Dari Kediri ke Banyuwangi, Menggelung Cerita Sri Tanjung Dalam Puisi

 

: ngablak pagi Mashuri Alhamdulillah.

Pada tahun 2014, saya bersilaturrahmi ke Komunitas Jambu di Kediri. Sebuah komunitas literasi yang asolole. Lokasinya di Desa Jambu, Kecamatan Kayen Kidul, Kabupaten Kediri. Saya berangkat dari Surabaya pagi hari dengan naik bus dan tiba di terminal Kediri kota sebelum waktu duhur tiba. Padahal saya sudah disarankan pengelola komunitas, Mas Iwan Kapit, untuk naik bus jurusan Pare, agar dekat dengan lokasi yang saya tuju. Dari Kediri kota saya baru naik ojek ke alamat yang ditunjukan Mas Iwan Kapit. Namun, karena tukang ojeknya sok tahu, saya dibawa ke alamat yang sama sekali berbeda.

“Di sini, Mas?” tanya tukang ojek, ke sebuah paberik rokok besar dan terkenal.
“Bukan, Pak. Yang saya tuju itu Pare, dekat paberik rokok lain, bukan paberik rokok yang ini,” seru saya, karena ternyata yang ditangkap tukang ojek hanya kata ‘paberik rokok saja’. Hadeh!
“Oalah, Mas!” seru dia.

Kami pun berkendara lagi. Kira-kira sejam kemudian, baru muncul secercah harapan. Setelah melewati simpang lima Gumul, dan mengarah ke Pare, saya mulai lega. Saya minta berhenti ketika saya melihat gapura pintu masuk kota Pare. Di jalan, saya sudah menebak, tukang ojek bakal minta tambah ongkos. Ternyata, benar. Saya pun mengabulkan permintaaannya, hmmm seperti juragan saja, dan ia pun menyunggingkan senyumnya. Saya turun, lalu memberitahu Mas Iwan Kapit bahwa saya sudah sampai. Hari masih siang, kira-kira lepas duhur.

Saya dijemput Mas Iwan Kapit dengan motor. Setelah melewati jalanan desa yang mulus, kami pun sampai di lokasi. Waktu itu, komunitas ini masih nebeng di rumah seorang kepala sekolah MTs setempat. Saya pun mewawancarai Mas Iwan Kapit karena komunitas ini termasuk fenomenal, untuk dimuat di majalah Panji Balai, edisi perdana. Komunitas literasi ini menarik karena memberdayakan masyarakat desa. Tiap tahun, menggelar festival desa. Beberapa penulis pun pernah mampir ke sana untuk berdiskusi. Pada saat itu, saya diajak melihat lokasi calon dibangunnya markas komunitas di bawah rumpun bambu yang luas dan teduh.

Setelah saya rasa cukup, jadwal selanjutnya adalah blusukan. Saya minta tolong pada salah satu anggota komunitas untuk diantar ke beberapa situs purbakala di kawasan itu. Seingat saya, ada empat situs, yang kami tuju, yaitu Candi Tegowangi, Candi Surowono, Petilasan Prabu Sri Aji Jayabaya, dan sebuah kolam pertapaan. Dari keempatnya, saya terkesima dengan Candi Surowono.

Mungkin karena objek ini baru pertama saya kunjungi. Selain itu, candi ini penuh dengan cerita. Sayangnya, saat itu, saya tidak dapat mengeksplornya lebih jauh karena saya bersama seorang kawan, yang saya takut ia memiliki kesibukan lain. Saya tidak lama di sana. Namun, saya mencatat, salah satu kisah yang menarik adalah keberadaan Sri Tanjung, karena bagi saya saat itu, Sri Tanjung adalah milik Banyuwangi. Bagaimana ia sampai di Kediri?

Pada Maret 2017, saya bersua Sri Tanjung lagi dalam perjalanan saya di Situbondo. Yeah, ketika itu momennya adalah visualisasi sastra dan bahasa di Situbondo. Lokasi tepatnya di Dusun Tambak Ukir, Kecamatan Kendit, yang berbukit-bukit. Sebuah perjalanan yang menantang karena tim kami melakukannya pada malam hari.

