
By Tri Agus Ir.
Kapal negara selalu digambarkan sebagai simbol kebanggaan rakyat, tetapi pada kenyataannya, nakhodanya bukan lagi manusia pilihan rakyat, melainkan pemilik modal yang menentukan arah pelayaran berdasarkan kalkulasi laba. Samudera investasi menjadi arena yang tampak mulia, seolah penuh prospek dan harapan, padahal gelombangnya hanya mengantar keuntungan bagi orang yang berada di ruang kendali. Rakyat percaya kapal ini berlayar untuk kesejahteraan bersama, tetapi dari awal tujuan sebenarnya sudah diam-diam diubah tanpa musyawarah. Tidak ada kompas ideologi, konstitusi, atau aspirasi publik yang dijadikan panduan perjalanan. Yang digunakan adalah peta peluang konsesi. Dan di atas geladak, rakyat hanya menghitung hari sambil berharap destinasi yang dijanjikan bukan sekadar mimpi.
Di ruang navigasi, penegak hukum bertugas mengatur jalur agar pelayaran tetap terlihat legal dan prosedural, meskipun arah perjalanannya melawan rasa keadilan publik. Mereka tidak memihak pelabuhan rakyat karena di sana tidak ada keuntungan bagi pemilik kapal, melainkan hanya tuntutan distribusi yang dianggap memberatkan modal. Jalur hukum bisa diubah, diatur, bahkan direvisi sesuai kebutuhan para investor strategis. Prinsip supremasi hukum hanya berlaku kepada penumpang biasa, sementara kepada pemilik modal selalu tersedia dermaga khusus yang steril dari pengawasan. Ketika ada badai protes dari bawah, navigator tidak menuntun kapal menjauh, melainkan mengoreksi peta agar protes itu tampak tidak relevan. Dan akhirnya hukum berubah menjadi pagar pelindung kapal, bukan pagar keadilan bagi seluruh isi pelayaran.
Di kamar mesin, para politisi menjalankan peran sebagai chief engineer yang memproduksi tenaga bagi kapal melalui kebijakan, regulasi, dan anggaran negara. Mesin bekerja bukan berdasarkan mandat rakyat, melainkan berdasarkan blueprint ekonomi yang disodorkan pemilik kapal. Undang-undang direvisi seperti baut dan mur yang disesuaikan agar putaran mesin tetap stabil untuk kepentingan eksploitasi sumber daya. Tidak masalah jika mesin menghasilkan panas sosial, polusi ketimpangan, atau kebisingan ketidakadilan, selama mesin tetap bertenaga untuk menggerakkan ekspansi modal. Para teknisi kebijakan bangga menyebut ini pembangunan, seakan publik harus bersyukur walau hanya mendapatkan percikan kesejahteraan yang tertinggal. Pada akhirnya, mesin itu bukan milik negara, tetapi hanya disuplai dengan anggaran negara.
Tujuan pelayaran tidak diumumkan secara jujur kepada penumpang karena jika diketahui, mereka mungkin akan melompat ke laut sebelum sampai. Di poster sosialisasi tertulis “menuju pelabuhan kesejahteraan”, seakan semua penumpang akan turun dan menikmati kemakmuran. Namun nama pelabuhan asli hanya tercatat di logbook internal: Pelabuhan Monopoli. Tidak ada ruang untuk usaha kecil, para pesaing independen, atau ekonomi rakyat ketika kapal sandar di sana. Kebebasan pasar berubah menjadi kebebasan untuk mendominasi pasar. Dan rakyat diarahkan untuk menjadi konsumen patuh tanpa alternatif, bukan pelaku ekonomi yang merdeka.
