
Oleh: Aceng Syamsul Hadie (ASH)
Pergantian tahun selalu disambut dengan euforia. Kembang api, pesta, dan keramaian jalanan menjadi pemandangan rutin di berbagai kota. Namun bagi umat Islam, pertanyaannya bukan sekadar apa yang dirayakan, melainkan bagaimana waktu dimaknai dan dipertanggung jawabkan.
Dalam Islam, waktu bukan objek perayaan, tetapi amanah. Setiap detik kehidupan akan dimintai pertanggungjawaban. Karena itu, sikap Muslim terhadap malam tahun baru seharusnya diletakkan dalam kerangka moral, etika, dan nilai keimanan, bukan sekadar tradisi sosial yang diikuti tanpa refleksi.
Sejumlah tokoh Islam memberikan panduan yang jelas. Habib Rizieq Syihab (HRS) secara konsisten menolak perayaan malam tahun baru yang identik dengan hura-hura. Penolakan ini berangkat dari kenyataan bahwa perayaan tersebut kerap berujung pada kemaksiatan: mabuk-mabukan, pergaulan bebas, pemborosan, dan hilangnya kontrol moral. Dalam pandangan ini, malam tahun baru bukan untuk dirayakan, melainkan untuk muhasabah, taubat, dan memperbaiki diri.
Pendekatan yang lebih komunikatif disampaikan oleh Ustadz Abdul Somad (UAS). Ia menegaskan bahwa waktu pada dasarnya netral. Yang menentukan nilai baik atau buruk adalah bagaimana manusia mengisinya. Jika malam tahun baru diisi dengan kemaksiatan, maka jelas bertentangan dengan syariat. Namun jika dimanfaatkan untuk introspeksi, ibadah, atau kebersamaan keluarga yang sederhana, maka tidak ada larangan. Pesan pentingnya tegas: yang salah bukan pergantian tahunnya, melainkan perilaku manusianya.
Ustadz Bachtiar Nasir (UBN) menekankan pentingnya introspeksi diri dan kembali ke jalan kebaikan saat menghadapi malam tahun baru. Menurutnya, tahun baru sebaiknya dijadikan momentum untuk mengoreksi diri, meninggalkan hal-hal yang dilarang Allah (kemaksiatan), dan meningkatkan amal sholeh (ketaqwaan).
Sementara itu, Ustadz Adi Hidayat (UAH) mengingatkan agar umat Islam tidak terjebak pada ritualisasi yang tidak memiliki dasar. Islam memiliki kalender hijriyah sebagai rujukan ibadah dan sejarah. Karena itu, malam tahun baru Masehi tidak perlu diperlakukan sebagai perayaan khusus. Namun ia tetap bisa dimaknai sebagai momentum refleksi dan perencanaan hidup, selama tidak diberi status ritual atau simbol keagamaan tertentu.
Dari keempat pandangan tersebut, benang merahnya sangat jelas: Islam tidak memusuhi waktu, tetapi menolak kemaksiatan dan kehilangan kesadaran moral (Iman). Pergantian tahun semestinya menjadi cermin evaluasi, bukan ajang pelampiasan euforia.
Ironisnya, di tengah bencana alam, krisis sosial, kemiskinan, dan ketimpangan yang masih membelit bangsa ini, sebagian masyarakat justru memilih larut dalam pesta sesaat yang miskin makna. Seolah-olah pergantian angka kalender dapat menghapus tanggung jawab atas apa yang telah dan sedang terjadi.
Malam tahun baru seharusnya menjadi ruang sunyi untuk bertanya pada diri sendiri: apa yang telah diperbuat untuk keluarga, masyarakat, bangsa, dan agama? Bukan sekadar menghitung mundur detik pergantian tahun, tetapi menghitung sejauh mana hidup dijalani dengan nilai dan tanggung jawab.
Bangsa ini tidak kekurangan hiburan dan perayaan. Yang kita butuhkan adalah kesadaran, kedewasaan moral, dan keberanian untuk berubah. Dan perubahan itu selalu bermula dari cara kita memaknai waktu—apakah ia dihabiskan untuk euforia sesaat, atau dijadikan pijakan untuk hidup yang lebih bermakna.[]
Penulis,
Aceng Syamsul Hadie, S.Sos., MM
Dosen dan Ketua Umum Yayasan Daarurrahman Cigayam Majalengka (mengelola Lembaga Pendidikan MAS, MTs, Madin Dan TPA)