Menjelang magrib, kami masuk gerbang Sri Tanjung, Dusun Tambak Ukir. Di sekitar kami, cahaya matahari telah ditaklukkan rerimbun hutan, yang tumbuh di sepanjang punggung bukit di Kendit. Begitu mobil parkir di tepi jalan dusun, tepat di pinggir kuburan desa, terdengar suara azan. Entah kenapa, saya seperti diungsikan ke dunia lain. Benar kata kawan Marlutfi Yoandias, ini negeri di atas awan. Sebuah keping lain dari Situbondo, yang kini mulai bising.

Pasca-sowan ke petilasan Sri Tanjung di tengah sawah, dalam keremangan cahaya bakda magrib, kami pun bergegas ke punggung bukit sebelah. Setelah menunggu beberapa sedotan Jisamsu, kelompok Pojjihan Sakti pun membelah sepi dengan paparegannya: sebuah akapela yang mempertemukan legenda Sri Tanjung, Pandalungan, dan alam gunung yang ritmis nan magis…

Ini adalah kejutan yang indah karena sebelumnya kedatangan kami tak direncanakan ke sana. Sri Tanjung yang selalu identik dengan Banyuwangi, ternyata mampir juga ke bukit di dusun Tambak Ukir. Bahkan, nama dusun itu berasal dari kebiasaan sang putri yang gandrung mengukir kayu jati. Konon, ketika kalbu Sri Tanjung dirundung mendung karena ulah Sidopekso, ia akan berjalan mundur. Sesampainya di sana, ia akan tepekur dan menumpahkan gundah hatinya pada sebatang pohon jati. Kini, tilas itu masih tampak berapi, dan dijaga seorang juru kunci sepuh bernama Nyi Mentos, yang mengingatkan saya pada nama sebuah pohon mentaos. Terlebih, kawasan tersebut dikenal sebagai penghasil jati berkualitas tinggi. Yang menarik, di sini, bukan tempat Sri Tanjung bunuh diri. Hmmm, dalam kisah lisan di sana, Sri Tanjung bukan dibunuh tetapi bunuh diri.

Pada saat pojjihan disenandungkan, Sri Tanjung kembali hadir dalam nyanyian. Sampiran papareghan yang mengarah pada bunga jati dan bunga beringin adalah dua pohon yang menghiasi tilas Sri Tanjung. Tradisi lisan yang nyaris punah itu terasa karib dengan sekelilingnya. Ia menyapa sejarah, alam, dan manusianya…

Selepas acara, kami lanjutkan dengan bersenda dan makan bersama. Selepas makan kami pun meluncur turun ke sebuah langgar di kawasan Panarukan, untuk menyimak pembacaan macapat atau mamaca, dengan anggota lima orang, dengan usia termuda 55 tahun seorang, dan selebihnya rata-rata 60-70an tahun. Kami pun ngalab berkah pada doa yang mereka panjatkan pada awal dan akhir acara.

Project ini memang bertujuan menghimpun yang berserak dari tradisi. Sehari sebelumnya, kami ke Besuki dan Panarukan. Dua kota yang pernah menjulang pada masa lalu. Besuki dikenal sebagai sebuah karesidenan Java Ooshoek pada masa kolonial. Panarukan dikenal sebagai pelabuhan internasionalnya, dan abadi dengan jalan pos Anyer–Panarukan, yang dibangun Deandles (1808). Terlalu banyak indah kabar daripada rupa, karena cukup banyak tinggalan sejarah yang tersia-sia, meskipun ada pula yang mendapatkan penghargaan sebagaimana layaknya. Kami hanya ingin merangkai semacam alur bayangan bahwa tradisi pojjihan dan mamaca tidak hadir begitu saja. Keduanya berada di pundak raksasa yang bernama ruang dan waktu. Namun, sungguh, keberadaan Sri Tanjung di Bukit Tambak Wukir masih menyisakan tanya yang beribu. Peristiwa itu pun memunculkan puisi “Perjalanan Ziarah”. Salah satu baitnya adalah sebagai berikut.

di Tambak Ukir, ketika tembang pujian memintal kenangan,
ada yang berdzikir pelan-pelan
menghikmati Sri Tanjung —dengan tilas
perawan bening berkain kawung

Pada tahun, 2018, saya bertandang ke Kediri lagi dalam rangka menyusun bahan bacaan untuk anak SMP, dengan cara puitisasi candi dan artefak lama. Kali ini, saya blusukan sendiri. Selain mencari beberapa naskah kuno di Kediri, saya ke beberapa situs candi tinggalan Kerajaan Kediri, mulai dari Situs Tondowongso, Candi Gurah, Situs Calon Arang, dan lainnya. Lagi-lagi saya juga ke beberapa candi yang baru, salah satunya Candi Surowono lagi. Saya ke sana karena saya melihat Surowono masih dapat terbilang utuh sebagai sebuah candi karena beberapa candi lainnya sudah kocar-kacir. Pada saat inilah, saya memiliki kesempatan untuk mengeksplorasinya.

