( Bansos versus Data Mustahiq )

Oleh:Mabroer Masmoh

Bertahun-tahun negara ini seperti tak kenal rakyatnya. Namanya siapa? Umurnya berapa? Tinggalnya dimana? Keluarganya berapa? Penghasilan berapa? Sehari makan berapa kali? Apa sudah punya kartu BPJS/Kartu Sehat atau belum? Apakah anaknya ada putus sekolah? Dan sederet pertanyaan lainnya. Semua pertanyaan-pertanyaan itu seakan sirna ditelan bumi karena negara pun seakan tak pernah terlintas menanyakan hal ihwal tersebut kepada rakyatnya.

Karena itu wajar, kalau tiba-tiba negara jadi kalut ketika akan menyapa rakyatnya. Mau menyalurkan bantuan sosial/Bansos, tapi tak tahu persis nama & alamat yang dituju. Akibatnya, orang yang ditemui pun berbeda dengan yang semestinya. Terkadang ketemu anggota DPRD, Ketua MUI, bahkan makin hari cerita tentang ‘salah nama & alamat’ itu bermunculan di berbagai daerah. Kenapa jadi begini? Ya karena negara terkesan telah terjebak formalitas birokrasi sehingga lupa substansi. Petugas lebih fokus kelengkapan bukti administratif dari pada isinya; “by name by address”.

Sebetulnya, negara ini punya kemampuan untuk membangun sistem & tata kelola data kependudukan, khususnya kaum dzuafa. Apalagi saat ini jumlah mereka naik berlipat ganda akibat terjangan Covid-19. Tapi akurasi data kini terkatung-katung diantara asumsi dan prediksi saja. Jadi wajar, kalau petugas Bansos acapkali menemukan fakta yang berbeda karena data yang tertera itu bukan Mustahiq yang sebenarnya. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang menolak santunan karena masih merasa bercukupan.

Dari pada membiarkan carut marut data Mustahiq ini berkepanjangan, bukankah akan lebih strategis jika berbagai instansi itu menyatukan program perberdayaan tata kelola pemerintahan Desa/Kelurahan. Kenapa? Banyak institusi yang berkepentingan dengan pemerintahan Desa/Kelurahan, seperti Kemendagri, Kemensos, Kemendes, Kementan, hingga BPS. Jika berbagai instansi itu mampu melepaskan ego sektoralnya demi tercapainya data yang valid tentang kependudukan, termasuk data kemiskinan, serta berbagai data lainnya itu bukan barang mahal karena ‘data base’ telah menjadi kebutuhan bersama. Mungkin ‘leading sector’ dari semua konten data base tersebut bisa diperankan oleh BPS agar tidak terjadi kerancuan.

Oleh karena itu, advokasi terhadap jajaran pemerintahan Desa/Kelurahan utamanya RT/RW menjadi keniscayaan agar mereka memiliki kesamaan kemampuan dasar untuk melakukan input data sekaligus verifikasinya. Selain itu, juga perlu melibatkan publik atau warga untuk berpartisipasi melakukan verifikasi. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah menggunakan ruang publik sebagai salah satu media verifikasi tentang validitas data. Jika perlu, nama & alamat fakir miskin itu selalu di ‘up date’ dan dipublikasi secara berkala di Balai Desa, rumah peribadatan, Posyandu, serta media lainnya. Hal itu dimaksudkan agar validitas data tersebut bisa dikontrol & diverifikasi oleh warga itu sendiri.

Terus terang, kita jadi prihatin karena problem data kependudukan ini seperti penyakit menahun. Tak kunjung tuntas, padahal negara sudah punya perangkat serta ahlinya. Apalagi masa Pandemi Corona ini, polemik tentang data makin menjadi-jadi. Bahkan Gubernur DKI sempat kena semprot Menko PMK karena persoalan data. Sengkarut data ini juga menyangkut jumlah korban PHK. Kemenaker menyitir ada 1,7 hingga 2 juta, tapi KADIN justru punya data hingga 6 juta korban seperti laporan dari kalangan pengusaha. Terus terang, data ini bukan jumlah atau angka, tiap menyangkut hajat hidup paling fundamental warga negara.

Keruwetan itu pun akhirnya bukan sekedar rumor & isapan jempol belaka. Melalui Menko PMK Prof DR Muhajir Effendy. M.A.P, negara mengakui adanya carut marut ‘data base’ calon penerima/Mustahiq Bansos. Aturan yang semula melibatkan Pemda Kabupaten/Kota untuk verifikasi data dari RT/RW, kini birokrasi tersebut akan dipangkas. Dengan perampingan prosedur, diharapkan proses penyaluran Bansos bisa lebih cepat tersalur ke nama serta alamat yang tepat.

Meski ada pemangkasan, tapi jika tidak diatur mekanisme pengawasannya, juga masih rawan bocor. Oleh karena itu, pengawasan publik secara terbuka menjadi salah satu keniscayaan agar kriteria mustahiq benar-benar terverifikasi akurasinya. Pola pengawasan seperti itu, selain membangun kultur kejujuran, juga profesionalitas dalam mengolah data sehingga keberadaan RT, RW serta perangkat Desa/Kelurahan itu makin efektif dalam melayani warganya.

Selain memaksimalkan peran & fungsi aparat Kelurahan/Desa, partisipasi kelompok masyarakat sipil seperti Ormas Keagamaan maupun yang lain juga patut ditumbuhkan. Jika skill mereka dalam mengolah data kependudukan ini sudah mahir, maka modal dasar ini bisa dikembangkan pada kemampuan mengolah data pertanian, perkebunan serta berbagai potensi lainnya. Jika hal ini bisa diwujudkan, Insyaallah akan banyak PR negara yang bisa dibenahi. Tentu, yang harus mendapatkan atensi berikutnya adalah struktur diatasnya seperti aparat di tingkat Kecamatan hingga Kabupaten/Kota, termasuk Provinsi. Tapi, dalam era digital seperti saat ini, akselerasi peningkatan skill aparat tingkat bawah itu seyogyanya mendapat perhatian serius agar ke depan tak mengulang kesalahan yang sama. ###