Ratu Pitu Ramalan Hanacaraka & Satria Wirang

Catatan Mas Arya Ranggalawe.

Konflik kekuasaan pun terus berlanjut di era Mataram Islam hingga datangnya bangsa penjajah (VOC – Belanda). Atas intervensi kekuasaan asing, kerajaan Mataram pun akhirnya dipecah “sigar semongko” dalam perjanjian Giyanti menjadi 2 yaitu Kasultanan Jogjakarta dan Kasunanan Surakarta. Disusul pecahnya lagi Surakarta karena Pangeran Sambernyawa juga menuntut hak atas tahta Mataram. Akhirnya Pangeran Sambernyawa pun mendapat jatah wilayah kekuasaan & menjadi Raja Mangkunegaran.

Dari jaman monarkhi hingga beralih ke era demokrasi dengan lahirnya Republik Indonesia pada 18 Agustus 1945 (berdirinya NKRI secara de jure), konflik kekuasaan, pemberontakan, dan perebutan tahta masih terus mewarnai sejarah perjalanan Nusantara.

Belum lama bangsa Indonesia lepas dari penjajahan Belanda (Nedherland) yang hengkang pasca Agresi Militer Kedua, Partai Komunis Indonesia (PKI) pimpinan Muso yang berkiblat ke Soviet (Rusia) tercatat pernah merongrong pemerintahan yang sah dibawah kepemimpinan Soekarno – Hatta. PKI dengan gerakan politiknya melakukan upaya coup pada tahun 1948 di Madiun. Peristiwa ini dikenal dengan Madiun Affair. Dan Muso, akhirnya berhasil di tangkap dan dieksekusi.

Ujian dan cobaan dari dalam diawal berdirinya NKRI, terus terjadi. Pasca penumpasan Muso, Darul Islam (DI/TII) dibawah komando Sekarmadji Maridjan Kartosoewiryo memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII). Namun, nasib Kartosoewiryo pun berakhir tragis sama seperti Muso, dieksekusi mati.

Sejarah mencatat, ketiga tokoh yaitu Soekarno, Muso dan Kartosoewiryo adalah saudara seperguruan “tunggal banyu”. Mereka bertiga adalah murid politik Pak Cokro (Raden Haji Oemar Said Cokroaminoto), seorang begawan politik yang juga tokoh Partai Sarekat Islam.
(bersambung..)