Untuk Sang Gandrung Pegat Pati

Oleh: Deddy Endarto

Terimakasih atas nama pribadi saya ucapkan kepada Pemerintah Kabupaten BANYUWANGI (Bupati beserta seluruh jajarannya), seluruh masyarakat Banyuwangi, segenap seniman yang terlibat dalam acara GANDRUNG SEWU.

Mungkin anda melakukannya dengan segala ketulusan atas nama daerah, almamater ataupun pribadi. Tapi di mata saya, anda sedang memutar kembali sejarah panjang GANDRUNG yang pernah tersemat dalam keluarga besar saya dan leluhur anda sekalian di Kerajaan MACAN PUTIH BLAMBANGAN. Atas nama para beliau… saya ucapkan Terimakasih…

Di antara terbatasnya informasi sejarah kesenian Gandrung, sempat terjadi polemik bernuansa keagamaan yang hendak melarang pagelaran ini. Tetapi dengan keteguhan hati semua bisa terselesaikan dengan baik tanpa harus menyulut pertikaian dengan pihak manapun juga.

Dari beberapa tokoh kesenian dan banyaknya variasi kesenian Gandrung yang masih tersisa, kalau bisa saya asumsikan… hanya 10% dari para beliau yang paham atas latar belakang sejarahnya. Yang ada sekarang adalah mengangkat harkat seninya saja.

Ketidak pahaman akan sejarah ini pula yang menyebabkan pihak lain menilai secara sepihak saja. Padahal ada latar belakang sejarah dan pengorbanan tinggi di belakang kesenian tersebut.

Mungkin cerita sejarah aslinya hanya berkembang terbatas di lingkungan kerabat anak turun MACAN PUTIH ataupun anak turun penari Gandrung yang penerus generasi sebelumnya dalam satu ikatan darah.

Di dalam keluarga kami sendiri terpecah dalam dua kubu, kubu yang beranggapan tidak perlu sejarah asli Gandrung diangkat ke permukaan karena adalah aib keluarga. Tapi ada juga yang menginginkan diangkat sejarahnya guna mengenang kepahlawanan tokoh asli yang mengawali Gandrung, karena telah berani mengorbankan harkat diri pribadinya demi keluarga dan tanah pertiwi yang dicintainya.

Menurut diskusi pribadi antara saya dengan senior yang juga berdarah Macan Putih : Almarhum Prof. Mas Ayu Sutarto, kesenian ini diduga muncul pada pertengahan abad ke 17, saat Mataram berusaha menguasai tanah Jawa. Tetapi langkahnya selalu terantuk halangan besar di lini Blambangan. Dan perlawanan itu di motori para Menak yang mengaku berdarah Majapahit Timur yang berpanji pada Kerajaan Macan Putih sebagai penerus Majapahit.

Berulang kali ekspedisi dikirim, sejumlah itu pula kekalahan harus dideritanya. Bahkan para kerabat sang penguasa Mataram yang memimpin pasukan, ada yang terbunuh dan bahkan banyak yang membelot tidak mau pulang.

Maka ditempuhlah cara keras oleh Mataram dengan meminta bantuan VOC dan Kerajaan Sumenep di Madura guna menaklukan Blambangan. Pertempuran panjang terjadi dengan hebat mulai pesisir utara hingga pesisir selatan Blambangan. Kesimpulan mereka akhirnya melahirkan strategi, bahwa api harus dipadamkan dari pusatnya.

Strategi adu domba dilakukan pada bangsawan Blambangan, tetapi gagal karena Blambangan justru dibantu oleh keluarga bangsawan Sumenep yang menolak bekerjasama dengan VOC. Pertarungan semakin menggila di lini Situbondo, Panarukan dan Muncar. VOC bahkan berhasil mengusir sekutu Majapahit Timur : Portugis dari kawasan itu dan meluluh lantakan benteng dagang yang dimilikinya.

Dikejar waktu dan kerugian besar, akhirnya diambil kesepakatan segitiga bahwa gempuran besar harus dilakukan guna menguasai lumbung pangan di bhumi Blambangan. Mereka akan membagi wilayah itu untuk Mataram, Sumenep dan VOC. Maka terjadilah malapetaka besar bagi para Menak Blambangan.

Setelah dipukul oleh tiga kekuatan besar dari arah utara, barat dan selatan mereka harus menarik diri ke pedalaman. Kekalahan besar membutuhkan waktu untuk dipulihkan, tetapi pengkhianatan hasil strategi adu domba telah mencium lokasi pengungsian itu. RAWA BAYU.

