
Catatan Kecil : 16 Yani Andoko.
Diawali dari ratusan tentara Inggris, dengan seragam lusuh oleh keringat dan tanah, mengejar sebuah benda bundar yang terbuat dari kandung kemih hewan.
Tidak ada peluit, tidak ada aturan, hanya tawa kasar, teriakan, dan pelepasan energi purba dari jiwa-jiwa yang terbiasa dengan pertempuran. Di tengah debu dan lumpur abad ke-19 itu, tanpa disadari, mereka sedang melahirkan sebuah keajaiban.
Sebuah ritus yang akan berevolusi, bermetamorfosis, dan akhirnya yang membuat jantung berdebar-debar bagi peradaban modern. Ini bukan sekadar sejarah olahraga. Ini adalah kisah epik tentang bagaimana sebuah permainan menjadi agama, sebuah lapangan menjadi katedral, dan satu gol dapat mengguncang sumbu bumi
Jika ada satu bahasa yang benar-benar universal, dipahami dari pelosok desa di Brasil hingga gang sempit di Kota Batu Jawa Timur, itu bukan bahasa Inggris atau matematika, melainkan bahasa sepak bola. Namun, bahasa yang mampu membuat miliaran orang tertawa, menangis, dan histeris dalam satu momen yang sama ini, kembali berawal dari sesuatu yang sangat sederhana dan kacau: keinginan manusia untuk bermain. Perjalanannya dari hiburan tentara Inggris yang kasar menuju “panggung entertainment terbesar di planet ini” bukan sekadar evolusi olahraga, melainkan cermin dari transformasi masyarakat modern itu sendiri sebuah narasi tentang disiplin, globalisasi, kapitalisme, dan pencarian makna kolektif.
Sebelum menjadi pertunjukan yang teratur,sepak bola adalah sebuah ritual kekacauan. Di Inggris abad pertengahan, permainan yang sering disebut “folk football” dimainkan antar kampung, dengan aturan minim dan lapangan sepanjang jalan antara dua paroki. Bola (seringkali hanya kandung kemih hewan) diperebutkan oleh ratusan pemain dalam kerumunan yang gaduh.
Tercatat, tentara Inggris memang memainkannya untuk menjaga semangat dan kekompakan di waktu senggang. Ini adalah pelepasan energi prima sebuah simulasi pertempuran tanpa senjata, di mana kegembiraan berasal dari kebebasan fisik dan solidaritas kelompok yang kacau. Di sini, benih daya tariknya sudah tertanam: kemampuan untuk membangkitkan emosi mentah dan identitas komunal.
Transformasi kunci terjadi di abad ke-19 di sekolah-sekolah elite Inggris.Di sinilah “kekacauan” itu didisiplinkan. Lapangan dibatasi, waktu diatur, dan aturan distandardisasi. Pembentukan Football Association (FA) pada 1863 adalah momen penciptaan panggung. Dengan aturan yang seragam, sepak bola berubah dari keramaian menjadi sebuah stage di mana cerita dapat diulang, dibandingkan, dan dinikmati oleh penonton yang semakin luas. Lahirlah kompetisi seperti Piala FA (1871), yang memperkenalkan elemen drama baru: ketegangan, kejutan, dan jalan cerita yang jelas (underdog vs juara, tragedi kekalahan, kejayaan kemenangan). Sepak bola mulai berbicara dalam bahasa yang dipahami semua orang: bahasa konflik, usaha, dan takdir.
Kolonialisme dan globalisasi membawa kitab aturan ini ke seluruh dunia.Namun, yang tersebar bukan hanya permainannya, melainkan kerangka untuk menciptakan mitologi baru. Di setiap negara, sepak bola diisi dengan jiwa lokal. Bagi Brasil, ia menjadi tarian dan seni; bagi Italia, strategi pertahanan; bagi Argentina, gairah dan kepahlawanan. Pemain seperti Pelé, Maradona, atau Lionel Messi tidak lagi sekadar atlet; mereka adalah pahlawan budaya, simbol nasional, dan dewa dalam agama sekuler modern. Mereka membawa beban harapan, menjadi perwujudan impian kolektif. Ketika Maradona mencetak
“Gol Tangan Tuhan” dan “Gol Terbaik Sepanjang Abad” dalam pertandingan yang sama (1986), ia menuliskan legenda yang sempurna menggabungkan kelicikan, kejeniusan, dan penebusan hanya dalam 90 menit. Ini adalah epik yang setara dengan mitos Yunani, tetapi disiarkan langsung ke seluruh dunia.
