Mengenang Perjalanan menjadi Wartawan Jawa Pos (2)

Memang menyenangkan jika mengingat masa lalu. Saat menjadi mahasiswa, juara LKTI dan bisa menulis di media. Hingga menjadi wartawan Jawa Pos. Berikut ini dikisahkan Tofan Mahdi :

 

Bermodal lebih dari 50 artikel yang dimuat di media massa dan memenangi lebih dari 10 kali lomba karya tulis selama mahasiswa, saya kirimkan surat lamaran kerja ke Jawa Pos. Sempat ngeper (grogi), karena salah satu syarat administratifnya adalah IPK minimal 3. Sedangkan IPK saya hanya 2,75.

Sejak tulisan pertama dimuat di Jawa Pos
pada Februari 1993, menulis menjadi kegiatan harian saya selama menjadi mahasiswa. Setidaknya dua pekan sekali saya kirim tulisan di berbagai media, tidak selalu dimuat, tetapi lebih banyak yang dimuat daripada yang ditolak. Zaman itu, artikel kita dimuat di media apalagi di media besar seperti Jawa Pos, sangat keren. Kalau bahasa sekarang, viral.

Selain menulis, saya juga aktif mengikuti berbagai lomba karya tulis. Sebagian besar atas inisiatif sendiri, tetapi ada juga yang penugasan dari kampus seperti Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI) Perguruan Tinggi Muhammadiyah se Indonesia dan Lomba Debat P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila).

Dalam LKTI PTM se Indonesia saya yang berpasangan dengan Heru Priyosasmito (Almarhum) menjadi juara 2, dan dalam Lomba Debat P-4 untuk kali pertama UMJ sukses menjadi wakil Kabupaten Jember dalam lomba tingkat provinsi.

Setidaknya ada lebih 10 lomba karya tulis yang sukses saya menangi selama mahasiswa. Antara lain LKTI di Universitas Airlangga di mana saya yang berpasangan dengan Arif Firmansyah menjadi juara 2, LKTI di ITS, dan Ubaya.

Salah satu lomba yang cukup bergengsi di mana saya menjadi juara pertama adalah Lomba Penulisan Artikel Hari PBB yang di selenggarakan Jawa Pos dan Pemuda Muhammadiyah.

Pada lomba ini, saya menungguli dua nama besar yang jelas saat ini namanya jauh melampaui nama saya yaitu Prof Dr Zakiyuddin Baidhawy saat itu mahasiswa UMS dan sekarang menjadi Rektor IAIN Salatiga dan Husni Amriyanto, sekarang dosen UMY. Atas berbagai prestasi tadi, saya mendapatkan beberapa beasiswa antara lain beasiswa Supersemar dan dari Kopertis.

Sering menulis artikel di Jawa Pos dan puncaknya memenangi Lomba Artikel
Hari PBB, saya mulai mengenal lebih dekat dengan tokoh-tokoh kunci Redaksi Jawa Pos. Mulai berkenalan dengan Mbak Oemi Theresia Oemiati (Sekretaris Redaksi) dan jajaran elite redaksi lainnya seperti Kepala Redaksi Sholihin Hidayat (Almarhum) dan trio Redaktur Pelaksana yaitu Dhimam Abror, Arif Afandi WakGus Arif Afandi, dan Ali Murtadlo. Juga yang paling dikenal dan ditakuti oleh para kolumnis mahasiswa, yaitu Maksum. Maksum adalah Redaktur Opini Jawa Pos, jadi dialah yang menentukan lolos tidaknya artikel yang dikirim oleh para penulis termasuk mahasiswa.

“Tulisan Anda kemarin jelek sekali, terlalu dipaksakan. Tetapi besok tetap saya muat karena temanya paling sesuai,” kata Maksum sinis, saat saya menemui dia di kantor Redaksi Jawa Pos, Jalan Karah Agung Surabaya.

Maksum menemui saya tak sampai 5 menit dan hanya disuguhi air mineral gelas. Meski kecewa karena tidak bisa ngobrol banyak dengan redaktur opini legendaris ini, saya tetap tersenyum karena mendapat kepastian besok artikel saya dimuat.

Sekira 10 tahun kemudian, saat saya menjadi Managing Editor di Jawa Pos dan Maksum tetap menjadi Redaktur Opini, dalam
suasana guyon saya ingatkan peristiwa tadi.

“Mas iling (ingat) gak dulu pas mahasiswa,
aku dari Jember mau ketemu sampeyan, hanya diterima 5 menit?”.

“Mosok Fan? Lali aku.” Kami berdua sontak tertawa.

Selain empat nama tadi, nama-nama wartawan Jawa Pos yang nge-post di luar negeri juga menjadi sumber inspirasi saya untuk terus merintis fondasi menjadi seorang wartawan profesional.

Saat itu, Jawa Pos adalah salah satu media yang banyak memiliki wartawan di luar negeri. Beberapa nama yang sangat saya ingat dan menjadi inspirasi saya saat itu antara lain Djoko Susilo (Almarhum) di Washington DC, Ramadhan Pohan Full di Sofia Bulgaria, Zarmansyah di Ankara Turki, Wing Wiryanto (Almarhum) di Roma Italia, Dany Suyanto di Hongkong, Bahar Maksum dan banyak lagi.

Kembali ke masa kuliah, kesibukan menulis, ikut lomba mewakili kampus, belum lagi aktif di HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), dan menjadi Pemred Majalah FE UMJ Misikonomika, membuat kegiatan kuliah saya keteteran.

Bagi dosen-dosen yang berlatar belakang aktivis, mereka sering maklum dan memberikan nilai saya B terlepas berapa pun nilai ujian saya dan persentase absen saya.

Tapi saat ketemu dosen murni, seringkali dapat nilai C dan D. Saya tak mungkin mengulang kuliah karena sudah di-warning kakak yang membiayai kuliah.

Lulus ujian skripsi pada Oktober1996 dan menunggu wisuda, saya bekerja serabutan. Uang bulanan dari kakak sudah stop sejak lulus skripsi jadi mulai mandiri. Tidak mungkin kos, akhirnya nebeng di rumah teman, namanya Heryawan. Memyambung hidup, saya bekerja serabutan mulai jualan sarung sampai keripik tempe. Juga bekerja di sebuah BMT (baitul mal wa tamwil) milik seorang dosen.

Semua saya jalani selama hampir enam bulan hingga Jawa Pos membuka lowongan calon wartawan, saya lolos seleksi awal, hingga akhirnya menjadi satu dari 12 orang yang diterima sebagai wartawan Jawa Pos. Tidak hanya senang tetapi juga bangga karena pelamarnya saat itu lebih dari seribu orang.

Bagaimana liku-liku proses seleksi sebagai calon wartawan di Jawa Pos? Akan saya tuliskan pada seri berikutnya. (tofan.mahdi@gmail.com/ bersambung)

foto: Tofan Mahdi (tengah) saat menjadi pemenang kedua dalam LKTI PTM se-Indonesia tahun 1994 di Semarang.