BUKAN SEJARAWAN, RUMAIL TIDAK FAHAM SUMBER SEZAMAN

Catatan KH. Imaduddin Utsman Al Bantani.

Dalam meneliti historiografi nasab dan sejarah Ba’alwi, selain penulis menggunakan metode ilmu nasab yang biasa dipakai para ulama nasab, penulis juga menggunakan pendekatan ilmu sejarah. Dalam pendekatan ilmu sejarah, pertama penulis menempuh “metode penelitian sejarah”, kemudian penulis menggunakan “metodologi penelitian sejarah”. “Metode penelitian sejarah” adalah suatu system dari cara-cara yang benar untuk mencapai kebenaran sejarah. Sedangkan metodologi penelitian sejarah adalah ilmu yang menanyakan lebih jauh tentang kebenaran metode tersebut (science of method) (Wasino dan Endah Sri Hartatik, 2018).

metode penelitian sejarah memiliki keunikan tersendiri dibanding penelitian sosial humaniora lainnya. Jarak waktu yang panjang antara peneliti dan objek yang diteliti, mengakibatkan tidak adanya interaksi langsung antara keduanya, sehingga memerlukan penemuan jejak-jejak sejarah untuk mendapatkan “sumber sejarah”.

Untuk membuktikan sahih tidaknya historiografi yang ditulis ulama Ba’alwi mulai dari abad sembilan sampai abad ke- 15 tentang sejarah tokoh-tokoh mereka yang berada di abad keempat sampai abad kesembilan Hijriah, seorang peneliti memiliki prosedur-prosedur dan tahapan –tahapan yang harus dilalui. Prosedur-prosedur dan tahapan- tahapan untuk mengetahui bagaimana ulama Ba’alwi membangun historiografinya, penulis menggunakan “metode penelitian sejarah”. Kemudian untuk menakar apakah ulama Ba’alwi dalam menulis historiografinya itu sesuai dengan prosedur-prosedur “metode penelitian sejarah”, maka penulis menggunakan metodologi penelitian sejarah”.

Sumber-sumber sejarah dapat dibedakan berdasarkan waktu menjadi sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer adalah sumber yang ditemukan pada waktu peristiwa itu terjadi (Dahimatul Afidah, 2021). Dalam hal ini, sumber yang ditulis saat tokoh yang diteliti itu hidup. Sedangkan sumber sekunder adalah sumber yang ditulis beberapa waktu setelah peristiwa itu dan ditulis bukan oleh saksi mata (Dahimatul Afidah, 2021). Dalam hal ini setelah tokoh yang diteliti itu meninggal dunia.

Dalam penelitian sejarah, yang utama adalah sumber primer. Karena dengan sumber primer, maka sejarah baru akan tercipta dan keotentikan informasi juga lebih bisa dipertanggungjawabkan (Dahimatul Afidah, 2021).

Pembela “nasab wayang” Ba’alwi, Rumail Abas, yang mengaku dirinya adalah seorang “historian”, terbukti tidak memahami langkah-langkah ilmu sejarah di atas, baik tentang “metode penelitian sejarah” ataupun tentang “metodologi penelitian sejarah”. Ketidakpahaman Rumail tentang ilmu sejarah itu dapat dibuktikan dengan tulisan di halaman Youtubenya ketika menulis catatan untuk Kiai Ihya dengan judul: “NASKAH SEZAMAN: UNTUK KIAI IHYA”.

Rumail mengatakan:

“Bukan saya yang mengatakan bahwa naskah tua (berbentuk musnad) pernah dirilis oleh orang yang wafat sebelum 490 H. itu, tapi Syaikh Yasin Al-Fadani, Syaikh Muhammad bin Abdurrahman Bahanan, dan Sayid Salim bin Jindan.”

Dari proposisi di atas, menurut Rumail, ketika Syekh Yasin al Fadani yang wafat tahun 1990 M atau tahun 1410 Hijriah itu menulis tentang kejadian di tahun 490 H, maka itu adalah sumber sezaman untuk tahun 490 H; ketika Syekh Yasin al Fadani mengatakan ada kitab musnad yang pernah ditulis di tahun 490 H, maka sudah pasti kitab itu pernah ditulis di tahun tersebut.

