Jangan Pulang Dulu Nduk

JANGAN PULANG DULU, NDUK…

(Surat imajiner seorang bapak
kepada anak gadisnya yang ada
di perantauan)

Nduk, anakku…

Bagaimana kabarmu hari ini?
Sehat dan baik-baik saja kan ya?

Bapak menuliskan surat ini
dengan mata nyaris basah.
Trenyuh mengenangkan dirimu
yang pasti pingin sekali pulang
pada Lebaran tahun ini.

Tapi sabar dulu, Nak.
Dalam situasi pagebluk seperti
saat ini, di mana wabah korona
menyebar ke seantero jagad raya,
rasanya lebih baik tunda dulu
keinginanmu itu.

Bapak memahami betul
perasaanmu. Kangenmu pada
kampung halaman, pada angin
lembut yang menyisir daun-daun
jambu di pelataran rumah kita,
juga rindumu pada dekapan
hangat ibu dan bapakmu ini,
tentu sudah menggumpal
di dadamu.

Bapak membayangkan, kamu
pasti sudah kebelet menceburkan
diri ke dalam kali kecil yang
mengalir di belakang rumah kita.
Kali yang airnya masih bening,
yang pernah kau katakan pada
bapak, suara gemericiknya
membuat hatimu tenang
dan tentram.

Nduk, Cah Ayu.
Tolong dengarkan petuah bapakmu.
Lebaran kali ini, urungkan rencana
mudikmu. Tunda sementara waktu.

Wabah ini begitu menakutkan, anakku.
Entah sudah berapa ratus ribu nyawa
penduduk bumi melayang oleh
ganasnya pandemi ini.

Bapak dengar dari radio dan televisi,
wabah korona tidak pandang bulu
memilih korbannya; orang desa
maupun orang kota dilibasnya.
Orang kecil seperti kita, pejabat,
pengusaha, atau siapa pun
mereka, bisa tertular
dan mati olehnya.

Karena itu anakku, ikuti saja saran
bijak dari para pamong negri; tetaplah
tinggal di kota tempatmu bekerja
mencari nafkah. Tetap di rumah,
hindari kerumunan, jaga jarak aman
dengan orang lain kalau kamu
terpaksa harus keluar rumah untuk
memenuhi kebutuhan harianmu.

Bapak-ibu dan sanak kadang
di dusun, tentu juga merindukanmu.
Merindukan saat-saat kita
berkumpul bersama di Lebaran
yang fitri. Melingkar duduk bersila
di atas tikar pandan, reriungan
menyantap ketupat opor ayam
dan sayur lodeh kesukaanmu.

Tak usah kecil hati jika lebaran
kali ini kamu tak bisa mudik,
dan suasana yang fitri ini
untuk sementara tidak
bisa kita nikmati.

Bapak ikhlas, karena pasti baik
buatmu, juga buat bapak-ibu
dan semua keluarga kita di desa.
Sebab kita tak pernah tahu,
siapa yang akan tertular
dan siapa yang berpotensi
menularkan wabah itu.

Sebelum bapak sudahi surat ini,
sekali lagi pesan bapak, baik-baiklah
kamu di kota perantauanmu.
Tak usah pergi ke mana-mana.
Berdiam diri saja di rumah.

Bapak dan ibumu tak putus-putus
berdoa, mudah-mudahan wabah
ini cepat sirna. Dan semoga,
Gusti Allah memberi kita
kesempatan berkumpul lagi,
nanti ketika wabah ini sudah
mereda, ketika kehidupan
kembali normal seperti
sediakala.

Peluk cium bapak dan ibumu dari jauh.

(EWT, 21 Mei 2020. Pic: Pinterest)