
By Yani Andiko.
Tragedi Nenek Elina Pagi itu di Surabaya, tanah masih basah oleh embun, tapi langit sudah mengeras bagai besi. Di depan puing-puing rumahnya yang rata dengan tanah, Nenek Elina (80) mungkin hanya bisa terduduk, menyentuh luka di bibirnya, dan bertanya dalam hati :
“Di negeri ini, apa artinya menjadi manusia tua?” Ini bukan sekadar berita tentang sengketa tanah atau keributan antar-tetangga. Ini adalah cerita pilu tentang bagaimana martabat manusia bisa diratakan bersama-sama batu bata, diinjak-injak oleh sepatu boot preman, dan dibungkam oleh klaim sepihak atas selembar “letter C”. .
Kisah Nenek Elina adalah potret buram tentang kegagalan kita melindungi yang paling lemah, dan betapa mudahnya kekerasan dijadikan bahasa untuk menyelesaikan segala hal.
Samuel, sang pengklaim rumah, punya segudang alasan. Ia merasa sah karena membeli dari saudara Nenek Elina pada 2014. Ia punya surat-surat.
Ia merasa sudah berulang kali memberi peringatan. Dalam narasinya, ia adalah pihak yang “terpaksa”. Tapi coba kita dengarkan bahasa lain yang digunakan hari itu: bahasa kekerasan.
Bahasa itu universal, tak butuh penerjemah. Seorang nenek 80 tahun diseret keluar dari rumahnya. Tubuh rentanya dilukai. Suara jeritannya mungkin tenggelam dalam deru mesin ekskavator yang meratakan hidupnya dalam hitungan menit. Ini bukan tindakan “terpaksa” ini adalah pilihan sadar untuk menggunakan kekuatan fisik terhadap yang lemah.
Wakil Walikota Armuji, yang mengunjungi lokasi, dengan tegas menyebutnya: “Tindakan brutal.” Dan ia benar. Kekerasan selalu punya logika sendiri logika dominasi, penghinaan, dan pengakuan melalui rasa sakit. Ketika sekelompok orang bercelana cingkrang dan bertato bisa mengusir seorang nenek dengan mudah, mereka sedang mengajarkan satu pelajaran : hukum ada di pihak yang kuat, bukan di pihak yang benar.
Mungkin inilah paradoks terbesar peradaban kita : kita membangun rumah sakit untuk menyambung nyawa, namun di sudut kota yang sama, kita membiarkan kekerasan merenggut ketenangan seorang manusia tua. Kasus Nenek Elina di Surabaya bukan lagi sekadar berita ia adalah bel alarm yang memekakkan telinga tentang penyakit sosial yang menggerogoti kita : normalisasi kekerasan dan erosi rasa iba.
Ketika ekskavator mengunyah rumah Nenek Elina hingga rata, yang turut hancur bukan hanya tembok dan atap. Yang runtuh adalah satu konsep dasar peradaban : bahwa ada hal-hal yang tak bisa diganggu gugat, bahwa seorang manusia di usia senjanya berhak pada ketenangan, dan bahwa kekerasan bukan dan tak boleh menjadi bahasa komunikasi kita. Bagi kita yang muda, rumah mungkin sekadar tempat tinggal bisa diganti, bisa direnovasi.
Tapi bagi Nenek Elina, rumah itu adalah arsip hidupnya. Di setiap sudutnya tersimpan kenangan : di sini anaknya pertama kali merangkak, di ruang tamu itu suaminya dulu membaca koran, di dapur ini aroma opor ayam memenuhi setiap ruang rumah.
Membongkar rumah Nenek Elina bukanlah sekadar merobohkan bangunan tua. Itu adalah penghancuran museum pribadi, pembakaran buku harian yang terbuat dari batu dan kayu. Bayangkan : di usia 80 tahun, seseorang tiba-tiba kehilangan semua fotonya, surat-surat lama, piala cucunya, kursi goyang yang selalu menemani sore-sore sepinya.