Proposisi itu sangat memalukan untuk ia yang mengaku sejarawan. Bagaimana ”seorang pembaca” pasif bisa mengaku sebagai “seorang sejarawan”. Yang dikatakan Syekh Yasin itu bukan “sumber sejarah” untuk Al Hasan Abi Muhammad al Dallal yang ditulis kitab al Majdi (490 H), ia hanya “berita sejarah” yang harus diverifikasi kebenarannya. Untuk memverifikasi benar atau salahnya berita itu, Rumail bisa mencari “jejak-jejak sejarah” tentang Al Dallal melalui kitab-kitab hadits yang semasa dengan Al Dallal tersebut, benar atau tidak dalam berita-berita sezaman atau yang mendekatinya ia pernah menulis sebuah kitab musnad. Seorang peneliti sejarah tidak akan mudah menerima informasi masa lalu tanpa di verifikasi terlebih dahulu. Masa ia orang yang hidup tahun 1410 H dapat mengetahui peristiwa 920 tahun yang lalu tanpa adanya sumber sedikitpun.

Mungkin Rumail akan mengatakan: ada ulama selain Syekh Yasin al Fadani yang mengataka yang sama, bahwa Al Dallal mempunyai kitab musnad. Siapa, Salim bin Jindan? Ia wafat tahun 1389 H, jaraknya masih sangat jauh 899 tahun. Siapa lagi , Muhammad bin Abdurrahman Ba Hannan? Ia wafat tahun 1383 H, jaraknya masih sangat jauh juga 893 tahun. Jarak sejauh itu tidak toleratif dalam mendeteksi peristiwa tahun 490 H.

Tanpa “jejak-jejak sejarah” kita bisa menerima Al Dallal benar mempunyai kitab musnad, tapi ada saratnya. Apa saratnya? Saratnya adalah Rumail harus dapat mengahdirkan manuskrip asli kitab musnad itu! Mana manuskripnya? Tidak ada? Kalau tidak ada bisa dibikin juga, tetapi tolong kertasnya kalau bisa jangan yang bergaris-garis produksi Sinar Mas seperti manuskrip palsu “sanad alwi bin Ubaid” kemaren itu.

Rumail juga mengatakan:

“Dan bukan saya juga yang mengatakan julukan Hasan bin Muhammad dengan Al-‘Allal, tapi Syaikh Yasin Al-Fadani, Syaikh Muhammad bin Abdurrahman Bahanan, Sayid Salim bin Jindan, dan redaksi mereka diperkuat oleh saksi matanya langsung, termasuk murid dari saksi mata tersebut.”

Untuk memberi pemahaman para pembaca penulis terangkan dulu maksus tulisan Rumail di atas. Ada cucu Ahmad bin Isa bernama Hasan Abi Muhammad al Dallal, pakai huruf “dal” (dallal). Ia canggah Ahmad bin Isa dari anaknya yang bernama Muhammad. Lalu Rumail menemukan nama “Abul Qasim Hasan bin Muhammad al-‘alla” dalam kitab Syekh Yasin al Fadani. Kata Rumail mereka berdua orang yang sama. Pembaca yang budiman silahkan bandingkan dua nama itu: pertama Abul Qasim Hasan bin Muhammad al’Allal; yang kedua Al Hasan abi Muhammad al Dallal. Ada miripnya memang, tetapi jelas keduanya berbeda. Yang pertama tidak pakai kuniah Abul Qasim, yang kedua pakai kuniah Abul Qasim; kemudian, yang pertama tertulis “Abi Muhammad” (ayahnya Muhammad); sedangkan yang kedua “bin Muhammad” (anak dari Muhammad). Jelas pengertiannya berbeda. Menurut Rumail kitab Al Majdi yang ditulis abad kelima itu salah nulis. Yang benar adalah Abul Qasim hasan bin Muhammad al ‘Allal bukan Al Hasan Abi Muhammad al Dallal.

Begitu ceritanya. Aneh kan. Kitab yang beru ditulis di abad sekarang ini, mengkoreksi nama yang sudah ditulis di abad lima hanya untuk cocokologi. Katanya yang salah itu kitab abad kelima bukan abad yang sekarang. Padahal nama itu hidup di abad itu, tentu pengarang yang sezaman lebih tahu siapa nama dia sebenarnya daripada ulama yang hidup di abad sekarang.

