
Surabaya-menaramadinah.com-Konflik internal PBNU yang terus bergulir hingga hari ini tidak lahir tiba-tiba. Ia memiliki titik mula yang jelas, yakni pemecatan KH. Marzuki Mustamar dari jabatan Ketua PWNU Jawa Timur. Peristiwa ini menjadi pemantik utama karena menyentuh jantung paling sensitif dalam tradisi NU: relasi antara otoritas struktural dan otoritas moral kiai.
1. Posisi KH. Marzuki dalam Tradisi NU KH. Marzuki Mustamar bukan sekadar pengurus wilayah. Ia adalah:kiai pesantren dengan basis santri luas, figur keilmuan dan dakwah yang diakui,serta simbol otoritas moral NU Jawa Timur—wilayah paling strategis dalam sejarah NU.
Karena itu, setiap tindakan terhadap KH. Marzuki tidak pernah dibaca sebagai urusan administratif semata, melainkan sebagai sikap PBNU terhadap martabat kiai.
2. Pemecatan sebagai Keputusan Struktural Keras
Pemecatan dilakukan melalui mekanisme struktural PBNU, dengan dasar pelanggaran disiplin organisasi. Namun yang menjadi soal bukan hanya apa keputusannya, melainkan bagaimana keputusan itu diambil dan apa dampak etiknya.
Banyak kiai dan warga NU menilai: tabayyun tidak memadai, ruang klarifikasi tidak setara, dan pendekatan yang dipilih lebih menyerupai logika birokrasi modern ketimbang adab keulamaan NU.
Di titik ini, PBNU dipersepsikan mengutamakan kekuasaan struktural daripada kebijaksanaan moral.
3. Preseden Berbahaya dalam Tradisi NU
Dalam sejarah NU, koreksi terhadap tokoh besar hampir selalu ditempuh lewat:
nasihat, musyawarah, tekanan moral kiai sepuh, bukan pemecatan administratif yang kaku.
Kasus Idham Chalid dan Gus Dur menunjukkan bahwa NU lebih memilih jalan etik daripada sanksi struktural. Maka pemecatan KH. Marzuki dipandang sebagai pemutusan tradisi dan menciptakan preseden berbahaya:
> perbedaan sikap bisa berujung sanksi, bukan dialog.
4. Efek Domino: Dari Personal ke Sistemik
Sejak pemecatan itu, konflik tidak berhenti pada satu nama. Ia menjalar menjadi: kegelisahan kiai di daerah,
ketidakpercayaan PW dan PC terhadap PBNU, fragmentasi sikap di kalangan Nahdliyin akar rumput.
Pemecatan KH. Marzuki berubah dari kasus personal menjadi simbol krisis kepemimpinan.
5. Krisis Legitimasi, Bukan Sekadar Otoritas
Secara formal, PBNU mungkin sah secara AD/ART. Namun konflik ini menunjukkan satu hal penting dalam NU: legalitas tanpa legitimasi moral tidak cukup, keputusan sah bisa tetap dipersoalkan secara etik.
Di sinilah krisis sesungguhnya terjadi: bukan krisis struktur, melainkan krisis kepercayaan.
6. Mengapa Konflik Terus Membesar
Karena akar masalahnya tidak diselesaikan.
Selama: pemecatan dianggap final tanpa rekonsiliasi, kritik dibaca sebagai pembangkangan,bdan tabayyun dipersempit oleh logika kekuasaan,maka konflik akan terus berulang, berganti isu, berganti tokoh, tetapi akar sakitnya sama.
—
Kesimpulan Tegas
Pemecatan KH. Marzuki Mustamar adalah titik nol konflik PBNU saat ini.
Ia menandai pergeseran NU dari:
> jam’iyah berbasis adab dan musyawarah
menuju organisasi yang menertibkan dengan sanksi struktural.
Bagi banyak Nahdliyin, persoalannya bukan setuju atau tidak pada sosok KH. Marzuki, melainkan ketakutan akan masa depan NU:
apakah NU masih dipimpin oleh hikmah ulama, atau mulai dikelola dengan logika kekuasaan semata.
