Aribi, Sang Budak Penakluk Kultur Bagdad

 

Catatan Ringan:
T. Taufiqulhadi

Di masa kegemilangan Khilafah Abbasiyah, seorang budak menapak dalam dunia hiburan, dan budak cantik ini akhirnya dianggap sebagai salah satu seniman germelap yang menghiasi warna peradaban Abbasiyah. Perempuan yang penuh talenta dalam dunia seni dan penuh vitalitas dalam hidupnya, menjual kemampuan bermusiknya dan jasa pribadinya kepada figur-figur yang sangat berkuasa, agar ia mulus menunggang gelombang budaya Baghdad di masa itu.

‘Arib, demikian ia dikenal, memiliki masa kecil yang sangat muram. Ia lahir pada tahun 797 M, di Baghdad, masa setengah perjalanan periode kepemimpinan Khalifah Harun ar-Rasyid (786-809 M), dari keluarga cukup terhormat, Barmakid. Tapi ketika usianya lima tahun, ayahnya meninggal, dan tak lama kemudian ibunya juga menyusul. Kelurga ibunya, yang mulai berat dalam kehidupan sehari-hari, tidak mau memelihara ‘Arib, selain karena mereka tidak ada dukungan keuangan lagi dari keluarga ayahnya, juga rupanya ‘Arib terlahir dari hasil hubungan yang tidak resmi. Ibunya berstatus budak untuk Barmakid.

Dalam dunia Islam saat itu, status budak masih dibenarkan . Para budak biasanya berasal dari wilayah yang bukan Islam, seperti dari Eropa tengah dan Eropa utara. Dan secara tradisonal, menjadi budak berarti bekerja dan mengabdi kepada elite top secara ekonomi dan politik. Demikian juga, ‘Arib, tuannya adalah seorang terkemuka, yang berarti sangat baik secara ekonomi dan pendidikan.

Dalam usianya sekitar tujuh tahun, Arib sudah bisa menggubah lagu, yang biasanya bercerita tentang dirinya sendiri dan keluarga Barmakid, yang semula sangat berjaya jatuh ke tempat rendah seperti sekarang. Kemampaun anak kecil ini membuat tuannya tertarik, dan itu awal dari perubahan nasibnya. Tuannya, yang kemudian pindah ke Basrah, Irak selatan, memberikan kesempatan kepadanya untuk belajar membaca dan menulis agar ia menjadi lebih terampil mengasah bakat yang mulai kelihatan.

‘Arib dengan cepat menguasai pelajaran menulis dan membaca, dan ia tertarik dengan semua buku yang ada di perpustakaan tuannya, yang ia baca di kala senggang. Basrah dan Baghdad tempat pertemuan antara budaya padang pasir Arab yang kering yang kaku dan budaya Iran yang romantik. Diperkirakan, dari perpustakaan tuannya, ia mulai menelusuri khazanah budaya Iran yang sangat kaya. Sebab, dalam usia kurang dari empat belas tahun, ‘Arib, selain telah dapat menggubah lagu, ia juga menulis puisi dan menguasai alat-alat musik dengan sempurna. Bahkan ia dapat menulis prosa. Puisi-puisi yang ia buat dia ketengahkan kepada teman-teman tuannya dalam bentuk lagu. Dengan demikian, ia sesungguhnya telah melakukan puitisasi lagu saat itu.

Karena puisi yang dinyanyikan, lagu-lagu Arib menjadi sangat bernas. Ia terus-menerus menggubah dan menciptakan lagu. sepanjang hayat, ia telah menciptakan tidak kurang dari 1000 buah lagu. Tetapi selain menyanyi dan membuat puisi, ‘Arib juga menguasai berbagai jenis permainan yang terkenal saat itu, seperti di antara permainan catur, dan berbagai bentuk “game” lainnya. Dengan semua kemampunnya itu, ‘Arib adalah perempauan cantik yang sangat disukai untuk hadir guna memeriahkan acara para kelompok kelas atas di Basrah.

Dalam usianya sekitar 15 tahun, karena keterampilan menyanyi serta, tentu saja kecantikannya, namanya telah melampaui Basrah dan kini mulai dibucarakan di kalangan elite Baghdad. Memang ‘Arib sangat memukau, selain bisa menyanyi, membuat puisi dan ia juga bisa bermain catur secara baik. Tapi yang lebih penting, ia juga sangat memesona. Kecantikannya sangat termashur. Sebagai perbandingan, ‘Arib itu bisa disebut gabungan Scarlett Johansson dan Taylor Swift, atau jika masih ingat, yang lebih tepat lagi percampuran antara Elizabeth Taylor dan Amy Winehouse. Elizabeth Taylor artis dan selebiriti hebat yang jelita, dan Amy Winehouse penyanyi dan sekaligus penulis lagu hebat yang cantik.

Ketika menjadi milik Khalifah Al Amin, ‘Arib masih berusia 16 tahun, dan sempat sekali-sekali muncul di depan tamu dengan mengenakan baju anak laki-laki. Khalifah Al Amin, yag berkuasa selama dua tahun, dijatuhkan dan tewas di tangan tentara adiknya, Al Makmun, pada 813 M di usianya 28 tahun. Al Makmun penggantinya dikabarkan mengeluarkan uang sebesar 50.000 dirham (koin perak) untuk membeli Arib dari tuannya. Jumlah tersebut — dimaksudkan untuk mengembalikan investasi tuannya yang telah mendukung berbagai latihannya itu — dianggap sangat besar untuk saat itu. Pada abad kesembilan, seorang buruh terlatih dibayar tidak lebih dari 20 dirham per bulan, dan 50.000 dirham dapat membeli sebuah garmen dengan tenaga terampil yang hebat-hebat di dalamnya.