Apakah Syekh Yasin al fadani salah menulis Al Dallal menjadi Al ‘Allal? Tidak wahai para pembaca yang budiman. Salah menulis itu hanya menurut utak-atik Rumail saja. Yang ditulis oleh Syekh Yasin itu memang namanya Hasan bin Muhammad Al-‘Allal, bukan Al Dallal, nama keduanya mirip, tetapi mereka orang yang berbeda. Cuma Rumail memaksa bahwa keduanya satu orang dengan alibi bahwa kitab al-majdi yang salah tulis.

Lalu apa untungnya Rumail mengutak-atik itu dan memaksa Al “Allal adalah Al Dallal? Jawaban pertanyaan Ini rumit, tetapi penulis berusaha menjelaskan sederhana. Begini: Al-‘Allal disebut oleh Syekh Yasin al-Fadani mempunyai kitab musnad, kan. Jika Al ‘Allal ini dapat diyakinkan sebagai Al Dallal yang hidup di tahun 490 H, maka kitab musnad yang hilang itu nanti bisa dikarang hari ini dengan nama Al-Allal itu. Lalu “sang pembohong” bisa memasukan dalam kitab “musnad palsu” itu nama-nama keluarga Ba’alwi. dari situ nanti akan dikatakan kepada dunia bahwa nasab Ba’alwi sudah ada di kitab abad ke-5. Begitu. Dan hipotesa penulis bukan tanpa alasan, karena hal itu pernah dilakukan walau dengan kronologi yang sedikit berbeda. Yaitu kitab “Abna’ul Imam” yang ditulis oleh Ibnu Tobatoba di abad ke-lima lalu dicetak oleh Yusuf jamalullail di abad sekarang dengan ditambahi nama Ubadillah.
Bukti pula pola itu pernah di lakukan Rumail, ia memperlihatkan sebuah sanad hadits yang menyebut nama Al Hasab bin Muhammad al ‘Allal dan di dalam sanad hadis itu pula ia menyebutkan nama Abdullah “bin” Ahmad bin Isa sebagai salah seorang perawi. Di bawah ini sanad wayang bikinan Rumail atau orang yang mengontrak Rumail:

حدثنا الحسن بن محمد العلال قال حدثنا جدي ابو الحسن علي بن محمد بن احمد بن عيسى العلال العلوى بالبصرة قال حدثنا عمي عبد الله بن احمد الابح بن عيسى العلوي نزيل اليمن قال حدثنا الحسين بن محمد بن عبيد بن العسكري ببغداد قال أنبأنا ابو جعفر محمد بن الحسبن الدقاق قال انبأنا القاسم بن بشر قال انبأنا الوليد بن مسلم قال حدثنا الاوزعي قال حدثني عبد الرحمن بن القاسم وحدثني القاسم بن محمد عن عائشة

Inilah sanad hadits yang katanya manuskripnya ditemukan atau dibeli Rumail. Sanad itu menyebut nama Abdullah “bin Ahmad bin Isa” (ayah Alwi) yang katanya mendapat hadits dari al-Husain bin Muhammad bin Ubaid bin al-Askari.

Jelas sekali rangkaian sanad itu sengaja diciptakan bukan untuk kepentingan periwayatan sebuah hadits, tetapi lebih untuk kepentingan disebutnya nama Abdullah, untuk dijadikan bukti palsu bahwa sosoknya betul-betul ada, bahkan meriwayatkan sebuah hadits. Sayangnya creator sanad itu lupa, bahwa Ilmu Hadits lebih ketat dari ilmu nasab, nama-nama perawi sudah terkodifikasi rapih ditulis dalam kitab-kitab “ruwat” (para perawi). Untuk mengkonfirmasi seorang perawi, apakah ia merupakan sosok historis atau bukan (jangan-jangan ia sekedar nama yang sengaja disematkan tanpa ada sosoknya) bisa dilihat dalam kitab-kitab ruwat (para perawi hadits) yang sudah ditulis sejak abad ke tiga Hijriah.
Dalam sanad hadits Rumail itu, Abdullah “bin Ahmad bin Isa” katanya mendapat hadits dari al-Husain bin Muhammad Ibnu al-Askari. Ibnu al-Askari memang seorang perawi hadits, namanya ditulis dalam kitab-kitab ruwat hadits (kitab yang menyebut nama-nama para perawi hadits). Di dalam sanad itu disebut bahwa Ibnu al-Askari mendapatkan hadits dari Abu Ja’far bin Muhammad bin al-Husain al-Daqqaq. Al-Daqqaq pula terkonfirmasi sebagai perwai hadits.

