Terjebak Rutinitas, Banyak Wartawan Tidak Nulis Buku

Oleh : Aqua Dwipayana

_Di antara semua profesi yang paling potensi menulis buku adalah para wartawan. Hal itu tidak mengherankan karena pekerjaannya setiap hari tulis-menulis. Masalahnya, dari banyak wartawan hanya sebagian saja yang menulis buku. Jumlahnya relatif kecil. Di Indonesia contohnya, dari ribuan wartawan mungkin hanya puluhan yang telah punya karya berupa buku._

Bagaimana dengan yang lainnya? Kenapa itu bisa terjadi? Padahal setiap hari selama belasan tahun hingga puluhan tahun, pekerjaannya adalah menulis. Beragam informasi ditulis untuk disajikan ke pembaca.

Jawaban klise selalu terdengar. Tidak punya waktu. Aktivitasnya mulai dari pagi hingga malam: mencari dan menulis berita. Saat libur istirahat dan kumpul sama keluarga.

Sebenarnya yang terjadi adalah terjebak rutinitas di pekerjaannya. Saking asyiknya jadi terlena, sehinga merasa tidak ada waktu untuk menulis buku.

Di sisi lain ada wartawan yang produktif menulis buku. Meski sehari-hari sibuk dengan pekerjaannya namun tetap berkarya berupa buku.

Semuanya kembali pada individu masing-masing. Memang tidak ada kewajiban menulis buku bagi seorang wartawan. Namun itu adalah sebuah karya yang seharusnya bisa dihasilkan setiap wartawan.

Apalagi ilmu dasarnya yaitu menulis sudah dimiliki sejak menekuni profesi tersebut. Tinggal mengembangkan tulisan sesuai dengan topik yang disukai dan dikuasinya.

*Kelemahan Wartawan Hanya Bisa Menulis Berita, Bukan Nulis buku*
Mengutip tulisan Wartawan Utama Maspril Aries dalam tulisannya yang berjudul _Buku dan Wartawan_ yang dimuat di Sumeks.co bahwa wartawan senior Jakob Oetama mengatakan, “Menulis buku adalah mahkota buat wartawan.” Wartawan senior Amarzan Loebis yang pernah bekerja di majalah Tempo mengatakan, “Jangan menyebut diri sebagai wartawan senior kalau belum pernah menulis buku. Kalau belum menulis buku, istilah yang lebih tepat adalah ‘wartawan tua’.”

AM Hoeta Soehoet pendiri dan juga Rektor IISIP (Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ) Jakarta dulu bernama Sekolah Tinggi Publisistik (STP) mengatakan, “Kelemahan wartawan hanya bisa menulis berita, bukan menulis buku. Wartawan yang sampai hari tuanya tidak sekalipun pernah menulis buku, hanya pantas disebut sebagai wartawan bangkotan.”

Di luar negeri banyak wartawan termasuk wartawan senior menulis buku. Bob Woodward atau Robert Upshur Woodward sukses menulis lebih dari 12 buku non fiksi. Bob Woodward yang lahir di Illinois 26 Maret 1943 adalah seorang jurnalis terkenal dari Amerika Serikat yang bekerja sebagai reporter Harian The Washington Postberhasil mengungkap skandal Watergate yang melibatkan Presiden Richard Nixon.

Sebagai wartawan Bob Woodward berhasuil meraih dua kali Penghargaan Pulitzer. Penghargaan Pulitzer adalah penghargaan yang dianggap tertinggi dalam bidang jurnalisme di Amerika Serikat. Penghargaan ini juga diberikan untuk pencapaian dalam bidang sastra dan gubahan musik. Penghargaan Pulitzer pertama diberikan pada 4 Juni 1917. Di Indonesia ada Penghargaan Adinegoro.

Bob Woodward bersama Carl Bernstein menulis dua buku klasik tentang Presiden Richard Nixon yang berjudul “All the President’s Men” dan “The Final Days.” Bukunya “All the President’s Men”diangkat ke layar perak dan merupakan film klasik yang wajib ditonton para wartawan muda khususnya mereka yang tertarik dengan liputan investigasi.

