Banjir Badang Belum Ditetapkan Bencana Nasional

Sumatra-Banjir bandang meluluhlantakkan kampung-kampung, longsor menelan rumah dan jalan raya, ribuan warga mengungsi, dan ekonomi daerah berhenti total. Namun status yang diberikan pemerintah tetap sama: bencana daerah.

Padahal data BNPB per 4 Desember 2025 menunjukkan skala tragedi yang luar biasa:
776 jiwa meninggal, 564 orang hilang, 2.600 terluka, lebih dari 10.400 rumah rusak, dan 50 kabupaten terdampak. Bendungan jebol, infrastruktur runtuh, dan wilayah terpencil terputus sepenuhnya.

Jika mengacu pada UU No. 24/2007 dan pedoman BNPB, seluruh indikator untuk menetapkan bencana nasional telah terpenuhi. Namun status itu tak kunjung keluar.
Alasannya sederhana: menetapkan bencana nasional berarti pemerintah pusat harus mengambil alih seluruh penanganan, membiayai pemulihan, dan mengakui kegagalan negara melindungi rakyatnya.Dalam politik, pengakuan seperti itu terlalu mahal.

Masalahnya, hukum kita tegas: ketika skala bencana melampaui kapasitas daerah, pemerintah pusat wajib turun tangan penuh. Jika ini diabaikan, muncul pertanyaan konstitusional: apakah negara menjalankan kewajibannya sebagaimana diamanatkan UUD 1945?

Secara hukum, masyarakat sipil dapat mengajukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi, untuk menguji:
• kelalaian pemerintah dalam menerapkan UU Bencana,
• keputusan administratif yang bertentangan dengan mandat konstitusi,
• penafsiran negara yang merugikan hak hidup warga.

Bila MK menyatakan pemerintah melanggar konstitusi, pemerintah wajib tunduk. Dan jika pemerintah tetap tidak melaksanakan putusan MK, konsekuensinya serius: Pasal 7A–7B UUD 1945 membuka kemungkinan pemberhentian Presiden/Wapres jika terbukti melanggar konstitusi.

Artinya, mengabaikan bencana bukan hanya kelalaian administratif. Dalam demokrasi yang sehat, itu adalah pelanggaran konstitusi yang dapat berujung pemakzulan.

Sayangnya, demokrasi kita jauh dari sehat.
Ketika kekuasaan lebih sibuk menjaga citra daripada menjaga nyawa, rakyat dipaksa hidup di negeri yang berbahaya—dangerous by design, bukan by destiny.0