Refleksi Mohammad Rifai Tahun 2019 Selaku Kepala SMAN Berbasis Islam Di Banyuwangi

Banyuwangi-menara madinah. com-Refleksi, koreksi, atau mawas diri, itu semua menggambarkan “percakapan yang tidak pernah mati” dalam diri kita.

Orang sosiologi biasanya menyebut kemampuan berefleksi (reflection capacity) sebagai cara melihat bagaimana kejadian-kejadian dengan segenap struktur yang membentuknya bisa ditimbang ulang, direnungkan ulang, diberi kritik terus menerus.

Melalui refleksi, koreksi, mawas diri, akhirnya kita tahu bahwa realitas sesungguhnya dalam kehidupan sehari-hari tidak rampung, selesai, atau final sebagaimana yang kita saksikan dengan segenap peralatan inderawi kita.

Ada hukum yang mengatur dan membentuk jalannya peristiwa dan kejadian-kejadian itu. Ada makna yang terus menerus berubah, bertambah, berganti, dan dan dalam kehidupan nyata kita manusia adalah makhluk pemburu makna (man is the hunter of meanings).

Kita akan berhenti menjadi manusia, jika kita gagal atau berhenti memberi makna pada kehidupan kita…. Nah, kawan, saya sendiri termasuk pengikut pandangan “dari refleksi menuju aksi”. Itu sangat mendekati aliran “philosophy of action”… Tindakan, praxis, praxeology ikut membentuk pengetahuan kita. Pengetahuan bukan hanya berasal dari kitab dan ide-ide di pikiran.

Pengetahuan juga berasal dari relasi-relasi sosial sehari-hari, dari konteks dan proses interaksi, dari pilihan-pilihan bebas yang kita ambil, atau singkatnya dari kondisi-kondisi objektif yang kita jumpai, rasakan, dan kondisi-kondisi itu ikut menarik kita, melibatkan kita.

Husnu Mufid

Koresponden MM.com