Garakan Ratu Adil di Jawa Timur Pemberontakan Aryo Galedak di Tapal Kuda (1)

Oleh : Mashuri Alhamdulillah.

 

Dalam catatan sejarah, Bumi Puger, Jember, seakan-akan tidak pernah sepi dari pergerakan politik. Pada rentang 1815—1818, muncul sosok Ario Galedak, ada pula yang menyebutnya Aria Gledak. Ia dianggap pemberontak oleh para penguasa pada masanya. Namanya tercatat dalam berbagai sumber sejarah, baik berupa naskah kuno maupun tulisan sejarah yang lebih modern.

Sebuah telaah mutakhir tentang tokoh yang satu ini menyebutkan sisi lain yang tidak pernah terungkap dalam penulisan sebelumnya bahwa Ario Galedak mendaku diri sebagai ‘Ratu Adil’. Sebuah pendakuan yang mendahului Raden Mas Ontowiryo, alias Pangeran Diponegoro yang memicu berkobarnya Perang Jawa yang begitu dahsyat dan hampir membuat Belanda bangkrut (1825—1830).

Sejarawan dari Universitas Gadjah Mada, Sri Margana, yang menyebutkannya demikian. Dengan detail khas, ia menelusuri asal-usul dan motif Ario Galedak melakukan gerakannya dalam buku yang merupakan hasil disertasinya di Universitas Leiden pada 2007 dan diterjemahkan menjadi “Ujung Timur Jawa, 1763—1813, Perebutan Hegemoni Blambangan” (2012).

Pada masa kekuasaan Inggris (1811—1816), Kabupaten Puger berada di bawah Raden Adipati Suryadiningrat. Bupati inilah yang dituduh oleh pihak kolonial turut terlibat dalam kerusuhan Probolinggo, ketika penduduk memberontak pada tuan tanah pada tahun-tahun sebelumnya. Pada masa ini Puger dibagi menjadi dua distrik. Bagian selatan di bawah mantri wedono bernama Patih Reksonegara, sedangkan sebelah utara (Bondowoso) di bawah Patih Kertonegoro. Di Puger, pajak dan upeti dikumpulkan oleh pemerintahan di Besuki, tempat seorang petugas pajak asli Eropa berkantor.

Kerusuhan pada tahun 1815 bermula dari Desa Keting, yang terletak di perbatasan Lumajang dan Puger, yang kini masuk Kecamatan Jombang, Kabupaten Jember. Di desa itulah tinggal Ario Galedak, Durasit (Abdurrasit), dan Wirasetya. Ario Galedak sendiri berasal dari Desa Tempeh, sebuah desa di Lumajang selatan. Adapun Durasit dan Wirasetya dikenal sebagai dua orang santri asal Cirebon yang awalnya menetap di Desa Gronggong, masuk distrik Klakah. Keduanya adalah murid Ario Galedak pertama, terkemuka dan paling terkenal. Pada masa berikutnya keduanya ditunjuk sebagai tumenggung oleh Ario Galedak. Durasit di Bondowos, sedangkan Wirasetya di Besoeki. Lho, bagaimana Ario Galedak bisa memiliki pengikut dan kekuasaan sedemikian rupa? Masih panjang ceritanya.

Ternyata ketika diusut, Ario Galedak adalah pegawai perkebunan yang sangat mapan. Sahdan, setelah Ario Galedak berhenti sebagai opziener (pengawas) perkebunan kopi di Keting, ia pun menyepi ke Gunung Semeru. “Beberapa tahun kemudian dia datang ke Puger dan mengumumkan diri sebagai pertapa dan secara perlahan-lahan mengaku diri sebagai ‘Ratu Adil’ dengan gelar Hyang Giri Nata (Ratu Gunung),” demikian tulis Sri Margana.

Sebagaimana janji Ratu Adil di tanah Jawa, Ario Galedak berjanji akan mengusir orang Eropa dari bumi Ujung Timur Jawa atau Tapal Kuda, dan menghapuskan segala jenis pungutan dan pajak yang membebani rakyat kecil. Agama dan peribadatan memegang peran penting dan terdepan dalam gerakan Ario Galedak. Tak heran, dalam waktu yang cukup singkat, ‘Ratu Adil’ mampu mengumpulkan simpati dari masyarakat kebanyakan. Dengan diikuti sejumlah besar pengikut, dia pindah dari Keting ke Puger, yang berjarak 15 paal ke arah tenggara. Sebuah sumber lain menyebut, pengikut Ario Galedak ketika memasuki Puger sudah sejumlah 400 orang.