Dari sebuah sumber, saya mengetahui Candi Surowono Kediri merupakan candi Hindu dari zaman Kerajaan Majapahit. Candi ini berukuran kecil, tetapi banyak relief cantik. Lokasinya di Desa Canggu, Kecamatan Pare, Kediri. Candi Surowono ini diperkirakan dibangun pada tahun 1390 M sebagai tempat pendharmaan bagi Wijayarajasa atau Bhre Wengker. Dalam Negarakertagama dinyatakan Candi Surowono ini disebut pula Wisnubuwanapura, yaitu sebuah tempat pemujaan bagi Dewa Wisnu, yang berada di bawah kekuasaan Majapahit.

Candi Surowono diperkirakan dibangun pada tahun 1390, tetapi selesai tahun 1400. Candi ini dibuat sebagai tempat pensucian atau pendharmaan bagi Wijayarajasa, Bhre Wengker, merupakan paman Maharaja Sri Rajasanegara, raja Majapahit yang lebih masyhur dengan sebutan Prabu Hayam Wuruk. Bhre Wengker meninggal pada 1388, dan upacara srada yang merupakan upacara ritual 12 tahun setelah kematiannya, diselenggarakan pada 1400, yang diduga sebagai tahun selesainya bangunan Candi Surowono.

Di kaki candi terdapat relief-relief hewan dan cerita Tantri. Pada badan candi bagian atas terdapat relief Arjunawiwaha karya Mpu Kanwa yang digubah sekitar tahun 1035 pada masa pemerintahan Raja Airlangga. Ada pula relief Bubuksah dan Gagang Aking, dan relief Sri Tanjung. Nah, ini dia!

Memang yang sangat menarik di Candi Surowono Kediri adalah relief pada dinding candi yang sangat kaya. Salah satunya Sri Tanjung. Alkisah, Sidopekso dan Sri Tanjung adalah sepasang kekasih, yang suatu ketika terpisah karena Sidopeksa di utus pergi untuk sebuah misi. Ketika Sidopeksa kembali, ia menuduh Sri Tanjung tidak setia, dan lalu membunuhnya. Sidopeksa menyadari kesalahannya dan merasa sangat putus asa. Di dunia orang mati, Sri Tanjung naik seekor ikan besar untuk menyeberangi sungai, namun ia ditolak masuk surga karena waktu ajalnya belum tiba. Durga kemudian menghidupkan kembali Sri Tanjung, dan akhirnya Sidopekso dan Sri Tanjung dipersatukan kembali.

Dari sinilah saya berusaha menyusun puisi anak-anak, berjudul “Kisah-kisah Kuno di Surowono” yang panjang, yang saya bagi dalam bagian 1—5, sesuai dengan panel relief candi, dan kisah Sri Tanjung ada di dalamnya. Berikut ini kutipannya, khusus yang berbicara tentang Sri Tanjung, yaitu pada bagian 1 dan bagian 3, dan penutup bagian 5.

KISAH-KISAH KUNO DI SUROWONO

1
Di Candi Surowono, terpahat kisah-kisah kuno
Di bagian kaki, terpatri cerita-cerita Tantri
—mengisahkan perilaku satwa penuh tamsil
Sebagai pembanding dari alam ganjil
Di badan candi, panil-panilnya
Menggambarkah tualang Arjuna
Bersamadi di Gunung Indrakila
—mahakarya Mpu Kanwa pada 1035
Sebagai lambang Airlangga, ayah rajadiraja
yang pernah bertahta di Timur Jawa

Ada kidung Sri Tanjung, cerita cinta
Berurai air mata dan dirundung murung
Ada kisah Gagang Aking-Bubuksah
Yang membuat kita tahu ujung gelisah
Jalan pencarian kesempurnan pada Tuhan

Bila dikau ingin mendengarnya
Izinkan Patik yang hina-dina bermadah
Inilah tembang seorang bujang remaja
yang baru belajar merangkai kata

