Bogor – Pemilihan umum di Indonesia telah diadakan sebanyak 12 kali yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009, 2014, dan 2019. Pemilu-pemilu tersebut pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan rakyat, yaitu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Setelah amendemen keempat UUD 1945 pada 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres), yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat dan dari rakyat sehingga pilpres pun dimasukkan ke dalam rangkaian pemilu. Pilpres sebagai bagian dari pemilu diadakan pertama kali pada Pemilu 2004. Pada 2007, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) juga dimasukkan sebagai bagian dari rezim pemilu. Pada umumnya, istilah “pemilu” lebih sering merujuk kepada pemilihan anggota legislatif dan presiden yang diadakan setiap 5 tahun sekali. Pemilu harus dilakukan secara berkala, karena memiliki fungsi sebagai sarana pengawasan bagi rakyat terhadap wakilnya.
Kemarin Pimpinan MPR melakukan pertemuan dengan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Seusai pertemuan itu, Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj berbicara tentang pemilihan presiden dikembalikan ke MPR.
“Tentang pemilihan presiden kembali MPR, itu keputusan Munas NU di Kempek, Cirebon, 2012,” ujar Said Aqil seusai pertemuan tertutup di kantor PBNU, Jl Kramat Raya, Jakarta Pusat, kemarin, Rabu (27/11/2019).
Said Aqil menilai pemilihan langsung lebih banyak berdampak negatif. Menurutnya, demokrasi merupakan alat untuk menuju keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Terkait pernyataan Ketum PBNU tersebut, Pembina Jaringan Solidaritas Masyarakat Membangun Negara Indonesia Hebat (JASMERAH) Firman Syah Ali, yang akrab disapa Cak Firman angkat bicara.
Cak Firman bercerita bahwa ketika terjadi polemik pilkada langsung dan pilkada tak langsung antara Koalisi Merah Putih (KMP) melawan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) pada tahun 2014 silam, dirinya berada di pihak pro Pilkada melalui DPRD. “2014 silam KMP dan KIH bertengkar masalah sistem pilkada, sebagai salah satu opinion leaders dengan follower medsos yang cukup banyak waktu itu saya pro Pilkada perwakilan, para calon kepala daerah cukup dipilih oleh parlemen” ucap keponakan Menkopolhukam Mahfud MD ini.
Menurut Cak Firman, apa yang disampaikan Ketum PBNU itu sangat tepat dan wajib didukung beramai-ramai. “Inilah saatnya kita menyelamatkan bangsa, mari kita dukung pernyataan Ketum PBNU” lanjut Bendahara Umum IKA PMII Jatim ini.
Menurut Cak Firman, Pemilu langsung lebih banyak mudhorat daripada manfaatnya. Lebih besar daya rusak daripada daya bangunnya. Lebih banyak dampak negatif daripada dampak positifnya.
“Bangsa kita saat ini belum siap untuk pemilu langsung. Ini bangsa indonesia bukan bangsa amerika, jangan dipaksakan. Kondisi sosio-ekonomi kita saat ini beda jauh dengan masyarakat Amerika Serikat, maka Pemilu langsung belum cocok diterapkan, hanya timbulkan kerusakan dimana-mana, terutama kerusakan moral” lanjut senior IPNU ini.
“Kualitas SDM indonesia masih sangat rendah, aspirasinya sangat rawan dimanipulasi oleh para pemilik uang dan mafia anggaran negara. Ini sudah benar-benar rusak”, pungkas orang dekat Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron ini. Udi Lak