Pengikut Ario Galedak semakin banyak. Di tengah perjalanan dari Desa Kencong menuju Menampu, yang mengikutinya semakin melimpah. Ia seperti bola salju yang semakin lama menggelinding semakin besar dan besar saja. Di Menampu, seorang prajurit Derpayuda bergabung dan berjanji akan menggulingkan Patih Reksonegoro. Pejuang lainnya Encik Razit, kepala Desa Bugis ditunjuk sebagai jenderal yang memimpin gerakan ini. Tanpa rintangan yang berarti rombongan orang-orang itu bergerak dari Puger ke utara melewati Rambi, Jember, Sentong (Bondowoso), beberapa tempat ketika para kepala desa secara spontan menggabungkan diri dengan rombongan tersebut.

Sebelumnya, ketika memasuki Puger, penguasa setempat Patih Reksonegoro yang merupakan seorang Cina Muslim menyambut kedatangan mereka dan menganggapnya sebagai peziarah. Selanjutnya ia menulis surat kepada Patih Bondowoso yaitu Kertonegoro agar bersedia bekerja sama. Namun, Patih Bondowoso tersebut memiliki pemikiran lain. Ia memerangi rombongan pengikut Ario Galedak. Bupati ini memngumpulkan 500 orang dan bergerak ke arah barat menuju Desa Biting. Di sini rombongan pasukan berhenti di Sungai Sentong yang disambungkan dengan Jembatan Batu Nangkan. Selanjutnya pasukan memasang meriam dan menunggu rombongan Ario Galedak yang menganggap kehadiran mereka sebagai sekutu.

Perang besar pun berkecamuk dan seakan-akan tak berkesudahan. Durasit, yang dianggap sakti, terbunuh oleh sebuah peluru meriam yang menghantam tubuhnya. Ario Galedak mundur, tetapi terus diburu dan dibunuh di Desa Jambi Arum. Sedangkan Wirasetya dibunuh di persawahan. Patih Puger, Reksanegara, ditawan di Desa Batrang lalu dibawa ke Besuki, karena dianggap makar melawan pemerintahan kolonial. Patih ini kemudian dibuang ke Banjarmasin bersama 40 orang pemberontak lainnya. Dalam insiden ini, ‘hanya’ 18 orang yang tewas. Adapun ketika pemberontakan terjadi, Bupati Puger sedang berada di Surabaya. Setelah itu, Kertanegara diangkat sebagai ronggo untuk Puger dan Bondowoso, dia meninggal pada tahun 1828.

“Cerita ini dikisahkan oleh anak Kertanegoro, yang kemudian menjadi bupati dan juga generasi tertua yang tinggal di Bondowos dan Puger,” demikian tulis Sri Margana dalam catatan kaki.

SIASAT PATIH KERTONEGORO
Gerakan Ario Galedak menemui jalan buntu karena siasat Patih Kertonegoro. Uniknya komunikasi yang terjalin pada masa itu adalah lewat surat. Diawali dari surat Patih Puger Reksonegoro kepada Patih Bondowoso Kertonegoro, sehingga Patih Bondowoso bisa menyiapkan siasat untuk menjinakkan Ario Galedak. Dalam surat tersebut, Patih Puger menyebut bahwa Puger telah dikuasai oleh musuh besar.

Menurut sebuah sumber, begitu Patih Kertonegoro membaca surat Patih Puger, ia geram. Pasukan disiapkan untuk menghadang musuh di Desa Sumberpandan. Sebagaimana telah disebutkan Sri Margana, jumlah pasukannya 500 orang. Karena hari telah malam, pasukan menginap di sana, selanjutnya baru esok pagi perjalanan dimulai.

Pada malam itu, datang utusan dari pihak Ario Gledak untuk menyampaikan surat kepada Patih Kertonegoro. Isi suratnya menjelaskan Ario Gledak esok pagi akan pergi menuju Besukiuntuk “menata agama warga Besuki”. Tentu hal ini terkait dengan pendakuan diri Ario Galedak sebagai ‘Ratu Adil’. Disebutkan juga dalam surat, untuk itu ia dan pasukannya singgah sebentar di Bondowoso. Dimintanya Patih Kertonegoro untuk menyediakan jamuan bagi pengikut dan pasukannya.

