Setelah Pameran Tunggal di Brendel, Yos Galnas dan Men Bud Surati Menteri Kebudayaan Fadli Zon

Yos, Galnas, dan MenBud
surat terbuka untuk
Fadli Zon

Bung Fadli yang baik,

Sebelum pemerintahan Joko Widodo berakhir, pembicaraan hadirnya kementerian yang Bung pimpin saat ini antusias dilakukan dengan intensitas tinggi. Tentu yang membicarakannya penuh harap adalah para pelaku budaya: kalangan seniman panggung (musik, teater, tari) sastrawan (penyair, cerpenis, novelis), film, dan pastilah kesenian yang tumbuh dari latar budaya kita (ludruk, randai, wayang), tidak terkecuali senirupa.

Kategori yang saya sebutkan, bisa tidak pas dan tidak lengkap, tapi intinya, produk budaya kita sudah waktunya tidak lagi hanya bertahan dari gempuran ‘budaya luar’ atau ‘seniman luar’. Ketika Dirjen Kebudayaan yang diharapkan membesar jadi kementerian, saat dikawal Hilmar Farid (kawan se almamater Bung), pendekatan inklusif yang dilakukannya cukup berhasil, jika tidak dikatakan sangat.

Dan setelah kementerian kebudayaan hadir, yang Bung pimpin, tidak ada yang meragukan kapasitas, kapabilitas, dan akseptabilitas Bung. secara kapasitas dan kapabilitas, Bung masuk kategori profesional (mumpuni sebagai ‘otoritas utama’) pemangku kebijakan ini. Dari sisi akseptabilitas, dukungan politik terhadap Bung tidak terbantahkan ibaratnya tinggal menunggu penempatan saja.

Tapi, justru pada persoalan akseptabilitas ada hal kecil yang perlu diperhatikan, Bung terlalu kuat ‘warna politiknya’. Salah? Pasti tidak! Hanya saja keraguan mengiringi Bung, apakah bisa bersikap inklusif: merangkul semua, baik seniman yang politis, kalau kategori ini relevan dan yang apolitis). Kekuatan Bung dalam konteks dukungan politik adalah harapan, bukan hal buruk. Karena, dengan itu Bung bisa mengawal penuh agenda-agenda kebudayaan yang bakal digulir yang bakal kita raih. Mengayomi pelaku budaya, manusia-manusia kreatif republik kita ini, merupakan ‘sekali tenteng dua tiga pulau terlampaui’: mudah belaka.

Bung Fadli,

Lalu kenapa pameran Yos Suprapto menjadi preseden buruk yang datang terlalu pagi? Pameran gagal tersebab karya-karya Yos menusuk apa, menusuk siapa? Apakah tusukan ekspresi berkesenian, bersifat kriminal? Sehingga orang-orang di jajaran Galeri Nasional berubah seketika menjadi polisi kebudayaan, menyortir mana yang pantas mana yang tidak? Dan dimana Bung bersikap sebagai figur yang punya kapasitas (pengetahuan dan otoritas), cakap, dan saatnya Bung tampil sambil berkata, “ini momentum saya akan buktikan, saya pantas dan layak diterima.”

Jangan sampai Bung jatuh pada pilihan situasional yang terjadi antara pelukis (Yos Suprapto), (Suwarno Wisetrotomo), dan jajaran di Galeri Nasional. Tidak ada kusut yang tidak selesai, kata orang-orang tua di kampung kita, juga di kampung-kampung republik dengan redaksi berbeda. Pantas kah Bung justru menjadi bagian dari kekusutan yang penyelesaian ada dalam genggaman Bung? Saya peduli dengan kapasitas Bung, apakah mungkin Bung sendiri tidak?

Pertanyaan elementer publik, setidaknya, saya yang bagian dari publik, sebagai warganegara republik ada beberapa hal.

Pertama, apakah Yos di mata kurator dan Galeri Nasional adalah perupa yang sama sekali tidak ada rekam jejak berkeseniannya! Sehingga kurator gegabah melakukan kurasi terhadap perupa yang levelnya antah berantah. Kedua, bukankah Galeri Nasional sebuah rumah seni-budaya yang tingginya tidak semua seniman berhasil memanjatnya? Ia dikelola ketat dan manajemen waktu yang tidak pula longgar. Kenapa Yos, sampai pada level itu untuk dilukai?