Di usia yang tidak muda, pada usia 75 tahun Bob Woodward masih menulis buku. Pada 2018 lalu terbit bukunya berjudul “Fear: Trump in the White House,” atau “Ketakutan: Trump di Gedung Putih.” Buku tentang Presiden Donald Trump dan pemerintahan Amerika Serikat dibawah pimpinannya ditulis berdasarkan wawancara dengan berbagai sumber selama “ratusan jam,” ditambah catatan-catatan dan kutipan-kutipan dari buku harian yang mencerminkan “kehidupan yang menakutkan” di dalam Gedung Putih.

Juga ada David Halberstam seorang jurnalis yang menulis lebih dari 20 buku. David Halberstam yang lahir 10 April 1934 ialah seorang jurnalis, penulis, dan sejarawan peraih Penghargaan Pulitzer. Halberstam pada tahun 1960-an meliput perang Vietnam untuk The New York Times. Ia juga menulis tentang perang Korea dalam dua buku, “The Fifties” yang terbit 1993 dan “The Coldest Winter: America and the Korean War” yang terbit 2007.

Di Indonesia, sejak era sebelum kemerdekaan para jurnalis atau wartawan Indonesia yang saat itu negerinya terjajah juga telah menulis buku selain menulis di media massa tempat mereka bekerja. Seperti Adinegoro yang namanya diabadikan sebagai penghargaan untuk wartawan atau jurnalis Indonesia pada 1931 telah menulis buku yang berjudul “Melawat ke Barat.”

Para wartawan Indonesia pada masa itu sampai masa kemerdekaan adalah jurnalis andal yang memiliki kemampuan menulis buku, khususnya buku-buku tentang jurnalisitik atau publisistik. Diantaranya wartawan Mochtar Lubis, Rosihan Anwar, BM Diah dan Wonohito yang melahirkan karya tulis mereka dalam bentuk buku. Sejak saat itu semakin banyak wartawan atau jurnalis Indonesia yang menulis buku, ada Goenawan Mohammad, Jakob Oetama dan Parni Hadi.

Mochtar Lubis juga menulis buku tentang perang Korea yang diberi judul “Catatan Perang Korea.” Buku ini pertama kali terbit tahun 1951 kemudian terbit dalam edisi kedua tahun 2010. Mochtar Lubis adalah salah seorang wartawan perang dari Indonesia yang diundang dan dengan akreditasi PBB untuk meliput perang Korea dan izin dari Panglima Perang Amerika Serikat Jendral Mac Arthur.

*Awalnya Pasti Bingung dan Merasa Rumit*
Para wartawan yang belum terbiasa menulis awalnya pasti bingung. Harus memulainya dari mana. Jika tidak ada mentor yang membimbingnya merasa lebih rumit.

Kalau kebingungan dan kerumitan itu tidak segera ada solusinya dapat membuat patah semangat untuk menulis buku. Ini baru tahapan pertama.

Sedangkan tahapan berikutnya adalah mencari penerbit yang mau menerbitkan bukunya. Kecuali jika diterbitkan sendiri atau mandiri.

Bagi penulis buku pemula butuh waktu untuk meyakinkan penerbit atas karyanya. Jangan kecil hati kalau tidak langsung diterima. Bisa jadi ditolak berkali-kali bukunya oleh penerbit. Apalagi kalau dianggap topiknya tidak menarik dan ngga punya nilai jual.

Tidak ada penerbit yang mau ambil risiko rugi menerbitkan buku. Kalau ada, memiliki alasan tertentu yang tidak berkaitan dengan bisnis.

Tahapan selanjutnya adalah membantu pemasarannya. Seorang penulis buku pasti ingin bukunya banyak laku dan segera cetak ulang sehingga masuk kategori _best seller_. Memang tidak ada kewajiban dari penerbit untuk melakukan, namun secara moral sebaiknya hal itu dilakukan.

Kondisinya berbeda sekali dengan penulis yang menerbitkan sendiri bukunya. Selain titip di toko buku termasuk yang online, harus berusaha sendiri memasarkan bukunya.

Mereka yang punya jaringan luas biasanya sukses melakukan itu. Kalaupun bukunya dijual di toko buku, hanya sekedar pajangan saja. Tidak berharap banyak laku terjual.

Semoga ke depan semakin banyak wartawan yang menulis buku dan tidak terjebak rutinitas dalam bekerja. Aamiin ya robbal aalamiin…

>>>Dari Bogor saya ucapkan selamat berkarya termasuk menulis buku sebagai salah satu upaya meningkatkan literasi di Indonesia. Salam hormat.