3
Sri Tanjung termenung ketika Sidapeksa
suami tercinta, mendapat titah dari raja
pria pujaan itu harus pergi ke negeri jauh
menempuh aral dan rintang melabuh

Entah kenapa hati Sri Tanjung gundah
Naluri perempuannya membuatnya resah
Ia hanya dapat berdoa pada dewata
Berharap suaminya sehat dan sentosa
Pulang kembali dalam kondisi sempurna

Waktu pun berlalu, bulan berganti.
Hari-hari bergaung menenun tahun
Kabar suami tak kunjung datang bartamu
Sri Tanjung mengurung cinta dan rindu
Di balik tudung rahasia dada dan kalbu
Ia begitu setia, meski banyak bangsawan
Ingin merengkuh ia punya kejelitaan
Ia pun diisukan janda. Menjadi gunjingan

Suatu ketika, Sidopeksa datang juga
Sebelum sampai rumah, ia mendengar
Pergunjingan ihwal isteri terkasih
Ketika Sidopekso mengetuk pintu,
Sri Tanjung menghamparkan rindu
Tapi Sidopeksa kadung menghunus amarah nafsu
Ia menyarungkan keris ke jantung Sri Tanjung
Sri Tanjung pun mati. Darahnya berbau wangi
Sidopeksa hanya bisa meratapi diri

Di alam arwah, Sri Tanjung mengarungi bahtera
Berupa ikan besar yang dikaruniakan dewata
Tapi perjalanan ruhnya ditolak masuk sorga
Konon, ajal sang penyayang belum waktunya tiba

Durga, penguasa Setra Gandamayu, turut pilu
Ia lalu meniup degup jantung Sri Tanjung
Ia pun hidup dan kembali dari alam suwung
Sidopeksa terpana. Ia pun meneriakkan kata:
“Bila dosa itu ada, Isteriku, akulah moyangnya”

5
Di candi tempat pendharmaan Bhre Wengker
Bawahan raja Majapahit yang wingit dan angker
Tidak hanya kisah-kisah cantik dibuhul relief ciamik
Cerita lisannya melimpah seperti alir sungai Brantas
Saat hujan tiba. Kisah yang terjalin dari masa-masa lawas

Di candi yang bernama lain Wishnubhawanaputra
Juga banyak artefak arca dan hiasan dinding lainnya
Beberapa raksasa Gana berdiri di tubuh candi
Ia dipilih Ganesa sebagai pelayan Dewa Shiwa
Sungguh unik dan menarik. Candi di Desa Canggu
Didirikan untuk pemujaan pada Dewa Wisnu

Sejak dulu, nenek moyang kita selalu bijaksana
silahkan berbeda jalan, tetapi tetap satu tujuan
Demikianlah, patik yang fakir ilmu meramu kata
Sebagai pengakhir madah, inilah buah pepatah:
“kalau ada sumur di ladang, bolehlah menumpang mandi
kalau ada umur panjang, bolehlah berpuisi candi lagi!”

Kediri, 2018

Hmmm, saya dipertemukan dengan Cerita Sri Tanjung lagi. Hal itu karena selama ini, Cerita Sri Tanjung terlanjur diambil alih oleh Banyuwangi, Jawa Timur, dan dikekalkan dalam kisah asal-usul Banyuwangi, tentu saja juga diabadikan sebagai nama sebuah kereta api ekonomi jurusan Yogyakarta—Banyuwangi. Padahal Sri Tanjung adalah khasanah klasik di Jawa, juga Bali, yang dalam alur dan latarnya, tak sedikit pun nyenggol Bumi Blambangan.

Saya sedikit tahu bahwa keberadaannya terekam dalam berbagai warisan dan artefak, mulai dari tradisi lisan, manuskrip, hingga relief candi. Yang paling rentan untuk berubah di antara tinggalan tersebut adalah yang berbentuk lisan. Dapat dibayangkan bagaimana perubahan yang terjadi, karena dalam tradisi manuskrip saja, perubahan itu juga terjadi.

