Raport, Maskulinitas Semu, dan Krisis Empati Pendidikan

 

Oleh: Sujaya, S. Pd. Gr.
(Pemerhati Pendidikan Karakter, Guru SMPN 3 Sindang Indramayu)

Kebijakan pendidikan kerap lahir dari niat baik, tetapi tidak selalu berujung pada kebijaksanaan. Kontroversi kewajiban pengambilan rapor oleh ayah adalah contoh nyata bagaimana sebuah gagasan normatif—penguatan peran ayah—dapat berubah menjadi praktik yang mengabaikan empati dan keadilan sosial, terutama bagi anak yatim dan keluarga rentan.
Alih-alih menjadi strategi pendidikan karakter, kebijakan semacam ini justru memperlihatkan krisis kepekaan sosial dalam pengelolaan pendidikan kita.

Ketika Aturan Mengalahkan Realitas

Indonesia bukan negara dengan struktur keluarga tunggal yang seragam. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jutaan anak hidup tanpa ayah karena kematian, perceraian, atau tuntutan ekonomi. Banyak pula ayah yang bekerja lintas kota dan negara, meninggalkan peran pengasuhan harian pada ibu atau wali.

Dalam konteks ini, menjadikan kehadiran ayah sebagai syarat administratif pengambilan rapor bukan hanya tidak realistis, tetapi juga berpotensi diskriminatif. Sekolah, sadar atau tidak, sedang mengirim pesan simbolik yang keras: seolah-olah anak dari keluarga tidak utuh adalah “penyimpangan” dari standar ideal.

Pakar pendidikan Prof. Arief Rachman pernah mengingatkan bahwa,
“Pendidikan tidak boleh memaksakan nilai tanpa memahami konteks sosial peserta didik.”
Pesan ini terasa relevan ketika kebijakan dibuat dari menara gading, jauh dari denyut kehidupan murid.

Maskulinitas Simbolik dalam Pendidikan

Penguatan peran ayah penting, tetapi menjadikannya simbol administratif justru berisiko melahirkan maskulinitas semu—kehadiran fisik tanpa kedalaman relasi.
Pendidikan karakter tidak tumbuh dari siapa yang hadir mengambil rapor, melainkan dari kualitas keterlibatan orang tua dalam proses belajar anak.

UNESCO menegaskan bahwa keterlibatan orang tua bersifat multidimensional: komunikasi, dukungan emosional, dan pendampingan belajar. Mengerdilkan peran ayah hanya pada momen seremonial justru mereduksi makna pendidikan keluarga itu sendiri.
Lebih ironis lagi, di saat sekolah mengklaim sedang menanamkan empati, justru ada anak yatim yang dipaksa menanggung beban psikologis tambahan—rasa malu, keterasingan, dan perasaan tidak setara.

Kurikulum Merdeka yang Tersandera Praktik Lama

Kurikulum Merdeka menegaskan prinsip berpihak pada murid. Profil Pelajar Pancasila menjunjung nilai berakhlak mulia, gotong royong, dan keadilan sosial. Namun kebijakan pengambilan rapor yang kaku menunjukkan jurang antara dokumen kurikulum dan praktik di sekolah.

Ki Hadjar Dewantara menulis,
“Pendidikan itu menuntun, bukan menuntut.”
Menuntut kehadiran ayah tanpa membuka ruang empati adalah bentuk pendidikan yang lupa pada hakikatnya.

Jika sekolah gagal membaca keragaman kondisi murid, maka jargon “merdeka belajar” berisiko berubah menjadi slogan kosong.

Perspektif Islam: Pendidikan Tanpa Empati adalah Kezaliman

Dalam Islam, anak yatim memiliki posisi istimewa yang tidak boleh diperlakukan dengan standar yang sama tanpa pertimbangan batin. Al-Qur’an mengingatkan dengan tegas:
“Adapun terhadap anak yatim, maka janganlah engkau berlaku sewenang-wenang.”
(QS. Ad-Dhuha: 9)
Rasulullah SAW bahkan menyandingkan kemuliaan surga dengan sikap memuliakan anak yatim (HR. Bukhari).

Spirit ini menegaskan bahwa melukai perasaan anak yatim, meskipun lewat kebijakan yang tidak sensitif, adalah bentuk kelalaian moral.
Pendidikan yang mengaku berkarakter tetapi abai pada empati sejatinya sedang mengalami kekosongan nilai.

Sekolah: Ruang Administrasi atau Ruang Kemanusiaan?

Sekolah harus memilih: menjadi institusi yang taat prosedur atau ruang kemanusiaan yang beradab. Mengajak ayah terlibat dalam pendidikan dapat dilakukan melalui pendekatan persuasif, dialogis, dan inklusif—bukan melalui pemaksaan simbolik yang mengorbankan perasaan sebagian murid.

Pendidikan karakter tidak diukur dari seberapa tegas aturan ditegakkan, tetapi dari seberapa adil dan manusiawi kebijakan diterapkan.

Penutup

Kontroversi pengambilan rapor oleh ayah seharusnya menjadi alarm bagi dunia pendidikan. Tanpa empati, pendidikan mudah tergelincir menjadi mekanisme kaku yang gagal melihat manusia di balik data dan administrasi.
Raport bukan sekadar laporan akademik. Ia adalah cermin nilai yang dianut sekolah. Dan di hadapan anak yatim, empati bukan opsi—melainkan ukuran moral pendidikan itu sendiri.

Jakarta-Lombok, 20/12/2025