*Pandemisasi Covid -19 di Indonesia*: Proyek Perselingkuhan Ellite

Daniel Mohammad Rosyid

Para globalis telah cukup lama melihat bahwa bagi mereka dunia sudah semakin rusak sehingga tidak menguntungkan atau tidak menarik lagi. *Dunia perlu dirancang ulang*. Dengan akses pada BigData dan kemampuan melakukan _micro-marketing_, kelompok ini telah berhasil melakukan _brainwashing_ ummat manusia untuk berbagai kepentingan, atau sekedar kepuasan narsistik. _Brainwashing_ ini dilakukan dengan *penyemburan kebohongan* secara terus menerus melalui internet dan medsos. *Yang abnormal atau tidak ada jadi tampak normal dan ada*.

Tulisan pendek semacam ini karena tidak ditulis dalam Jurnal Ilmiah, sering dicap sebagai tidak ilmiah, sekedar teori konspirasi dan cocoklogi. Kedua istilah terakhir ini memang sengaja diciptakan oleh para globalis yang memang cara kerjanya sebagai bayangan. Jika *ilmu adalah seni menjelaskan peristiwa*, maka memang dunia bekerja tidak seperti yang dibayangkan para saintis, tapi bekerja sebagai sebuah permainan kekuatan ( _power game_) untuk berebut pengaruh. Bukan kesehatan, tapi politik kesehatan. Bukan ekonomi, tapi politik ekonomi.

Kelompok globalis ini telah mengubah Covid-19 yang sebenarnya tidak terlalu berbahaya bagi kelompok muda sehat dibanding TBC misalnya, menjadi *pandemi mematikan yang meneror semua ummat manusia yang kecanduan internet dan medsos*. Menggunakan pengaruhnya atas WHO, kelompok ini telah menggiring manusia mengikuti protokol kesehatan WHO : _lock down, social distancing and maskering_. Pemerintah Jokowi sengaja memilih versi hemat dari protokol WHO ini dengan mengajukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). PSBB inipun dilakukan dengan kepemimpinan yang lemah sehingga gagal mewujudkan sebuah _coordinated response_ yang efektif secara nasional. _Lockdown_ dan *PSBB adalah sebuah contoh mismanajemen resiko* sekaligus kemenangan para globalis mencapai misinya.

Kelompok-kelompok yang terus berpikir dan berpengaruh di berbagai lapisan tidak akan melewatkan kekacauan multi-dimensi ini begitu saja. *Mereka akan melakukan apa saja untuk mengail di air keruh* meski mereka sendiri bukan penyebab kekeruhan ini. Jika pandemisisasi ini adalah memang ulah penguasa BigData, maka para elite adidaya dan para bonekanya kemungkinan besar telah berselingkuh menjalankan agenda tersembunyi untuk dengan aman melakukan penjarahan kekayaan milik _floating mass_ yang sudah dicuciotaknya.

Jelas bahwa sejak 5 tahun terakhir RRC secara gencar telah menjalin hubungan bilateral untuk menjadikan Indonesia -dengan luas dan jumlah penduduk yang cukup besar, serta memiliki posisi geografi yang sangat strategis- sebagai mitranya dalam mewujudkan ambisi China dalam _the New Maritime Silk Road_ atau _One Belt One Road_. Narasi *Indonesia Poros Maritim Dunia* yang kini hilang entah kemana adalah respons Indonesia atas prakarsa OBOR tersebut. Sejumlah negara yang berdekatan dengan jalur OBOR ini telah menjadi mitra RRC yang juga menyedikan pinjaman untuk membangun proyek-proyek infrastruktur untuk mendukung rantai-pasok global bagi RRC sebagai a _new Power House_.

Tekanan demografi China menghendaki sebuah _lebensraum_ baru yang lebih luas dan lebih beragam dukungan sumberdaya alamnya. Tidak hanya untuk kegiatan ekonomi tapi juga sekaligus mengurangi tekanan kerusakan lingkungan hidup di _mainland_ China yang telah terjadi selama 20 tahun terakhir ini akibat ambisi pertumbuhan tinggi. Kepulauan Indonesia yang menyediakan Selat Malaka dan Selat Sunda adalah pilihan penting dan kunci bagi keberhasilan ambisi imperium China ini.

Rezim saat ini telah menelurkan serangkaian regulasi seperti RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang jelas terkesan untuk mempermudah investasi China masuk ke Indonesia di berbagai sektor strategis, dengan mengabaikan kelestarian lingkungan, pelemahan tenaga kerja dan otonomi daerah. Bahkan pada saat pandemi, pemerintah bersama DPR telah menyetujui UU Minerba dan UU Covid-19 dengan mengabaikan prosedur wajar legislasi dan sekaligus melanggar UU APBN 2020. RUU Haluan Ideologi Pancasila memperkuat dugaan tekanan RRC atas rezim ini.

Pada saat kegentingan memuncak di Laut China Selatan, Trump yang disibukkan oleh persoalan domestik AS, Xi Jin Ping yang makin kuat, maka Indonesia sebagai mitra lama AS berada dalam posisi sulit untuk begitu saja berpindah hati memilih China dalam pertikaian global mutakhir ini. Sebagai bangsa kita juga harus memanfaatkan pandemi ini untuk bangkit. Mengingat cita-cita negara proklamasi dalam mewujudkan bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, kita harus segera hentikan ketergantungan kita pada AS sekaligus tidak membiarkan Garuda ditelan Naga.

*Rosyid College of Arts*
Gunung Anyar, Surabaya
11/6/2020