Patih Kertonegoro telah menerima dua surat. Sebagai orang yang telah menguasai surat-menyurat serta diperkaya dalam pengalaman hidup, kedua surat itu segera mengajarkan bahwa ia perlu berhati-hati serta waspada. Ia pun menjalankan tiga langkah. Pertama, mempersiapkan medan tempur. Dalam rapat dengan penasehatnya, disepakati, perangnya di Sentong. Kedua, ia menulis surat ke Patih Besuki yang isinya memberitakan bahwa Puger telah jatuh ke tangan musuh. Pembesarnya telah menyerah dan takluk kepada pemberontak, serta tidak lupa memberitahukan bahwa besok pagi pemberontak akan tiba di Bondowoso, untuk selanjutnya menuju Besuki.

Ketiga, ia membuat surat balasan kepada Ario Galedak. Surat itu disusun dengan menggunakan kalimat-kalimat yang halus tetapi penuh dengan siasat. Jika tidak dipahami dengan tepat, surat itu memberi kesan bahwa Patih Kertonegoro telah menyerah. Isi surat itu menyebutkan bahwa Patih Kertonegoro senang sekali atas keinginan Ario Galedak singgah di daerah kekuasaannya di Bondowoso. Disebutkan pula, ia telah menyiapkan jamuan makan serta tempat peristirahatan secukupnya sebagai layaknya orang menyambut tamu. Semuanya sudah siap. Hanya tinggal memotong lembu dan kambingnya. Kedatangan Ario Gledak sangat dinantikan. Hanya permintaan Patih Kertonegoro, jika benar Ario Galedak hendak berdamai, sebaiknya senjata pasukannya diletakkan, sebagai tanda hati yang suci, bebas dari rasa curiga dan purrbasangka.

Ario Galedak merasa senang dan lega setelah membaca surat balasan dari Patih Kertonegoro. Tanda bahwa Patih Bondowoso bisa dijadikan sekutu. Buktinya ia bersedia menjamin menyediakan jamuan makan pada pasukannya.

Terkait dengan siasat Patih Kertonegoro menghadapi Ario Galedak, ada beberapa versi yang berkembang. Versi sejarah yang ditulis mutakhir menyebutkan, adanya siasat peperangan di jembatan Gronggong, sebelah utara Sentong, salah satunya adalah versi Sri Margana dan beberapa sumber lainnya. Adapun dalam naskah kuno terutama dalam Babad Bondowoso yang disalin M. Soeroto pada 1919 sama sekali tidak menyebutkan hal itu.

Dalam versi Mashoed yang berjudul “Sejarah dan Budaya Bondowoso” (2004), terdapat versi lain dari kematian Ario Galedak dan pengikutnya. Dalam perang tanding antara Patih Ketonegoro dan Ario Galedak. Pasukan Ario Galedak akhirnya terdesak mundur. Disebutkan panglima perang Abdurrasid atau Durasit dapat dipenggal lehernya. Pasukan Bondowoso terus mengejar sisa-sisa pemberontak yang melarikan diri.

“Akhirnya Ario Galedak pun tertangkap, kemudian dieksekusi. Kepalanya dan kepala Abdurrasid diarak oleh orang-orang ke lapangan Desa Mandar. Di sanalah kedua kepala pemberontak yang terpenggal itu diletakkan di tiang pancang untuk dipertontonkan kepada khalayak ramai,” demikian Mashoed menulis akhir tragis dari Ario Galedak.

BEBERAPA VERSI LAIN
Yang tidak kalah serunya adalah merebaknya perbedaan versi tentang siasat perang Patih Kertonegoro. Versi pertama menyebutkan bahwa siasat Ki Patih Kertonegoro menghadapi Ario Gledak adalah dengan cara melepaskan atau mengendurkan pancang-pancang tiang jembatan Sungai Gronggong. Versi ini termuat dalam beberapa sumber, di antaranya manuskrip yang disalin oleh Moen’am Wondosubroto pada 1938 berjudul Babad Besuki, yang bersambung dengan Babad Bondowoso. Kedua karya H. Abd. Razaq Q dan SS Sidik, 1974, “The Origin of Bullfight Connected with the History of Bondowoso” yang terbit pada 1974.

