Sekelumit Perjalanan Syekh Abdul Muhyi

Nama Syekh Abdul Muhyi tak asing lagi bagi para warga di Pamijahan, Tasikmalaya karena sosoknya diyakini sebagai salah seorang wali Allah yang memiliki segudang karomah.

Syekh Abdul Muhyi lahir dari keluarga bangsawan. Ayahnya, Sembah Lebe Warta Kusumah, adalah keturunan raja Galuh (Pajajaran). Syekh Abdul Muhyi dibesarkan di Ampel, Surabaya, Jawa Timur. Pendidikan agama Islam pertama kali diterimanya dari ayahnya sendiri dan kemudian dari para ulama yang berada di Ampel. Dalam usia 19 tahun, beliau berguru pada Syekh Abdur Rauf Singkel, seorang ulama sufi dan guru tarekat Syattariah.

Masa studinya di Aceh dihabiskannya dalam tempo enam tahun (1090 H/1669 M-1096 H/1675 M). Setelah itu bersama teman-teman seperguruannya, ia dibawa oleh gurunya ke Baghdad dan kemudian ke Mekah untuk lebih memperdalam ilmu pengetahuan agama dan menunaikan ibadah haji. Setelah menunaikan ibadah haji, Syeikh Haji Abdul Muhyi kembali ke Ampel.

Syekh Abdul Muhyi tiba di Darma, termasuk daerah Kuningan, Jawa Barat. Atas permintaan masyarakat muslim setempat, ia menetap di sana selama tujuh tahun (1678-1685) untuk mendidik masyarakat dengan ajaran Islam. Setelah itu ia kembali mengembara dan sampai ke daerah Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat. Ia menetap di Pameungpeuk selama 1 tahun (1685-1686) untuk menyebarkan agama Islam di kalangan penduduk yang ketika itu masih menganut agama Hindu. Setelah itu ia ke Lebaksiuh, bermukim di sana selama 4 tahun (1686-1690). Kemudian, ia bermukim di dalam gua yang sekarang dikenal sebagai Gua Safar Wadi di Pamijahan Tasikmalaya Jawa Barat.

Pada sisi lain, perkembangan Islam berlangsung sangat pesat berkat kegigihan Syekh Abdul Muhyi yang memusatkan perguruannya di Karang Pamijahan. Pada era ini, Pamijahan menjadi kabuyutan yang menebarkan spiritualitas islami bagi pemerintahan Sukapura. Syekh Abdul Muhyi adalah ulama masagi atau paripurna. Ada beberapa hal yang membuatnya berhasil menyebarkan dakwah di wilayah Priangan.

Pertama, ia memiliki jaringan luas meliputi Cirebon-Aceh-Makasar-Solo-Jawa Timur-Trengganu yang membuat namanya menjadi harum.
Kedua, Syekh Abdul Muhyi adalah ulama sineger tengah (moderat) yang independen terhadap kekuasaan. Ia penerus ajaran Syekh Abdurrauf Singkel Aceh yang berusaha mendamaikan ajaran martabat (alam) tujuh yang sebelumnya cenderung panteistis dengan paham sunnah yang tetap menolak ajaran wujudiyah yang menganggap adanya penyatuan antara Tuhan dengan hamba. Ajaran yang didamaikan itulah yang disebarkan Syekh Abdul Muhyi dari desa Karang.
Ketiga, Syekh Abdul Muhyi adalah ulama yang akomodatif dengan budaya lokal. Sejauh ini belum muncul riwayat adanya perlawanan dari masyarakat sekitar desa Karang atas dakwah Syekh Abdul Muhyi. Hal itu menunjukkan pemahaman mendalam Syekh Abdul Muhyi terhadap kebudayaan sehingga orang Sunda di wilayah Priangan Timur secara tulus mengakui bahwa dialah tokoh yang mengislamkan karuhun mereka.
Keempat, Syekh Abdul Muhyi adalah ulama patriotik anti penjajahan Belanda. Sikap itu ditunjukkannya ketika ia melindungi Syekh Yusuf Makassar yang melarikan diri dari kejaran pasukan Belanda, akibat kemelut politik di Banten. Kedatangan Syekh Yusuf digunakan Syekh Abdul Muhyi sebagai kesempatan untuk menimba ilmu pengetahuan. Kedatangan Syekh Yusuf ini tak urung membuat masalah bagi Dalem Sawidak. Pada tahun 1683 ia ditangkap dan dibawa ke Batavia karena dicurigai melindungi pejuang dari Makassar itu, tetapi setahun kemudian ia dibebaskan. (isi)