditunjuk suaminya.
Mata Jumiatin berbinar-binar melihat lelaki yang sangat dia kuatirkan itu datang secara utuh bersama saya. Dia peluk lelaki tua itu pelan-pelan. Duh, saat itu saya seperti melihat segumpal besar kasih sayang mengalir dari Jumiatin kepada suaminya. Sejuk, menawan, juga ada ketenteraman yang mendalam.
‘’Bu Jumiatin, ini Pak Fathur saya serahkan. Hati-hati jalan ke hotel ya bu,’’ kata saya kepadanya.
‘’Lho, kok tahu nama saya,’’ kini Jumiatin yang heran.
Dengan niat bercanda saya jawab, ‘’Nama ibu kan ada di gelang ini. Di sini juga ada nomor paspor, nomor kloter, pokoknya lengkap. Makanya gelang ini jangan hilang ya bu.’’
Jumiatin hanya mengangguk sambil mempererat pelukannya pada Fathur. Ia lalu balik badan menuntun lelaki tua di sampingnya menuju hotel. Dugaan saya benar. Tadi Fathur hanya sembarang tunjuk hotel waktu saya tanya dia tinggal di mana. Dia tak tahu jalan, dia tak tahu lingkungan. Lelaki tua itu benar-benar pasrah pada istrinya yang sungguh sangat mencintainya. Padahal, waktu tadi saya tanya siapa nama istrinya, usai menyebut nama Jumiatin Fathur sempat berkata kepada saya bahwa istrinya ‘’bawel, suka ngatur-ngatur.’’
Saya jadi teringat istri saya nun jauh di sana di Indonesia. Dia juga saya rasakan suka ‘’ngatur-ngatur’’ seperti yang dirasakan Fathur. Tapi sekarang di tanah suci ini saya jadi tambah yakin, di balik kebiasaan ‘’ngatur-ngatur’’ istri saya, juga barangkali kebiasaan berjuta-juta istri di sana yang suka ‘’ngatur-ngatur’’ suami mereka, sejatinya ada cinta agung yang tak habis-habis mengalir dari mereka seperti cinta agung Jumiatin yang terus mengalir untuk Fathurrahman. Demi cinta agung Jumiatin pada suaminya, bahkan polisi Arab dia lawan.
Sebagai petugas haji saya sengaja berjalan pelan-pelan di belakang sejoli ini untuk memastikan bahwa mereka tak tersesat di tengah keramaian orang. Saya lihat Jumiatin terus berusaha menggandeng tangan Fathurrahman dengan perasaan khawatir dan kasih sayang, meski saya lihat sang suami berusaha meronta-ronta melepaskan genggaman tangan istrinya – dia ingin bebas, padahal saya yakin ia tak tahu jalan pulang.
Sekarang saya jadi tambah tahu mengapa istri saya selalu menggandeng tangan saya ketika saya mulai tidak betah mengantar dia berkeliling di tengah pasar. Indonesia, aku rindu kamu!
(Ditulis oleh Helmi Hidayat, Konsultan Haji Kemenag 2020
Sholeh
Jurnalis Citizen