Selama ini, sudah diketahui, ada perbedaan antara Sri Tanjung dalam tradisi pernaskahan Bali dengan Sri Tanjung dalam pernaskahan di Jawa atau Banyuwangi (dalam Aminoedin, 1982; Turaeni, 2004). Apalagi mengacu pada tradisi pernaskahan paling tua (Prijono, 1938). Prijono (1938), dalam disertasinya di Universitas Leiden Belanda, dengan brilian merunut dengan metode stemma ihwal arketipe atawa babon naskah Sri Tanjung yang menjadi khasanah naskah kuno di Banyuwangi dan Bali tempo doeloe. Ia berhasil menghadirkan 22 naskah kuno dan merekonstruksi sebuah naskah tertua, sekaligus mentransliterasinya. Jos!

Namun, ada yang luput. Sebuah penelitian tahun 1980/1981 (40 tahun lalu!) terhadap sebuah naskah kuno Sri Tanjung mengungkap ada kisah Sri Tanjung yang berbeda. Dalam tradisi filologi, sebenarnya naskah tersebut ‘hanya’ sebuah varian dan tidak disebut-sebut Prijono (1938). Kala itu, para peneliti, karena itu hasil penelitian tim, tidak berani mengklaim sebagai sebuah kreativitas —elan vital filologi modern, yang dengan tegas berani menyatakan ‘keliyanan’ dari versi mainstream sebagai sebuah hasil cipta baru. Padahal, ada sebuah entri menarik: islamisasi Sri Tanjung. Mungkin mirip dengan Islamisasi dalam khasanah “I La Galigo”.

Dalam penelitian tersebut, bukti dipaparkan tetapi tidak dirumuskan dalam sebuah konklusi paradigmatik. Para penelitinya juga tidak berani menjustifikasi sebagai sebuah transformasi dan akulturasi kebudayaan. Konon, begitulah seharusnya sebuah penelitian dilakukan. Hanya memaparkan temuan baru!

Yang agak membuat saya sedikit pilu, penelitian itu menyebut naskah kuno Sri Tanjung yang diteliti merupakan ‘codex unicus’, alias naskah tunggal, yang pada saat itu, sudah rusak parah. Sahdan, naskah tersebut pernah disimpan di Museum Banyuwangi. Pada 1928, naskah tersebut ditemukan oleh penduduk yang diperkirakan masih ada hubungan kerabat dengan Bupati Banyuwangi. Sebelumnya, naskah itu telah diselamatkan dari pembakaran besar-besaran yang dilakukan Belanda.

Berdasar sebuah sumber, pada tahun 1980, kondisi naskah sudah rusak, ditulis di atas bahan kertas Eropa, dalam huruf pegon, dengan metrum macapat Jawa, setebal 187 halaman. Kolofonnya menunjukan penulisannya pada tahun 1671 Saka, wuku Prangbakat, yang ketika dikonversi ke dalam penanggalan Masehi bertahun 1746 Masehi. Adapun penyalinannya disebutkan selesai pada hari Selasa, pukul 03.00, tanggal 29 Dulkaidah, dan tidak disebutkan tahunnya. Sayangnya, beberapa waktu lalu, ketika saya bersua dengan Pak Aekanu Haryono, budayawan Osing Banyuwangi, untuk menelisik ulang naskah tersebut, karena kepentingan penelusuran Cerita Sri Tanjung dalam versi lain, ia memberikan sebuah kejutan tak terduga.

“Naskah itu sudah hilang, Mas, dan itu PR saya yang belum selesai untuk menemukan dan mengembalikannya,” terang Pak Aekanu.

Hmmm. Padahal saya sudah merencakan sebuah topik tentang transformasi ideologi dan rokok, yang ternyata memang masih ‘ada’ dalam naskah kuno tersebut. Sayangnya juga, saya belum membaca buku Mbak Wiwin Indiarti, dari Banyuwangi yang meneliti naskah lontar Sri Tanjung dan cerita Sri Tanjung, dan telah membukukannya. Mudah-mudahan saya segera mendapatkannya. Ngarep nih!

Adapun dalam dunia relief percandian di Jawa Timur juga terdapat perbedaan-perbedaan terkait dengan cerita Sri Tanjung (Kieven, 2014). Setidaknya ada empat candi di Jawa Timur yang mengabadikan cerita Sri Tanjung pada bangunan candi tinggalan zaman Kerajaan Majapahit. Kieven (2014) mencatat keberadaannya ada di Candi Penataran (Blitar), Candi Surowono (Kediri), Candi Jabung (Probolinggo), dan Candi Bajang Ratu (Mojokerto). Namun, dari keempatnya, Candi Surowono lebih lengkap dan lebih memiliki daya tawar sebagai sebuah kreativitas pada zamannya.