Samuel mungkin mengklaim sudah mengembalikan barang-barang dengan satu pikap, tapi bagaimana cara mengembalikan kenangan yang sudah melekat pada setiap debu di tempat itu? Ada kekejian khusus dalam kekerasan terhadap orang tua. Di usia ketika tulang-tulang mulai rapuh, ingatan mulai kabur, dan dunia semakin menyempit ke empat dinding rumah, justru di situlah pukulan datang paling keras. Psikolog akan bercerita tentang trauma kompleks yang mungkin menghantui sisa hidup Nenek Elina : mimpi buruk berulang tentang diseret, kecemasan setiap mendengar suara motor berhenti di depan rumah, ketakutan bahwa keamanan hanyalah ilusi. Yang lebih menyedihkan : di usia senja, manusia seringkali kehilangan kemampuan untuk “bangkit kembali”.
Seorang pemuda mungkin masih punya energi untuk marah, melawan, atau memulai dari nol. Tapi Nenek Elina? Kekerasan ini mungkin bukan hanya merenggut rumahnya, tapi juga merampas sisa ketenangan hidupnya. Ia akan terus bertanya : kalau di rumah sendiri saja bisa terjadi ini, di mana lagi tempat yang aman? Ada detail kecil dalam laporan ini yang justru paling menggetarkan: Wakil Walikota Armuji geram karena RT/RW setempat tidak menghalangi aksi pembongkaran. Dua huruf dan dua angka itu RT/RW adalah simbol terkecil dari negara, ujung tombak perlindungan warga. Ketika mereka diam, ketika mereka “tidak menghalangi”, yang terjadi bukanlah netralitas melainkan pembiaran. Inilah tragedi sebenarnya : kekerasan seringkali bukan terjadi karena kejahatan segelintir orang, tetapi karena diamnya banyak orang.
Tetangga yang menutup jendela, RT yang pura-pura tidak lihat, RW yang takut urusannya rumit mereka semua, dengan diamnya, menjadi bagian dari panggung kekerasan itu. Samuel terus berkeras tentang surat-suratnya. Ia mungkin benar secara formal mungkin saja surat-surat itu sah di mata notaris. Tapi ada pertanyaan yang lebih mendasar : apakah kepemilikan sebidang tanah membatalkan kewajiban kita untuk memperlakukan sesama manusia dengan hormat? Wakil Walikota Armuji sudah menjawab: “Meskipun sampean punya surat sah, tetap tindakan sampean bisa dikecam satu Indonesia.” Kata-kata itu penting ia mengingatkan kita bahwa di atas hukum positif, ada hukum kemanusiaan yang lebih tua, lebih universal. Hukum itu mengatakan : jangan sakiti yang lemah. Jangan hinakan yang tua. Jangan jadikan kekerasan sebagai solusi.
Akhirnya, cerita ini bukan hanya tentang seorang nenek di Surabaya. Ini tentang kita semua. Setiap kali kita memilih diam melihat ketidakadilan, setiap kali kita menganggap sengketa properti lebih penting dari pada nyaman, setiap kali kita menerima kekerasan sebagai “cara cepat” menyelesaikan masalah kita sedang meratakan sedikit demi sedikit martabat kemanusiaan kita sendiri.
Nenek Elina hari ini adalah korban. Tapi besok, bisa jadi ibu kita, nenek kita, atau bahkan diri kita di masa tua. Pertanyaan yang harus kita jawab bersama : jenis masyarakat apa yang kita bangun? Masyarakat yang melindungi yang lemah, atau masyarakat yang membiarkan preman menjadi penegak hukum? Rumah Nenek Elina mungkin sudah rata. Tapi jangan biarkan hati nurani kita ikut rata bersamanya. Karena sekali kita kehilangan kemampuan untuk marah melihat seorang nenek disakiti, saat itulah kita kehilangan hak untuk menyebut diri manusia. Batu, 27 Desember 2025