Pelabuhan Monopoli menjanjikan kekayaan tanpa batas bagi nakhoda dan kru utama, karena di sanalah sektor strategis dikuasai oleh satu jaringan ekonomi yang menentukan harga, akses, dan distribusi. Pelabuhan ini bersih dari kompetisi karena kompetitor sudah dijatuhkan sejak masih jauh dari dermaga. Masuknya barang baru ke pasar tidak dianggap sebagai peluang, tapi ancaman bagi stabilitas keuntungan. Setiap potensi kebangkitan ekonomi rakyat diposisikan sebagai risiko keamanan investasi. Maka tidak mengherankan jika jalan menuju pelabuhan ini dijaga ketat oleh kebijakan, bukan oleh senjata. Dan dalam atmosfer seperti itu, keberhasilan ekonomi hanya dimaknai sebagai keberhasilan kelompok yang memegang kemudi.
Ketika pelabuhan rakyat dilewati, tidak ada instruksi untuk berhenti, apalagi menurunkan kesejahteraan. Bagi oligarki, pelabuhan rakyat adalah pelabuhan rugi karena membagi keuntungan dianggap pemborosan yang menurunkan efisiensi kapital. Jadi kunjungan ke sana hanya dilakukan ketika kampanye, di mana kapal tiba bukan untuk memberikan kemakmuran, tetapi untuk mengumpulkan suara. Setelah pemilihan selesai, mode pelayaran kembali diarahkan ke rute asli: konsolidasi modal dan kontrol pasar. Rakyat dibiarkan berjaga di dermaga sambil memandangi kapal yang menjauh, berharap suatu hari kembali tetapi tidak pernah benar-benar dijadwalkan. Dan semua itu dibungkus retorika pembangunan yang terdengar indah tapi kosong.
Media di kapal bertugas menghibur penumpang dengan siaran tentang suksesnya perjalanan dan cerahnya masa depan pelayaran. Laporan potensi bahaya, kebocoran mesin, atau rute yang berisiko segera disensor demi menjaga stabilitas narasi. Ketika harga-harga naik akibat monopoli, pemberitaan mengatakan ini demi “pertumbuhan nasional”. Ketika lingkungan rusak karena konsesi, media menyebutnya sebagai “konsekuensi progres pembangunan”. Rakyat dipaksa optimis, bukan karena situasi baik, tetapi karena pesimisme dianggap ancaman keamanan ekonomi. Dan setiap kritik dideklarasikan sebagai mutiny atau pemberontakan di atas kapal, bukan sebagai upaya menyelamatkan sesama penumpang.
Di ruang kemudi, pemilik modal nyaman karena seluruh sistem bekerja dengan harmonis sesuai rencana. Mereka tidak membutuhkan demokrasi substantif, cukup demokrasi prosedural untuk mendapatkan legitimasi agar kapal tetap bisa berlayar dengan bendera legalitas. Semua instrumen pelayaran, politik, hukum, media, dan anggaran, saling menopang demi memastikan tidak ada manuver menuju pelabuhan alternatif. Kapal berjalan stabil walau tidak adil, maju walau tidak menyejahterakan, dan menguntungkan walau menindas. Dan selama keuntungan tetap mengalir ke kabinet eksklusif kabin VIP, tidak ada alasan untuk mengubah arah. Rakyat tetap menjadi penumpang tetap, tetapi tanpa kepemilikan tiket balik.
Rencana besar pelayaran oligarki sebenarnya sederhana: selama penumpang tetap percaya kapal ini menuju pelabuhan impian, segala ketidakadilan dapat dilegitimasi sebagai proses yang “perlu disabarkan”. Mereka yang bertanya dianggap tidak paham ekonomi, mereka yang protes dianggap provokator, dan mereka yang mengingatkan dianggap tidak nasionalis. Pada akhirnya, yang paling ditakuti oleh nakhoda bukan badai, bukan gelombang, bukan krisis global, tetapi kesadaran rakyat bahwa kapal sebenarnya bisa dibelokkan. Sebab ketika penumpang sadar mereka memiliki hak untuk memilih pelabuhan sendiri, monopoli kehilangan kendali. Dan saat itu terjadi, oligarki bukan lagi kapten, melainkan hanya penumpang biasa yang ketakutan melihat kapal yang selama ini mereka kendalikan berubah arah.
