Doa Bersama di Petilasan Buyut Cili

Catatan Aekanu Hariyono.

Salah satu petilasan yang biasa ditempuh melalui desa Kemiren atau dari desa Olehsari kecamatan Glagah kabupaten Banyuwangi ini, dipercaya oleh masyarakat penyangganya sebagai tempat “danyang” yang sakral dan dikeramatkan serta dijadikan media untuk berziarah kepada leluhurnya yaitu “Buyut Cili”. Inilah sebabnya petilasan ini selalu ramai dikunjungi orang utamanya pada Minggu sore dan Kamis sore.

Masyarakat Osing desa Kemiren dan sekitarnya percaya bahwa mereka tinggal di tanah leluhurnya, mereka memegang teguh ideologi yang sangat kuat, hal ini terlihat bahwa masyarakatnya masih berpedoman pada tradisi, adat istiadat , sistem budaya, nurma dan pesan leluhur dalam menjalankan aktivitas sehari-hari.

Masyarakatnya sangat menjujung tinggi dan menghormati leluhur mereka yaitu “Buyut Cili” yang dianggap sebagai danyang penunggu desa dan merupakan wacana sakral yang dihadirkan sebagai pusat dalam praktek-pratek mengikuti sistim budaya dan ritual religi mereka. Oleh karena itu, segala sesuatu yang berimplikasi kebaikan, baik secara personal maupun komunal selalu dimohonkan padanya. Arwah Buyut Cili yang dipercaya dekat dengan Tuhan Yang Maha Kuasa.

Bagi masyarakat Kemiren dan sekitarnya yang ingin hajatnya dapat terkabulkan, mereka melakukan selamatan dan berdoa bersama di petilasan Buyut Cili.

AJARAN KEBAIKAN & KEBERSAMAAN.
Sore itu Kamis 20/1/2022 hari itu walau mendung tapi tidak hujan. Hari istimewa bagiku mendapat undangan dari Kang Samsul Slamet Diharjo untuk acara NGATURI dhahar atau selametan tumpeng pecel pitik di petilasan Buyut Cili menandai rasa syukur telah satu tahun Pesinauan Adat berlangsung.
Di dusun Sukosari sambil menunggu peserta selametan, aku habiskan waktu untuk foto selpi karena bangganya mengenakan syal yang baru, udheng dan sarung batik buatan Mbah Sum sambil menikmati damainya alam dan mendengar musik bonangan sayup – sayup dari kejauhan.

Saatnya tiba, di samping luar dinding petilasan aku duduk bersila di atas tikar berjejer dengan yang hadir duduk sesuai tepian tikar di mana di tengah2nya disiapkan tumpeng pecel pitik. Usai doa dipimpin oleh sesepuh desa, tumpeng pecel pitikpun segera disantap.

Aku mengambil nasi dan pecel pitik kuletakkan di atas daun pisang, begitu nikmat dan lahapnya aku menyantap hidangan ini, tangan kiri menyangga daun berisi nasi pecel pitik sementara tangan kananku sibuk menjejalkan menu lezat khas desa ini ke mulut.

Ssst begitu kaget dan malu aku saat melihat orang-orang di kiri kanan depan dan sekelilingku, mereka makan dalam posisi nasi pecel pitik di atas daun pisang yang semuanya diletakkan di atas tikar.

Merasa menyalahi adat tradisi perlahan aku letakkan daun berisi nasi pecel pitik di atas tikar mengikuti mereka.

“Ini sungguh hebat, norma tatanan tradisi yang tidak tertulis, mengajarkan ‘kebersamaan’ duduk bersama tanpa merasa ada yang menjadi orang istimewa, makan harus menunduk sebagai bentuk penghormatan kepada orang2 tua dan kepada para leluhur”, gumamku dalam hati.

Peristiwa yang aku alami ini pernah terjadi saat makan pada acara “sedhekah”, tak ada piring berisi makanan yang terangkat dari atas tikar dan makannya harus menunduk.

Kabul khajate dulur2 🤲🤲🤲.

Rahayu..Rahayu..Rahayu sagung dumadi 🙏🙏🙏!!!

(By Aekanu – Kiling Osing Banyuwangi).