Di lokasi itulah terjadi pertempuran tidak seimbang hingga tetes darah penghabisan, sejarah mengenalnya sebagai PUPUTAN BAYU. Semua yang ada disana terbantai, termasuk wanita, anak dan orang tua. Kepala mereka dipenggal dan diikat di dahan pohon di sekeliling Rawa Bayu, guna memberi pesan tegas pada masyarakat Blambangan untuk tidak lagi memberontak karena para Menak dan pengikutnya sudah habis terbantai disana.

Kabar memilukan itu tersebar ke atas lereng gunung, di mana keluarga yang lain mengungsi. Konon raja Macan Putih memiliki puluhan bahkan ratusan istri, dari berbagai suku Nusantara. Mendengar sang suami gugur, beberapa istrinya melakukan ritual SATI atau menerjunkan diri ke dalam api agar bisa mati guna menyertai arwah sang suami (konon catatan kolonial mencatat sekitar 400 istri raja Macan Putih melakukan Sati).

Ternyata di antara para istri tersebut ada yang tidak melakukan bela sati, tetapi membawa dendam akan membunuh sebanyak mungkin lawan-lawannya.

Apalah daya wanita berhadapan keperkasaan pria, maka ditempuhlah cara yang sekilas akan dianggap nista… tetapi justru disana saya melihat itulah pengorbanan tertinggi yang mampu dilakukan. Berbekal gemulai tari dan ilmu pikat mereka menjalankan siasatnya, banyak pasukan VOC, Mataram dan Madura harus meregang nyawa mabuk pada gemulai tari dan minuman keras dan berakhir diujung keris.

Istri yang berkorban luar biasa ini konon membunuh 29 orang dalam satu malam sebelum akhirnya aksinya diketahui dan terbunuh oleh senjata api lawannya. BUNGA YANG MENYENGAT MATI KUMBANG YANG HINGGAP PADANYA. SEBELUM HARUS LAYU GUNA MENGIRING KEMBALI ARWAH SUAMI YANG DIHORMATINYA.

Ternyata kejadian itu menarik simpati para pengikutnya, janda-janda pejuang bhumi Blambangan untuk berjuang menyingkirkan lawannya. Bahkan ada pula para pria yang berpostur wanita menyamar menjadi penari Gandrung agar bisa mendekati mangsanya. Dan itu menjadi model perjuangan yang hampir terjadi di seluruh tlatah Blambangan. Sekalipun VOC dan Mataram melarang prajuritnya ada dikawasan kesenian Gandrung, tetap saja korban berjatuhan. Dan VOC melarang kesenian tersebut di desa-desa dan hanya mengijinkan kesenian digelar di benteng mereka (tentunya setelah para senimannya dianggap aman tanpa senjata).

Kini Gandrung telah berkembang dalam berbagai versi, Mataram, Sumenep dan Blambangan juga sudah tidak eksis lagi berganti NKRI dan VOC sudah mampu kita usir bersama. Kita tak perlu lagi berdebat tentang pertikaian masa lalu yang berpanji ego kerajaan dan kepentingan, sebab kini kita berada dalam satu panji yang sama MERAH PUTIH dan kebesaran GARUDA PANCASILA. Biarlah Gandrung yang merupakan bagian dari sejarah perjuangan itu kita kenang, agar paham betapa berat perjuangan leluhur kita dalam menjaga dan memperoleh kemerdekaannya. Dan kita saat ini hidup di alam merdeka atas perjuangan panjang itu.

Yang saya tahu dan pahami, istri sang raja Macan Putih yang melahirkan Gandrung itu justru berasal dari Sumenep berdarah campuran Cina dan Madura. Itu alasan mengapa instrumen dan pakaian sang Gandrung hampir mirip dengan salah satu kesenian di Sumenep dan bahkan Cina.

Setiap kali saya melihat langsung pertunjukan Gandrung ataupun lewat media elektronik, suksma saya serasa terbetot oleh liriknya (beberapa versi asli). Dan saya seakan melihat didepan mata, begitu perkasanya leluhur saya ini menyembunyikan kesedihan karena suaminya gugur, begitu hebatnya menyembunyikan niat balas dendamnya dalam tebaran senyum dan gemulai tarinya.

Sekalipun darah yang mengalir ditubuh saya tidak berhubungan langsung dengan sang Gandrung, saya sangat menghormatinya sebagai keluarga besar MACAN PUTIH yang akan saya kenang sepanjang masa.

Jaya – Jaya – Wijayanti
Surabaya, 20 Oktober 2018
Deddy Endarto untuk SANG GANDRUNG PEGAT PATI