by Gus Moh Muntholib/ Gus Ahong Mojokerto.
Video Gus Miftah Ketika mengisi di pengajian di Magelang dengan mengatakan goblok terhahadap penjual es teh yang Bernama pak Soni dari Magelang, Ini menurt saya tidak wajar walaupun hanya intermeso karena kata-kata yang dikeluarkan gus Miftah ini seolah tidak memahami posisi dan kondisi dari penjual es teh dan jenderung mengandung kata-kata yang mengabaikan norma dan etika seorang pendakwah.padahal pendakwa itu juga harus memerhatikan norma dan etika berdakwah.Dan Kelakuan Gus Miftah ini sebenarnya sudah di singgung oleh ayah handa KH.Musthofa Bisri yakni KH.Bisri Musthofa dalam salah satu kitabnya Zâduz Zu‘amâ’ wa Dakhîratul Khuthabâ’ (bekal para pemimpin dan pendakwah).
Seiring dengan waktu, aktivitas dakwah ternyata berkembang, hingga dalam batas tertentu, seakan mengabaikan norma dan etika. Kegelisahan ini pula yang menjadikan KH Bisri Musthofa menuliskan sebuah kitab kecil berjudul Zâduz Zu‘amâ’ wa Dakhîratul Khuthabâ’ (bekal para pemimpin dan pendakwah).
Kiai Bisri sebagai tokoh pesantren yang lihai dalam dakwah lisan dan tulisan meringkas etika dai menjadi empat:
1. Lakukan apa yang disampaikan.
Dalam berdakwah yang mempunyai karakter mengajak, dai semestinya “turut serta” dan larut dalam ajakan kebaikan tersebut. Materi dalam dakwah yang berisi kebaikan, dan disampaikan kepada orang lain, semestinya menjadi bahan refleksi diri dan membetot kesadaran agar dai-lah orang pertama yang seharusnya melakukan apa yang disampaikan. Hal ini, menurut Kiai Bisri mampu menimbulkan atsar (bekas) pada diri audiens, sehingga perkataan dai bisa didengar dan diikuti (hal. 12).
KH Bisri mengutip Surat al-Shaff ayat 3 untuk menguatkan etika yang pertama. Allah berfirman:
كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللّٰهِ اَنْ تَقُوْلُوْا مَا لَا تَفْعَلُوْنَ
Artinya: “(Itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang
tidak kamu kerjakan.”
2.Santun dan rendah hati.
Mempunyai perilaku yang bagus (sîrah ḫasanah) dan adab terpuji (adab mardliyyah), seperti tidak sombong dan rendah hati terhadap sesama, adalah etika yang selaras dengan konsep dakwah dan kepemimpinan yang disampaikan Kiai Bisri dalam mukaddimah kitab ini. Berlaku santun (rifq), tidak keras, dan tidak mudah mengumpat dan mencaci adalah sikap yang semestinya ada dalam diri penyampai dakwah. Perilaku yang bagus ini terasa penting agar masyarakat tidak menghina dai disebabkan sikap dan cara tutur yang kurang terpuji (hal. 12).
KH Bisri menyitir Surat Luqman ayat 18:
وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِى الْاَرْضِ مَرَحًاۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍۚ
Artinya: “Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.”
3.Memiliki visi kemaslahatan audiens/pengikut (mashâliḫ mutbi‘în) dengan belas kasih dan penuh kerahmatan (al-ra’fah wa al-raḫmah).
Etika berdakwah ini semestinya memberikan peringatan kepada dakwah akan efek, baik sosial maupun lainnya, atas materi dakwah yang disampaikan. Oleh karena itu, saran Kiai Bisri, penyampaian dan materi dakwah semestinya berisi dan disampaikan dengan penuh belas kasih dan keramahan (hal. 13).
KH Bisri menyampaikan karakteristik Rasulullah yang tertuang dalam Surat al-Taubah ayat 128, Allah berfirman:
لَقَدْ جَاۤءَكُمْ رَسُوْلٌ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ عَزِيْزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيْصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِيْنَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ
Artinya: “Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, yang tidak tahan melihat penderitaanmu, yang sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, serta penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman.”
Karakter Rasulullah yang tertuang dalam ayat tersebut adalah bahwa Rasulullah bersifat empati terhadap umatnya. Selain itu, Rasulullah juga memiliki sikap yang penuh belas kasih dan penyayang dan menginginkan kebaikan pada umatnya. Inilah esensi etika dai yang bervisi kemaslahatan, dan bila dikerjakan dengan baik, efektivitas dakwah lebih mudah diterima, dan perubahan sosial yang berdimensi kebaikan akan mudah direalisasikan.
4.Pemaaf dan toleran.
Dai semestinya memiliki sikap kelapangan hati untuk memafkan (baḫr al-‘afw) dan toleransi (al-samâḫah) serta perangai yang menyenangkan dan menggemberikan (hal.13).
KH Bisri mengingatkan tentang respons Allah tentang sikap kelembutan Nabi Muhammad saat berdakwah, dalam Surat Ali Imran 159, Allah berfirman:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ
Artinya: “Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.”
Dalam ayat tersebut, kumulasi karakter dai yang terpuji terkumpul dalam pribadi Rasulullah dalam berdakwah. Sikap lemah lembut (layn dan rifq), tidak keras dan kasar, berjiwa pemaaf, dan mengajak diskusi/berdialog dalam urusan tertentu, adalah sari pati etika dai yang dikontekstualkan kembali oleh Kiai Bisri Musthofa melalui karyanya, Zâduz Zua‘amâ wa Dakhiratul Khuthabâ’.
Kesimpulannya dakwa dari Gus Miftah sudah keluar dari norma dan etika pendakwah.