Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS)

 

Penulis: Mochammad Rifai, M.Pd.

 

Hampir setiap tahun pelajaran baru, dipastikan selalu ada berita menyedihkan terkait dengan masa orientasi. Kekerasan masih mewarnai kegiatan MPLS (Masa Pengenalan lingkungan Sekolah), dulunya MOS, MOPDB. Penyelenggaraan MPLS secara serentak diselenggarakan 15 s.d. 18 Juli 2019. Tetapi pada sekolah tertentu sudah dimulai kegiatan itu dengan istilah Pra-MPLS.

Petunjuk kegiatan MPLS dari kementerian sudah jauh hari diturunkan ke sekolah-sekolah. Sosialisasi penyelenggaraan MPLS lewat dinas dan cabang dinas pendidikan sudah dilaksanakan. Inti dari MPLS adalah pengenalan siswa baru terhadap lingkungan sekolah baik lingkungan fisik maupun lingkungan nonfisik.

Sebenarnya MPLS itu merupakan bagian awal proses penerimaan siswa baru tidaklah suatu kegiatan yang urgent. Artinya kegiatan itu tidak diselenggarakan pun tidak signifikan pengaruhnya terhadap perilaku siswa baru. Justru jika penyelenggaraannya teledor rawan penyimpangan. Penyimpangan itu bersumber dari seniornya.

Lagi-lagi ada praktik bulying di kegiatan MPLS. Misalnya yang terjadi di SMA TARUNA Palembang, seorang siswa peserta MPLS bernama Deliwn Berli, 14, meninggal saat mengikuti kegiatan itu. Hasil uji forensik menunjukkan bahwa Deliwn meninggal karena siksaan. Sungguh berita yang menyedihkan ini menjadi hal yang mengecewakan banyak pihak. Hari gini kok masih ada aksi kekerasan di sekolah.

Tentu kasus demi kasus kekerasan di sekolah oleh siapapun adalah pelanggaran hukum dan bisa jadi sebuah tindak kriminal apapun alasannya.

Pelajaran penting bagi sekolah penyelenggara kegiatan MPLS mengindahkan aturan main dari kementerian. Kepala sekolah harus menjamin bahwa dalam kegiatan itu tidak ada kekerasan apapun bentuknya.

Rawan kekerasan berawal dari sikap senior terhadap yuniornya. Karena itu, pelaksanaan MPLS tidak boleh berhadap-hadapan antara siswa senior dengan siswa yunior. MPLS atau apa istilahnya adalah pekerjaan dan tanggungjawab guru. Siswa senior (pengurus Osis) sekedar membantu pelaksanaan kegiatan itu atas perintah guru. Siswa senior tidak boleh berinisiatif ikut serta mengambil bagian kecuali telah mendapatkan persetujuan dari guru.

Jadi, prinsipnya kalau ada praktik kekerasan apalagi sampai ada korban meninggal, yang paling bertanggung jawab adalah guru atau panitia yang ditetapkan oleh kepala sekolah.