Tapi siapakah yang seharusnya terluka dengan pembreidelan konyol pameran Yos: ya kurator, Galeri Nasional, dan Bung! Kalau luka kurator bisa diobatinya dengan alasan-alasan kenapa ia mundur. Kalau luka Galeri Nasional cepat beralih, pegawai negeri tidak mungkin punya penyesalan dengan tameng sekadar menjalankan tugas?

Nah, surat terbuka yang saya tulis dengan rasa hormat ini sampai pada titik itu: apakah Bung akan berdalih macam-macam, beberapa macam, atau satu macam saja? Apa dalih yang Bung pertahankan? Bung tidak terluka dengan preseden buruk yang ‘dilemparkan situasi’ tidak menyenangkan ini? Atau Bung, justru merelakan diri jadi bagian benang kusut yang mudah Bung urai? Jarum ada di tangan Bung untuk memandu benang kusut pameran Yos.

Bung,

Sebagai penyair saya merespon kekuasaan yang berlangsung pada periode sebelumnya. Saya membukukan sajak-sajak tentang penguasa saat itu lewat kumpulan puisi berjudul ‘Buku Fiksi Mulyono’.

Tiap-tiap warganegara yang sadar dan punya cara ungkap dalam hal ini lukisan (Yos) dan puisi (Afnan), pastilah tergerak merespon kondisi tanah airnya. Bung sendiri dulu sangat tajam melakukan ‘tusukan-tusukan’ kepada yang sudah dua periode memimpin republik!

Bayangkan, kritik terhadap yang sudah berkuasa saja dibungkam: apa perlunya? Kalau kevulagaran yang dianggap pokok dalam soal pameran ini, saya bertanya: bukankah itu sekadar memedihkan mata yang melihat (dan pasti tidak semua mata penonton pameran jadi sakit karenanya). Kurang vulgar apa kekuasaan yang tuli diteriaki para guru besar se republik, termasuk yang terdepan dari kampung Bung dan kampus saya.

Kurang hormat apa kita dengan figur utama yang dilukis Yos: kita relakan melakukan pembiaran anak-menantunya berkuasa, kita relakan konstitusi kita dirusak. Saya ingat yang lantang ketika suasana republik kacau-balau, hanya Megawati Soekarnoputri yang memperingatkan, “Inkonstitusional.”

Bung Fadli,

Harapan ada pada Bung. Sungguh bijak jika Bung mengjak kurator, pelukis untuk kembali duduk bersama. Saya yakin, Yos bersedia menurunkan satu-dua lukisan yang ‘entah melukai siapa’. Kritik-respon seniman-pelaku budaya di atas panggung-panggung kesenian, di galeri-galeri atau ditulis di buku-buku bukankah itu sangat beradab?

Saya sempat menuliskan puisi atas peristiwa tidak terpuji, Galeri Nasional menggagalkan agendanya sendiri: menggagalkan pameran. Puisi saya beri tajuk ‘Lukisan Diturunkan’.

ia lukis tanah airnya
barisan gunung-gunung
tinggi tidak terdaki, indah dari
kejauhan

ia lukis tanah airnya
meliuk sungai-sungai
jernih tidak teraih, indah dari
kejauhan

ia lukis tanah airnya
jurang-jurang menganga, kian
lebar jerat kaki-kaki panjang
terjengkang

ia lukis tanah airnya
pohon-pohon tumbang, kian
cepat tubuh-tubuh sembab
terjerembab

ia melukis penguasa culas
tak jua bergegas pergi kemana
warna-warna menyala,
jangan tumpas
tanah air
kami

tinggi gunung-gunung, meliuk
sungai-sungai, menganga jurang-
jurang, bertumbangan pohon-pohon
pohon, dilukis
jangan

Jogja, 20/Des-24

Bung Fadli yang baik,

Terimakasih dan salam
AFNAN MALAY
penyair