Stadion-stadion modern adalah katedral abad ke-21.Di dalamnya, terjadi ritual bersama yang melampaui kelas sosial, pendidikan, atau agama. Inilah tempat di mana emosi dilepaskan dengan izin sosial. Menangis karena kekalahan bukanlah aib; berpelukan dengan orang asing karena gol kemenangan adalah hal yang lumrah. Sepak bola menyediakan karakteristik emosional yang langka dalam kehidupan modern yang terfragmentasi. Ia adalah satu-satunya sandiwara di mana penonton juga menjadi pemain suara mereka, dukungan mereka, adalah bagian tak terpisahkan dari alur cerita.
Namun, panggung ini telah berubah menjadi industri raksasa. Uang, politik, dan kekuasaan ikut bermain di balik layar. Transfer pemain senilai triliunan, klub yang menjadi merek global, dan Piala Dunia sebagai ajang soft power negara, semua menunjukkan bahwa sepak bola telah menjadi cermin kompleksitas dunia kita: indah sekaligus korup, mempersatukan sekaligus memecah belah. Ia adalah mikrocosmos dari masyarakat global.
Pada akhirnya,daya tarik abadi sepak bola terletak pada kesederhanaan aturannya yang kontras dengan kedalaman emosi yang dihasilkannya. Hanya dengan satu bola dan dua gawang, ia menciptakan ruang di mana kita dapat mengalami keseluruhan spektrum perasaan manusia: harapan, kecemasan, kegembiraan, keputusasaan, dan euforia. Ia adalah cerita yang tak pernah selesai setiap akhir pekan, musim baru dimulai, dengan pahlawan baru, pengkhianat baru, dan plot twist baru.
Dari kerumunan tentara yang berlepotan lumpur di abad ke-19 hingga sorotan lampu kamera di Stadion Santiago Bernabéu, esensinya tetap sama: manusia, bersama-sama, mencari cerita untuk dipercayai dan emosi untuk dirasakan secara kolektif. Sepak bola, dalam segala kompleksitasnya yang modern, pada intinya tetap adalah permainan yang “asyik dan menyenangkan sekali” hanya saja, panggungnya kini seluas dunia, dan penontonnya adalah seluruh umat manusia. Ia bukan lagi sekadar olahraga, melainkan opera kehidupan kita yang paling luas, paling nyata, dan paling mendebarkan.
Ia adalah puisi terakhir kita yang kolektif. Sebuah drama tanpa naskah yang ditulis oleh jutaan orang secara real-time. Ia mengingatkan kita bahwa kita bisa merasakan benar-benar merasakan dengan liar dan tanpa kendali. Tertawa sampai sakit perut, menangis sampai kehabisan air mata, berharap sampai dada sesak.
Maka, ketika sorot lampu stadion padam, dan debu pertandingan telah mengendap, yang tersisa hanyalah gema. Gema dari sebuah teriakan yang dimulai berabad-abad lalu oleh para tentara yang bermain di lumpur, dan kini bergaung mengisi setiap sudut bumi, dalam satu bahasa yang dipahami oleh semua orang yang masih memiliki hati untuk berdebar, dan jiwa untuk terbang bersama sebuah bola.
Itulah sepak bola. Bukan sekadar permainan. Ia adalah kegenapan dan kehampaan, puncak gunung dan dasar jurang, kegembiraan mutlak dan kesedihan yang paling pahit semuanya, tergantung pada rotasi takdir dari sebuah kulit bundar di atas sepetak rumput hijau.
Batu, 2 Januari 2025
