Kembalikan Jl Doho Kediri Seperti Dulu

Oleh : Mujiono  MJ

Salah satu sudut jl. Dhoho Kediri saat CFD. memang ramai. Pedagang segala macam kuliner dan PKL yang lain berjajar sepanjang jalan. Ribuan orang lalu lalang. Ada yang sekedar jalan-jalan juga tak sedikit yang berolah raga, ngopi dan sarapan pagi. Ada tetabuhan musik bambu dan nyanyian campur sari tersaji di tepi pertigaan jl. Stasiun. Entah dari mana.
Tapi jl. Dhoho, riwayatmu dulu. Hari hari selain CFD begitu ramai. Puluhan seniman baik pelukis, penyair, musisi dan pengerajin selalu mangkal dan meramaikan jalan pusat perbelanjaan di kota tua itu. Karena itulah banyak orang menyebutnya, bahwa Jl. Dhoho bagai Malioboro nya Jogja. Atau Braga nya kota Bandung. Sayangnya walikota berganti kebijakan pun berganti. Setelah pak Maschut tak lagi menjabat sebagai walkot Kediri dan diganti walkot periode selanjutnya, kebijakan untuk menjadikan Jl. Dhoho sebagai tempat ajang pamer karya dan jalanan “seniman” berubah drastis.Jalan Dhoho harus bersih dari segala macam PKL. Termasuk pengrajin, lukis, dll.
Dulu hampir setiap malam minggu aku selalu dengar teriak anak-anak teater baca puisi. Pengamen jalanan yang sangat profesional. Juga tak sedikit pejalan kaki yang tiba tiba berhenti sekdar minta dilukis. Ah, begitu romantis Jl Dhoho di kota tua ini. Tapi itu dulu, lima belas tahun yang lalu.
Sekarang tinggal kenangan. Malam malam larut hanya sepenggal aku dengar nyanyian pengamen. Tak ada lagi puisi yang terselit di antara daun-daun pisang pembungkus nasi tumpang. Tak ada lagi kopi hangat yang disajikan gadis-gadis berkebaya seraya tersenyum sambil berkata ” Ini mas kopinya !” Lalu pengamen datang menyanyikan sebuah lagu hingga usai.
Kemana itu semuanya, Jl. Dhoho ! ?