Tapi apakah benar Ibnu al-askari meriwayatkan hadits kepada Abdullah. Perhatikan wafat Abdullah, ia disebut wafat tahun 383 Hijriah, jika ia benar-benar seorang perawi maka, namanya akan dikenal oleh para ahli ilmu di masanya, tempatnya akan banyak didatangi para pencari hadits dari berbagai penjuru dunia, dengan itu seharusnya namanya telah dicatat oleh kitab yang mencatat para perawi yang semasa dengannya atau yang mendekatinya, semacam Ibnu Syahin yang wafat tahun 385 Hijriah, dua tahun setelah wafatnya Abdullah, atau kitab al-Dzahabi yang wafat tahun 748 Hijriah. Dan tentu namanya pula akan dicatat oleh kitab nasab pada masanya seperti al-Ubaidili (w. 437 H.), tapi, nama Abdullah ini tidak dicatat dimanapun: tidak di kitab nasab, tidak pula di kitab para perawi.

Untuk menguji sanad palsu itu, mari kita teliti seorang nama perawi yang disebut di sana, ia adalah al-Husain bin Muhammad Ibnu al-Askari. Benarkah ia mempunyai murid bernama Abdullah “bin Ahmad bin Isa”?

Mari kita lihat kitab Tarikh Bagdad tentang sosok al-Husan bin Muhammad bin al-Askari.

الْحُسَيْن بن مُحَمَّدِ بْنِ عبيد بن أَحْمَدَ بْنِ مخلد بن أبان أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الدَّقَّاق المعروف بابن العسكري …حَدَّثَنَا عنه أَبُو الْقَاسِمِ الأزهري، وأبو مُحَمَّد الجوهري، والحسن بن مُحَمَّدٍ الْخَلالُ، وأحمد بن مُحَمَّد العتيقي، وأبو الفرج بن برهان، والقاضي أَبُو العلاء الواسطي، وعبد العزيز بن عَلِيّ الأزجي، وعلي بن مُحَمَّدِ بْنِ الْحَسَن المالكي، والقاضي أَبُو عَبْدِ اللَّهِ البيضاوي، وأحمد بْن عُمَرَ بن روح النهرواني، وأبو الْقَاسِم التنوخي. (تاريخ بغداد: جزء 8 ص. 569)

Dalam kitab “Tarikh Bagdad” karya al-Khatib al-Bagdadi itu, disebutkan bahwa murid-murib Ibnul Askari adalah: Abul Qosim al-Azhari, Abu Muhammad al-Jauhari, al-Hasan bin Muhammad al-Khollal, Ahmad bin Muhammad al-Atiqi, Abul faraj bin Burhan, al-Qodi Abul Ala al-Wasiti, Abdul Aziz bin Ali al-Azji, Ali bin Muhammad bin al-hasan al-Maliki, al-Qodi Abu Abdillah al-Baidowi, Ahmad bin Umar al-Nahrawani, dan Abul Qosim al-Tanukhi (lihat kitab Tarikh Bagdad juz delapan halaman 569).

Jelas nama Abdullah “bin Ahmad bin Isa” tidak termasuk murid atau orang yang meriwayatkan hadits dari Ibnul Askari. Sanad itu terbukti palsu. Na’udzubllah.

Kesimpulannya: Rumail terbukti tidak memahami ilmu sejarah dan metodenya. Ia juga terbukti berkolaborasi dengan yang lain dalam membuat sanad palsu. Setelah terbukti demikian maka agaknya Rumail tidak bisa lagi dihitung sebagai orang yang dapat menjadi pembanding ilmiyah tentang nasab Ba’alwi yang sudah terbukti nasab palsu tersebut.