Islam Kejawen Saripati Islam Berbasis Budaya

 

Disaat berkembang ditengah akar budaya hindu budha, islam hadir berintegrasi dengan budaya setempat. Ada dua fase proses integrasi tersebut disamping islam berkembang pula dengan pola normatif. Dibawah sunan ampel, dijawa timur, islam berkembang secara normatif. Indikasi itu ialah sejarah pesantren ampel dan perjalanan sunan bonang dan sunan giri memperdalam ilmu ke pasai atas perintah sunan ampel. Hal itu menandakan, islam sudah mapan secara keilmuan dan syariat. Hanya sedikit adopsi budaya setempat yang terakam dari ampel, sebatas integrasi istilah solat menjadi sembahyang, shoum jadi poso, prinsip dasar molimo dan sebagainya.

Tetapi negri jawara jawa barat, berbeda. Dibawah syeh siti jenar, elit bangsawan dan para jawara yang sudah akrab dengan meditasi, langsung dikenalkan musyahadah. Tidak repot repot, media yang digunakan syuhud adalah, apa yang telah melekat pada jawara itu dalam meditasi. Hanya satu langkah, mengenalkan Alloh dan sifatnya, kesesatan persepsi pada sang hiyang widi kang murbeng dumadi sudah sirna. Tidak membatasi ekspresi pengagungan dan pujian pada sang pencipta yang maha mutlak. Apapun cara penyembahan, Alloh mengerti atas niat baik penyembahan itu, dan persepsi atas Alloh sebagai tuhan juga telah diluruskan oleh kanjeng syeh. Itulah fase awal, integrasi islam dengan budaya jawa dan cikal bakal islam kejawen. Sehingga sebelum kenal solat dan syariat lainnya, mereka telah waskitho (mukasyafah) duluan.

Kemudian di jawa tengah, hadir sunan kalijogo. Beliau yang murid sunan ampel sekaligus murid syeh siti jenar menggabungkan dua metode gurunya diintegrasikan dengan budaya jawa. Banyak menghasilkan islamisasi atau mewarnai syari’at pada tradisi jawa dan gubahan mantra islam (zikir-doa) ala jawa. Yongalah (Ya Alloh) wolo wolo kuwato kersane ngalah (la haula wala quwwata illa billah) adalah kreasi kanjeng sunan. Itu menjadi fase kedua, penyempurnaan dalam islam kejawen.

Kebijakan kanjeng syeh, kanjeng sunan merupakan alternatif pembinaan ummat yang belum memungkinkan ngapalin tasrif dan ngaji kitab gede. Kesuwen jika nunggu sempurna, baru jungkung ibadah madep marang gusti. Karena simpatisan dan kondisi umat yang dihadapi berbeda, maka kebijakan dua ulama ini berbeda pula. Bagi syeh yang di gandrungi elit, tentu keilmuan agama atau kepercayaan yang dianut sebelumnya, telah mapan. Sehingga lebih mudah glebakne aqidah lama diisi aqidah islam. Dan akan kesulitan promosi syariat, yang tentu pengikutnya akan kritis, karena sudah mapan dengan cara lama. Dan cara itu diyakini terbukti dapat mencapai tujuan, seperti tujuan yang dituju oleh islam (minus ridho Alloh). Sementara bagi sunan yang menjadi soko guru ijtima’iyah ulama kerajaan Demak tidak bisa lagi ambil kebijakan sendiri, tanpa promosikan syari’at, karena ikatan Demak. Sehingga harus transfer islam ke budaya jawa dengan setandar ganda, syariat dan hakikiat.

PROSES ISLAM KEJAWEN ala kanjeng syeh mengacu pada kebijakan nabi, menerima seorang masuk islam yang tidak sedia dibebani kewajiban apapun. Namun dipesan supaya jujur oleh nabi. Dari olah jujur bertahap, sebulan, setahun dan seterusnya, yang memastikan tidak bohong lagi, membuka pintu hidayah, sehingga nrimo ing pandum, berupa puncak ilmu hakikat, dan welas asih secara utuh. Disitu terjadi pengenalan alam sekitar, menghargai sesama makluk apapun, serta mengetahui fungsi masing masing yang dikehendaki Alloh. Ternyata alam adalah fana’, bersumber dari zat yg tunggal, hingga melebur manunggaling kawulo gusti. Tetapi ini berisiko, jika hidayah sebatas musyahadah fillah tanpa syuhud rosulillah, karena dalam rosulillah ada ridho Alloh. Maka pengikut yang belum sempurna sering terjebak inkar pada syariat. Sebenarnya jika telah sempurna, wangsit demi wangsit yang didapat, akan bermuara pada mutaba’ah rosulillah sebagai media ridho Alloh, tentu syari’at dijalankan. Hal ini sesuai konsep asli yang telah dicontohkan kanjeng syeh. Dan yang belum tuntas ini menjadi ISLAM KEJAWEN yang sekarang. Entah dizaman kapan dan oleh siapa awal terjadi ini. Kiyai besar pengasuh pondok sekarang juga banyak kan, simpatisan, pengikut yang konsultasi, minta petuah, mereka yang tidak solat, lalu juga menamakan diri GUSDURIAN sepeninggal Gus Dur? Mungkin begitulah ilustrasi atas kanjeng syeh. Mereka kuat batiniah ridho takdir, tawakkal, husnuzhon, welas asih dan lain lain, namun sepelekan syariat. Beragumen tujuan syariat adalah mencapai batiniah yang telah mereka dapatkan. Lalu untuk apa lagi syari’at, toh Alloh telah menyertainya? Terhenti pada sifat rahman Alloh, kandas dari sifat rahimNya.

Dalam hal ini kanjeng sunan kalijogo menawarkan konsep baru mengambil jalan tengah. Beliau munculkan filosufi syari’at islam diintegrasikan budaya jawa untuk meniti hakikat. Sangat jelas sekali dalam tembang lir ilir yang terdapat tiga unsur syariat hakikat dan filsafat yang juga disebut islam kejawen namun tidak ekstrim ala syeh.

Totok Budiantoro

Koresponden MM.com