MENGAKU “BUYA”, BELA BA’ALAWI, TAKUT DITANTANG DISKUSI

Penulis : KH. Imaduddin Ustman Al Bantani.

Seorang Kiai yang tinggal di Sumedang yang dikenal sebagai pendukung Anis Baswedan dan murid para Ba’alwi, Kiai Muhyiddin, dalam sebuah video yang beredar nampak berpidato berapi-api sambil sesekali memukulkan tongkatnya ke tiang bangunan sebuah makam. Dalam pidatonya, kiai tersebut menyatakan ia wajib membela Ba’alwi yang nasabnya penulis batalkan. Ia mengatakan:

“Buya wajib melaan, wajib melaan, kumaha cara buya melaanana, kieu kasararea terutama ka turunan Kangjeng Syarif Hidayatullah, lamun urang percaya, keruhun urang teh wali, keruhun urang teh ulama, kapercaya elmuna, kapercaya karomahna, kapercaya riwayatna, anu arenjanana mengakui yen Ba’alwi teh adalah keturunan Kangjeng Nabi Muhammad SAW, maka Buya ngajak kasararea, tong percaya kanu kakarak nengtet….” Ujarnya sambil berapi-api.

Anehnya, dalam usaha mempengaruhi jama’ahnya untuk percaya nasab para gurunya itu, ia tidak menyajikan sedikitpun dalil-dalil tentang sahihnya nasab Ba’alwi. malah ia hanya bertameng dengan para kiai-kiai Nusantara semacam ulama Banten, Syekh Nawawi al Bantani. Padahal sebagaimana kita ketahui, Syekh Nawawi al Bantani tidak sekalipun dalam kitabnya pernah mensahihkan nasab Ba’alwi.

Penulis penasaran dengan sosok kiai Sumedang yang selalu memanggil dirinya “buya” itu. Panggilan “buya”, bagi penulis yang tinggal di Banten, adalah panggilan masyarakat yang disematkan untuk kiai alim dan wara’ semacam Buya Muhtadi. Itupun bukan beliau yang memperkenalkan diri sebagai “buya”, masyarakatlah yang memanggil Buya Muhtadi sebagai “buya”.

Karena penasaran itulah penulis meminta kepada sahabat penulis yang sekaligus sekretaris penulis di RMI Banten, Kang Didin Syahbuddin, untuk menghubungi Kiai Muhyiddin tersebut untuk mengajaknya berdiskusi tentang nasab Ba’alwi yang terputus itu. Penulis ingin mengetahui: apa sih kira-kira dalil yang kiai itu punyai untuk mensahihkan nasab Ba’alwi.

Setelah dihubungi buya dengan tanda kutip itu menjawab melalui voice note dalam bahasa Sunda:

“…teu peryogi buyamah diskusi-diskusi teu peryogi, ari buyamah seratus persen percaya bahwa para habaib Ba Alwi eta duriah Rasul…” (“..tidak perlu buyamah diskusi-diskusi, tidak perlu, kalau buyamah percaya bahwa habaib Ba Alwi itu duriah Rasul…”)

Begitulah sepenggal jawaban kiai Sumedang itu ketika diajak diskusi. Dari situ, para mukibin Ba’alwi jangan terlalu berharap bahwa ketika ada orang mengaku sebagai “buya” membela nasab Ba’alwi, lalu dipercaya bahwa pebelaan itu berdasarkan dalil yang dapat dipertanggungjawabkan. Dari ilmu tasawuf saja kita bisa menakar, orang-orang yang merasa alim, lalu menyebut dirinya dengan gelar-gelar keagamaan yang menunjukan pangkatnya lebih tinggi dari ulama lainnya, nilainya seperti apa. Penulis bukan dalam rangka merendahkan seseorang, tetapi agar masyarakat mengerti dan memahami, bahwa zaman ini, banyak para pendongeng yang mengaku sebagai ulama lalu menggunakan pengakuan itu untuk membodohi masyarakat. Dan perlu kiai itu ketahui, bahwa jama’ah nya dari Sumedang itu merupakan bagian dari saudara-saudara penulis sendiri, maka sudah seyogyanya penulis memiliki kepedulian terhadap pidatonya tersebut.