PETANI JAWA DAN PETANI SULAWESI

By Mas Samsu HD

Maaf bukan bermaksud membanding bandingkan, mempetakomply agitasi provokasi. Sama sekali tidak. Hanya sekedar mengamati lalu menuangkan dalam tulisan.Itupun serba singkat karena pengamatanya pun hanya sekilas. Bisa iya bisa tidak. Bisa jadi salah akibat kurang akuratnya data. Mohon dimaafkan sebelumnya.

Kenapa petani Jawa? Kenapa pula petani SuLawesi? Tidak ji, sama ji. Sebagai petani baik di Jawa , di Sulawesi maupun di negara asing hampir sama. Mata pencahariannya adakah bercocok tanam, di sawah, ladang bahkan kebun . Kecuali petani berdasi, bisa jadi hanya kongko di kursi memainkan hp membagi uang gaji. Untuk para buruh tani.

Lain lagi petani tambak, bukan menanam padi palawijo, namun menebar benur ( bibit udang), bibit ikan , atau memanaskan air laut menjadi garam.

Beda pula petani kota, tak punya lahan nafsu taninya tinggi. Akhirnya cari akal tanam bibit di polibag dengan teknik tabulampot ( tanam huah dalam pot), bisa juga cara minimalis hidroponik di sela teras rumah atau di lantai atas rumah. Bertani sambil berekspresi, rekreasi sehari hari.

Kali ini soal petani konvensional yang jadi sorotan. Konvensional dalam arti mengolah lahan sawah atau ladang.
Sekilas memang sama antara petani Jawa dengan Luar jawa, dalam pengamatan kali ini SuLawesi.

Dijawa maupun di Sulawesi ( Makassar, Gowa , Maros dan sekitarnya) , hampir sama, petani tlah familier dengan alat teknologi pertanian mulai dari Traktor pembajak tanah, Mesin Tanam hingga Mesin Panen padi.

Apa bedanya?
Tunggu ki, sabarki sedikit. Di pulau Jawa dan Sulawesi, hampir sama cara menanam padi. Ada yang menggunakan cara manual, pake tangan manusia, maupun cara canggih ditebar tanam oleh alat mesin.
Saat ini kerja olah tani banyak dilakukan oleh mesin, mengalahkan tenaga manusia. Makanya para buruh tani makin kesulitan mencari kerja , sebab yang membajak, menanam, memanen adalah mesin. Yang punya mesin orang kaya. Bisa dibilang yang menjadi buruh tani sekarang orang kaya. Buruh tani yang asli, tinggal menonton saja.

Jadi, bedanya apa antara petani Jawa dan Sulawesi?
Gini ya, sebenarnya bukan beda bagaimana.Ini bisa beda, mungkin karena beda iklim atau beda cuaca. Atay bisa jadi beda adat, beda tatacara. Atau setidaknya beda prinsip kerja.

Di Jawa, bertani laksana sebuah profesi yang ” dijaga ” benar keseriusannya. Seorang petani sangat gesit, riang gembira penuh semangat kalau bisa pergi ke sawah ladangnya di pagi , baru pulang di tengah hari, atau sesekali pylang di senja hari. Bersawah ibarat ngantor, dijalani hari hari.
Tak jarang petani membawa bekal makan minum untuk disantap di tengah sawah, di siang hari.
Ketika musim hujanpun, petani terbiasa mandi air hujan sambil mencangkul di sawah atau mengurus pematang membedah bendungan supaya air dari saluran irigasi masuk ke pematang sawahnya. Singkat kata, hujan panas adalah biasa bagi petani.

Petani Jawa, sangat memperhitungkan untung rugi.Harga tanah sawah yang kian meninggi ( baik sawah mangsan ( musiman) ,apalagi sawah gendom abadi)). Untuk tidak rugi, petani Jawa getol mengolah lahan, menanami padi. Setahun tanam 3x, bisa terus terusan tanam padi. Bila disela tanam palawijo setelah panen padi ke2. Artinya lahan pertanian tidak banyak menganggur, selalu ditanami.
Gencarnya pola tanam, sehingga setahun panen 3x, mengakibatkan tanah semakin hilang unsur haranya. Maka petani berjibaku bagaimana caranya agar tanah tetap subur, dengan cara melakukan kombinasi antara tanam padi dan palawija. Pupukpun beragam,antara pupuk kandang, dedaunan dan pupuk an organik sekelas Tsp, Orea, NPK dan pupuk cair Organik terkini.

Petani di Jawa, tak selamanya beruntung. Kadang merugi bila padi dan palawijanya panen namun tak maksimal harga jualnya. Bisa akibat hama, atau anjloknya harga pasar di saat panen. Biasa itu sejak dulu.

Belum lagi di musim kemarau, saat petani masuk musim tanam gadu ( ketiga kalinya). Petani di Jawa butuh bea ekstra, ynruk mengairi sawahnya. Mereka menyedot air tanah dengan mesin diesel yang dipasang sumur bor di tengah petak sawahnya. Bisa dibayangkan, berapa beaya untuk menanam padi, sementara airnya harus menyedot dengan mesin diesel sejak membajak, menanam, menyiangi rumput, muncul padi, menguning hingga masa panen tiba.
Semua harus bayar, air bayar, bajak tanak bayar, tanam.padi bayar, semprot hama bayar, siangi rumput bayar, panen padipun bayar lagi.

Jika dihitung dengan neraca cash flow, sebenarnya bertani di Jawa rak untung banyak. Artinya sedikit saja untungnya
Dihitung harga tanah semusim ( setahun) ditambah bea bea selama tanam hingga panen, maka untungnya hanya sekali pamenan saja. Itupun kalau bisa mulus panennya sebanyak 3x setahun, tanpa keserang hama.

Namun demikian, seperti ungkapan beberapa petani di Jawa. Apa boleh buat mas. Sedikit banyak disyukuri, kalau petani tak mau menanam padi mau apalagi. Tak ada kantor, tak ada yang mengGaji. Ya sawah itulah kantor kami sehari hari”, ujarnya pasrah.

Bagaimana petani di luar jawa? Di Sulawesi? Sudah makmurkah mereka? Setahun bisa panen berapa kali?

Kami tak tau data yang pasti. Setau penglihatan sekilas, sepertinya mereka setahun menanam.2 kali. Artinya setahun hanya panen 2x.
Entah apa sebabnya, kenapa hanya menanam 2 kali. Sudah cukup hasil panennya, atau alasan sulitnya pengairan di musim kemarau.Atau banyaknya hama tikus, burung dimusim kemarau. Entah kami belum mensurvei secara serius.

Yang kami amati, petani luar Jawa, Sulawesi misalnya, terlihat lebih santai hidupnya, lebih enjoi dengan hasil panen yang hanya 2 kali setahun, membiarkan lahan sawahnya menganggur sampai datang musim hujan tahun berikutnya.
Ada rasa penasaran, andaikan petani Di Jawa melihat tanah sawah menganggur berbulan bulan lamanya, pasti sedih hatinya , seraya berguman di hati, ” Siapakah tuan tanahnya. Tak bisakah digarap bagi hasil atau sistem sewa?

Selamat bertani, para petani Indonesia
Bertani adalah profesi mulia.
Wallohu a’lamu bishowab.

* Penulis: Anak seorang petani , Kini Pengusaha Bakso, Seorang Jurnalis Citizen MenaraMadinah.Com

.