Sumber lainnya adalah karya Sabarudin dari Bagian Politik/Keamanan Daerah Kabupaten Bondowoso, terbit pada 1967, bertajuk Sejarah Kota Bondowoso. Versi tersebut berbeda dengan versi kedua yang merupakan temuan hasil kerja Tim Tujuh Pembuatan Sejarah Bondowoso yang menyusun naskah Ringkasan Sejarah Berdirinya Kabupaten Bondowoso pada 1992. Versi tim tujuh ini seperti halnya salinan tangan M Soeroto pada 1919, yang sama sekali tidak mengemukakan siasat jembatan Sungai Gronggong.

Versi pertama memang menyuguhkan peristiwa tipu muslihat jembatan Sungai Gronggong dengan dramatis dan sangat indah. Dikisahkan, Ario Galedak, Durasit, dan pasukan mereka, dengan gembira masuk perangkap Patih Kertonegoro. Jembatan itu dihiasi janur dan bunga-bungaan layaknya menyambut kedatangan tamu besar, padahal tiang-tiang pancang jembatan itu sudah dilonggarkan supaya bisa runtuh kalau dilewati pasukan pemberontak.

Tidak hanya itu saja, Patih juga membuat barak tempat peristirahatan di sebelah utara sungai dan dihiasi janur kuning serta bunga-bungaan, juga dilengkapi dengan paseban, semacam tempat menjamu para tamu agung yang dilengkapi gamelan sebagai sarana hiburan. Untuk menimbulkan rasa aman dan nyaman, d sebelah utara disiapkan pasukan pengawal sekedarnya dengan pakaian seragam dan persenjataan lengkap. Namun, di sebelah selatan sungai, mata-mata liar siap meledak. Di sana, telah bersiap sepasukan yang menyamar. Mereka terlatih dan ditempatkan di titik-titik strategis untuk memukul habis pasukan Ario Galedak.

Alkisah, begitu Ario Galedak dan rombongan pasukannya datang, gamelan dibunyikan untuk menyambut mereka. Ario Galedak mengira bahwa ia disambut sebagai tamu agung, namun sesungguhnya bunyi gamelan itu adalah pertanda serangan dimulai.

Pasukan Patih Kertonegoro yang menyamar memukul dari selatan sungai, sedangkan pasukan dari utara terus mendekat ke tebing sungai di sebelah utaranya. Pasukan Ario masuk perangkap melewati jembatan, dan jembatan pun runtuh. Pasukan kuda dan lain-lainnya terjatuh ke sungai. Begitu Ario Galedak, Durasit dan Wirasetya terbunuh, sisa pasukannya kocar-kacir dan tercerai berai. Dalam versi ini, setelah kepala Ario Galedak dan Durasit dipertontonkan di Desa Mandar, kemudian ditanam di tengah alun-alun Bondowoso dengan upacara resmi sebagai pelajaran bagi mereka yang akan menggulingkan pemerintahan.

Atas jasa-jasanya, Patih Kertonegoro dihadiahi uang sebesar 4.000 Ringgit Spanyol dan diangkat sebagai Ronggo sebagaimana yang telah disebutkan. Puger pun melorot menjadi sekedar kademangan, karena Patih Puger dianggap ikut makar, dan selanjutnya Puger berada di bawah kekuasaan Ronggo Kertonegoro Bondowoso. Meski demikian, sebagaimana watak kekuasaan yang tidak bisa langgeng, begitulah dengan kekuasaan Ronggo Kertonegoro.

“Sabarudin dalam naskahnya menafsirkan hadiah 4.000 itu sebagai akhir hubungannya dengan Pemerintah Belanda. Kompeni merasa dilangkahi karena Ki Ronggo mengambil kebijakan sendiri tanpa seizin Belanda. Itulah sebabnya pada 1830 beliau diberhentikan dari jabatannya sebagai Ronggo I dan digantikan oleh putera keduanya yaitu Raden Kertokusumo,” demikianlah Mashoed memungkasi tulisannya.

Yup, demikianlah segala sesuatu di dunia ini pasti berubah. Benar kata pepatah: tidak ada yang abadi di dunia, kecuali perubahan itu sendiri. Embuh pepatah ini dari mana, yang jelas, biar tampak mbois, ngablak ini harus diakhiri dengan kata-kata yang berbau bijaksana, karena dalam menyikapi sejarah kita dituntut untuk bijaksana dan tidak mudah menvonis. Soalnya, yang punya kewenangan menvonis hukum hanya hakim! Joko Sembung naik becak, gak nyambung Cak!

Cihui!

MA
On Boemi Sidopoerno, 2021
Teks dari berbagai sumber. Ilustrasi ramban Google.