Shifting Behavior Pada New Normal

Dr. Imron Mawardi

Pakar Ekonomi Islam Unair

Pandemi Covid-19 yang belum juga melandai menyebabkan banyak pihak mulai ragu bahwa penyebaran virus ini akan berhenti. Direktur Kedaruratan WHO, Mike Ryan, menyatakan bahwa virus yang berasal dari Wuhan China ini tak akan hilang dan menjadi virus endemik di masyarakat. Bahkan, ketika vaksin sudah ditemukan.
Pemerintah Indonesia tampaknya juga mulai pesimistis, meski upaya pencegahan penyebaran virus ini masih terus dilakukan. Itu terlihat dari kebijakan relaksasi seperti dibukanya kembali bandara, maju-mundurnya kebijakan mudik Lebaran, dan rencana menormalkan aktivitas ekonomi dan sosial secara bertahap pada Juni nanti.
Dengan kebijakan seperti itu, tampaknya pemerintah mengajak masyarakat berdamai dengan Covid-19. Harapannya, kehidupan akan kembali normal. Termasuk kehidupan ekonomi. Tak bisa normal seperti sebelum pandemi, tapi new normal. Kehidupan normal baru yang berbeda dengan sebelumnya.
Istilah new normal ini pertama dimunculkan oleh Roger McNamee tahun 2003 dalam majalah Fast Company dan kemudian ditulis dalam buku berjudul The New Normal: Great Opportunities in a Time of Great Risk tahun 2004. Awalnya, istilah ini digunakan untuk menyebut kesediaaan pebisnis untuk bermain dengan aturan baru untuk jangka panjang.
Istilah ini kemudian dibahas dalam mereaksi krisis keuangan 2008-2012 terhadap pebisnis yang ketakutan menghadapi masa depan pasca-krisis. Pebisnis harus siap menghadapi keadaan yang tidak normal itu menjadi sesuatu yang biasa dalam normal baru yang juga memberi peluang yang sangat besar. Peluang di tengah krisis.
Normal baru ini bakal mengubah perilaku (behavior) ekonomi masyarakat. Shifting behavior ini tentunya juga akan mengubah model bisnis di masyarakat yang berbeda dengan sebelum pandemi.
Ada beberapa pergeseran perilaku ekonomi masyarakat dalam new normal. Pertama adalah stay at home lifestyle. Setelah berbulan-bulan work from home (WFH), masyarakat menjadi terbiasa di rumah. Mobilitas akan berkurang. Pertemuan yang tidak benar-benar penting tidak dilakukan secara langsung. Dibutuhkan zoomable work place di rumah.
Gaya hidup baru ini akan mengubah cara masyarakat menikmati hidup. Masyarakat perkotaan kembali ke home cooking, olahraga di rumah, menonton televisi, dan hal-hal yang selama ini tidak dilakukan seperti berkebun kecil-kecilan. Tentunya, bisnis online akan marak, permintaan makanan frozen akan meningkat, dan kebutuhan untuk mobilitas akan berkurang.
Secara umum, ini akan merevolusi kehidupan masyarakat menjadi work-live-play balance. Ada keseimbangan baru dalam kehidupan masyarakat yang akan lebih menikmati hidup. Jam kerja fleksibel dan jauh lebih pendek. Tak lagi delapan jam, tapi cukup 3-4 jam. Tak lagi perlu ada cuti hamil dan melahirkan, cuti tahunan, karena pekerja bisa menikmati libur kapan saja.
Berikutnya adalah pergeseran ke virtual and cloud lifestyle. Transaksi-transaksi dilakukan secara virtual. Perjanjian kerjasama, rapat, sekolah dan kuliah, kursus, layanan jasa, akan banyak dilakukan secara virtual. Maka layanan virtual akan marak. Kebutuhan pekerja akan berkurang. Sebagian besar layanan bank, asuransi, pasar modal, dan lainnya akan dilakukan secara virtual. Bahkan kini sudah muncul telemedicine yang menggantikan health visiting services.
Kebutuhan sosial pun ke depan akan diganti secara virtual. Ngobrol, reuni, arisan, bahkan pengajian tetap akan marak. Tapi tidak lagi di resto, kafe, atau hotel, tapi digelar secara virtual. Kehadiran zoom-meeting, google-meet, bigbluebutton menjadikan pengajian dan seminar (webinar) justru marak. Organisasi-organisasi sosial yang biasanya sulit menggelar rapat, kini justru aktif. Silaturrahim pun menjadi biasa tanpa harus bertemu.
Ini tentunya akan berdampak besar terhadap industri perhotelan, gedung perkantoran, dan restoran. Begitu juga industri event organizer, karena orang akan menghindari kerumunan. Konser, festival, event-event olahraga akan jauh berkurang, karena kekhawatiran orang berada dalam kerumunan.

Kembali pada Kebutuhan Dasar
Pandemi ini juga membuat masyarakat bersikap lebih realistis. Physical distancing menjadikan mereka tak lagi memerlukan kontak sosial langsung, sehingga tak terlalu memerlukan kebutuhan penghargaan (esteem needs) dan aktualisasi diri. Masyarakat akan fokus pada kebutuhan dasar, yaitu kebutuhan fisiologis yang merupakan hirarki terendah kebutuhan dalam piramida Maslow. Juga safety dan mungkin social needs, tapi dengan cara berbeda.
Gaya hidup baru ini tentunya akan mengakibatkan pergeseran permintaan kebutuhan. Bukan lagi barang-barang yang sebenarnya sekedar ingin dibeli (wants), tapi memang barang yang diperlukan (needs). Permintaan terhadap barang-barang branded seperti produk fesyen, tas, sepatu, atau parfum yang mahal, akan berkurang. Masyarakat akan lebih realistis dengaan membeli sesuatu yang memang sangat dibutuhkan.
Selain itu, kesadaran akan pentingnya kesehatan membuat masyarakat akan mengikuti halal lifestyle. Pengetahuan asal Covid-19 di Wuhan China yang bermula dari makanan dan pengolahan yang tidak halal dan thayib membuat masyarakat muslim memilih produk yang sesuai syariat. Tidak saja halal, tapi thayib atau baik bagi kesehatan. Ini akan mendorong kebutuhan makanan halal dan obat herbal seperti jamu dan empon-empon akan semakin marak.
Kembali pada kebutuhan dasar, fisiologis dalam piramida Maslow atau kebutuhan adh-dharuriyyat dalam hirarkhi kebutuhan Asy-Syatibi dan Al-Ghazali, ini juga didorong oleh keadaan ekonomi yang makin sulit. Dalam beberapa tahun ke depan, ekonomi tak akan tumbuh normal. Termasuk Indonesia, di mana konsumsi berkontribusi sangat besar terhadap perekonomian. Pendapatan masyarakat yang rendah akan menurunkan permintaan agregat, yang tentunya akan berdampak buruk terhadap perekonomian.
Ekonomi dunia tahun ini diprediksi akan sangat buruk. International Monetary Fund (IMF) pada outlook April lalu telah merevisi prediksi pertumbuhan ekonomi dunia dari 3,3 persen menjadi minus 3 persen. Tahun ini perekonomian dunia diprediksi menjadi yang terburuk setelah great depression 1930. Lebih buruk dari krisis Asia 1998 dan krisis dunia 2008-2009. Wallahu a’lam.