Pada masa ‘Arib, para penyanyi budak secara luas dipandang sebagai bagian yang terikutkan dalam budaya Baghdad yang sangat kaya dan hyper-powerful. Sekaligus, kehadiran qiyan (penyanyi perempaun) ini menandakan disetujuinya sexual libertinism , dengan dinding istana sebagai pelindung dari mata publik. Terlindung dari pandangan mata publik, para qiyan ini bebas keluar masuk dari ruang pribadi pejabat istana. Karena itu pasti dapat menarik perhatian para pengamat. Abu Nawas (w. 814 M), yang tidak lain merupakan penyair terkemuka saat itu, melukiskan suasana budaya permisif soal transaksi seksualitas di kalangan elit. Ia pernah membuat syair tentang seorang budak perempuan yang tidak dikenal:

Di luar, ia memperlihatkan kesalehan kepada hamba-hamba Allah / Kemudian menghampiriku dengan malu-malu dan seulas senyuman / Aku mendekati hatinya untuk mengadu (tentang dia) / Tapi tidak sendiri — ada antrian yang bermil-mil panjangnya.

Abu Nawas adalah satiris luar biasa yang menjulang, yang mungkin setara, jika tidak lebih besar, dengan satiris Prancis abad ke-17, Voltaire . Namanya melekat hingga hari ini. Dengan bakatnya yang luar biasa, Abu Nawas dapat melukiskan budaya Baghdad yang megah dan kehidupan elit di Kota Seribu Satu Malam itu yang kosmopolit tapi dengan derajat hipokrisi tertentu.

Al Makmun merupakan khalifah kedua dalam barisan khalifah yang menikmati layanan dan talenta ‘Arib bersama figur terkemuka Abbasiyah lainnya, seperti anggota istana dan pribadi-pribadi berpengaruh lainnya di Baghdad dan Samara, kota yang sempat jadi ibu kota kekhalifahan itu dari 836 hingga 892 M. Setelah itu al Mu’tasim (memerintah 833-42), yang disebutkan sebagai khalifah yang memerdekakan Arib. Menurut kabar, Khalifah ini mengeluarkan uang tidak kurang dari 10.000 dirham untuk membeli Arib. Al Mutawakkil (memerintah 847-61) adalah orang berikutnya. Tapi tidak diketahui persis kapan sesungguhnya ‘Arib merdeka secara hukum. Ketika meninggal dalam usia 96, ia merupakan perempuan yang tetap memiliki kekayaan yang besar dan masih sangat dihormati.

Apakah yang dibeli para penguasa itu? Atau, lebih tepat, apa yang sesungguhnya ‘Arib jual baik secara literal maupun kiasan? Para budak perempaun, khususnya yang dipekerjakan untuk dunia hiburan, “merupakan kebutuhan konsumsi yang mencolok mata”. Mereka akan bersaing sangat keras hingga mereka mendapat tempat dalam dinding-dinding istana. ‘Arib memiliki ketrampilan yang luar biasa sebagai penyanyi, komposer, pemain kecapi (gitar gambus), yang juga menggubah dan membaca puisi, serta menulis prosa. Rupanya ‘Arib merupakan juru bicara kelompok mapan yang pasih, dan bagi kebanyakan telinga, komposisinya berkecendrungan memperkuat norma.

Dia memang diberkatikan kecantikan yang luar biasa. Tapi penampilannya tidak sekedar mengandalkan kecantikan saja. Di antara figur-figur besar dalam budaya Baghdad yang didomaninasi laki-laki, ia cepat menyesuaikan diri berkat kecerdasannya baik ketika sedang mentas maupun ketika menemani tamu-tamu terhormat istana. Kiranya dapat diduga, kehidupan pribadinya pasti terombang-ambing antara kekasihnya, kebutuhan panggungnya, dan dunia kepura-puraan.

Karena kekasih, dia pergi / Meskipun berlawanan dengan keinginanku / Aku Keliru terpisah dari seseorang / Yang aku belum temukan penggantinya / Karena tidak hadir dari pandanganku/ Aku benar-benar lelah dalam keseluruhan hidupku.

Beris berikut yang kita baca ini, puisi yang ia nyanyikan.

Cukup! Aku tidak akan tertipu lagi / Engkau telah membuatku sangat bodoh / Engkau begitu sering berubah-ubah — apa yang harus dilakukan / Hatimu bukan milikku untuk memerintah.

‘Arib tidak berpetualang. Tapi ia telah berhubungan dengan enam khalifah Abbasiyah, satu di antaranya, menurut pengakuan sendiri, ia sangat menaruh hati.

Singkatnya, kehidupan ‘Arib adalah pertunjukan — yang berusaha menyeimbangkan antara kehidupan seksual yang diharamkan, penghibur istana dan perstubuhan sosial. Menurut definisi, kaum selebriti itu milik publik; Karena ia milik bersama kelas atas di Baghdad dan Samara. Tapi karena itu pula ia sesungguhnya bukan milik siapa-siapa. Terlahir sebagai budak, ia menemukan jati dirinya karena bergaul dengan segelintir laki-laki atau perempuan dengan merdekanya di masa itu.

Pejaten Barat, 26 Agustus 2020