Selain Kieven, terdapat para ahli sastra dan purbakala lain yang membahas panel relief di Candi Surowono, di antaranya adalah Worsley (1986) dan Klokke (1995). Mereka berdua memiliki penafsiran berbeda, terutama terkait panel-panel relief yang dialami Sri Tanjung di alam sesudah mati dan jenis binatang tunggangan Sri Tanjung di alam kematian.

Memang, terdapat perbedaan di antara beberapa candi di Jawa Timur dan beberapa cerita yang dianggap lebih tua. Ada versi yang menyebut Sri Tanjung menunggang buaya. Adapun pada panel candi tertentu, semisal Candi Penataran dan Candi Surowono yang berhasil saya jepret, digambarkan Sri Tanjung menunggang ikan, bukan buaya. Kieven (2014) tidak melakukan tafsir mengenai soalan itu. Ia hanya menyebutkan ikan merupakan bagian dari kisah Sri Tanjung versi lisan yang lebih tua atau versi tulis yang telah hilang dan menggantinya dengan buaya dalam versi yang lebih terkenal dan lebih baru (Kieven, 2014).

Pada 2019, saya ke Banyuwangi dalam rangka riset yang mengangkat topik “Perempuan dalam Cerita Rakyat Banyuwangi”. Salah satu cerita yang akan saya teliti adalah Sri Tanjung. Lainnya adalah Dewi Sekardadu dan Sayu Wiwit. Agar proses penelitian lebih menginternalisasi dalam diri saya, saya naik kereta api Sri Tanjung dari stasiun Sidoarjo—Banyuwangi. Salah satu lokasi yang saya tuju adalah Sumur Sri Tanjung, di Jalan Sidopekso, Banyuwangi Kota. Banyak cerita di luar konteks pada saat saya ke sana.

Dari perspektif sastrawan Banyuwangi, Mas Taufik Wr Hidayat, saya tahu cukup banyak tentang posisi sumur Sri Tanjung dan asal-usul Banyuwangi. Ia pun menyodorkan sebuah paradigma baru terkait dengan pemaknaan kata ‘Banyuwangi’ yang dilekatkan pada keberadaan sumber air di Banyuwangi tempo dulu. Sebuah perspektif yang maknyus!

Ketika saya pulang dari Banyuwangi menuju Sidoarjo, di atas kereta Sri Tanjung, saya menulis sebuah puisi yang sangat panjang. Puisi yang merupakan gelibat perasaan saya pada saat itu. Entah kenapa, saya merasa sebagai seorang Sidopekso. Berikut ini saya nukilkan beberapa bait saja, karena terlalu panjang dan berliku-liku.

MATA AIR AIR MATA

: Kidung Sri Tanjung

“akulah lelaki berkepala batu itu, Cintaku
yang terburu menghunus duwung
dan menikam jantungmu
dengan bilah berpamor bedung
hingga kau berlayar
menumpang perahu keheningan
mengarungi lautan di luar mistar
dirundung gamang
berkarib dengan buaya
–utusan alam kegelapan”

ia, yang kausapa Sidopekso, tidak hanya terluka
rupa batinnya mirip beling
—manik-manik india
dihantam meriam raksasa
ia tepekur di tepi sungai, nyaris gila
oleh duka tak terperenai,
meski lewat tangannya juga
sang kekasih — Sri Tanjung
beralih ke alam abadi
nir
suwung

Banyuwangi, 2019

Demikianlah. Meskipun dua project saya tentang naskah cerita Sri Tanjung belum terealisasi, yaitu ihwal transformasi ideologi dalam naskah Sri Tanjung Banyuwangi dan posisi rokok dalam khasanah naskah kuno, tetapi saya patut bersyukur. Bagaimana tidak, saya telah berkali-kali melakukan ‘perjumpaan’ dengan Sri Tanjung dan menggelungnya dalam bentuk puisi, meskipun puisi saya tidak sewangi darah Sri Tanjung yang suci dan mengaliri sungai…

Crit!

MA
On Sidokepung, 2021.
Ilustrasi jepretan sendiri. (1) Sumur Sri Tanjung (2) Sri Tanjung menunggang ikan di Candi Surowono (3) Naskah Kuno di Kediri