SALIM BIN JINDAN, RAUDATUL WILDAN DAN WALISONGO DIBA’ALWIKAN

Catatan KH. Imaduddin Utsman Al Bantani.

Gaya penulisan ulama Ba’alwi dapat dicirikan dengan kebiasaan mereka mengagungkan leluhur mereka dengan luar biasa. Kitab-kitab Ba’alwi awal, seperti Al-Burqoh dan Al-Gurar, penuh dengan puja-puji terhadap leluhur kedua penulisnya. Begitupula dengan kitab Ba’alwi belakangan seperti kitab Raudatul Wildan karya Syekh Salim bin Jindan (w. 1969 M.). Syekh Salim bin Jindan adalah seorang Ba’alwi kelahiran Surabaya tahun 1906 M. ia wafat tahun 1969 M dimakamkan di Condet Jakarta.

Kitabnya yang akan kita bedah adalah satu kitab tsabat (riwayat guru) beliau. Kitab ini berjudul Raudlatul Wildan fi Tsabat Ibni Jindan. Kitab ini ditahqiq oleh seorang berkebangsaan Yaman yang bernama Faisal Hamud Ahmad Ismail al-Yamani. Dalam kitab tersebut, Salim bin Jindan menyajikan sejarah leluhurnya yang ia katakana sebagai para ulama besar yang melebihi maqam mujtahid . menurutnya, sebagian leluhur Ba’alwi telah mencapai maqam (pangkat) “al-sidqiyyah” dan “al-qutbiyyah al-kubro”. Kedua maqam itu tidak dimiliki seseorang, kecuali ia telah mencapai derajat mujtahid (h. 147).

Ia juga mengatakan bahwa maqam “al-sidqiyyah” lebih tinggi dari maqam mujtahid. Maqam “al-sidqiyyah” telah mendekati maqam “nubuwwah” (kenabian) dan maqam “risalah”, tetapi maqam kenabian dan kerasulan telah berhenti. Salim bin Jindan ingin mengatakan bahwa jika maqam kenabian masih terbuka maka leluhur Ba’alwi yang telah mencapai derajat “al-sidqiyyah” itu bisa diangkat menjadi seorang nabi (h. 148).

Salim bin Jindan tidak menyatakan dengan tegas, siapa leluhurnya yang telah mencapai maqam seperti itu, sebagaimana untuk proposisi yang sepenting itu, ia tidak menyertakan referensi darimana ia mengetahui maqam-maqam itu. Jikapun pernyataannya tersebut berbasis analisa dari karya-karya leluhurnya, seyogyanya ia dapat menampilkan sebuah karya leluhurnya berupa sebuah kitab tentang fikih yang dengan itu dapat dianalisa bahwa leluhurnya pantas menyandang gelar seorang mujtahid. Ia tidak dapat menunjukannya, karena memang, leluhurnya mulai Ali al Sakran sampai ke Ubaidillah, tidak ada yang mempunyai karya fiqih yang refresentatif dalam dunia Islam; seperti tidak ada ulama yang mencatat mereka sebagai para fuqoha yang memiliki karya.

Dalam halaman 153, Salim bin Jindan menyajikan sebuah proposisi “Dan kami mempunyai para leluhur daripada para ahli hadits…” kemudian ia memberi contoh dua nama untuk pernyataannya itu, yaitu yang bernama Ali Khali Qosam dan Muhammad Sahib Mirbat. Lagi-lagi, ia tidak menyertakan sumber apapun untuk pernyataannya atau suatu contoh kitab hadits yang ditulis keduanya sebagai bukti bahwa keduanya adalah seorang ahli hadits. Bahkan dalam penelitian penulis Ali Kahli Qasam dan Sahib Mirbat ini adalah sosok Ahistoris.

Salim bin bin jindan pula, masih di halaman yang sama, menyebut bahwa leluhurnya, Ali bin jadid mempunyai kitab al-Arbain dan kitab al-Musnad. Padahal sebagaimana telah penulis sampaikan, Ali bin Jadid ini bukanlah keluarga Abdurrahman Assegaf, ia keluarga Abu Alwi yang silsilahnya dicangkok oleh keluarga Abdurrahman Asseqaf, dan kemudian merekalah yang menyandang nama keluarga Ba’alwi, kemudian keluarga Ali bin Jadid dikatakan putus keturunannya di abad ke-enam.

Di halaman 154, Salim bin Jindan menyebutkan bahwa leluhurnya Alwi bin Ubedillah adalah seorang muhaddits. Penulis katakan, bagaimana Salim bin Jindan dapat mengetahui bahwa Alwi bin Ubaidillah adalah seorang muhaddits padahal namanya tidak pernah disebutkan ulama abad 5-9 walau hanya sekali? Tidak ada satu kitabpun yang menyebut namanya, apalagi sebagai seorang ahli hadits. Ia adalah nama yang diciptakan hanya untuk kelengkapan administrasi dari nasab Ba’alwi yang tidak lengkap agar susunan nasab itu menjadi tampak logis. Agar tampak menyejarah, Salim bin Jindan menyebutkan bahwa Alwi bin Ubaidillah ini berguru kepada sosok sejarah yang bernama Abu Talib al-makiy pengarang kitab Qutul Qulub. Pertanyaannya, benarkah Abu Talib al-makiy mempunyai murid bernama Alwi bin Ubaidillah? Dalam kitab Siyar A’lamu Nubala karya Al-Dzahabi (w. 748 H.) disebutkan Abu Talib al-Makiy mempunyai murid bernama Abdul Aziz al-Azjiy (16/537), tidak disebutkan ia mempunyai murid bernama Alwi bin Ubadillah.

Faqih Muqoddam disebut Salim bin Jindan mengaji kitab Sohih Bukhari kepada Ali bin Jadid. Dan belajar hadis musalsal serta meriwayatkan hadits darinya. Ia menyebut pula bahwa Fakih Muqoddam mengambil sanad dari bapaknya dan kakeknya dalam ilbas (kain tarikat). Kedua pernyataan itu ia sampaikan tanpa referensi sedikitpun. Jika Faqih Muqoddam meriwayatkan hadits, haditsnya apa, dalam kitab apa? Salim bin Jindan juga mengatakan, bahwa Faqih Muqoddam mengambil tarekat dari Abu Madyan melalui murid Abu Madyan yang bernama Abdullah Al-magribi, tetapi para ulama tidak ada yang menyebut nama Abdullah Al-magribi sebagai murid dari Abu Madyan. Al-yafi’I (w.768 H.) dalam kitabnya Mir’atul Jinan menyatakan bahwa murid-murid dari Abu Madyan adalah: Abu Muhammad Abdurrahim al-Qonadi, Abu Abdillah Al-Qurasyi, Abu Muhammad Abdillah Al-farisi, Abu Muhammad Salih Al-Dakali, Abu Ganim Salim, Abi Ali Wadih, Abu Sabar al-Maknasi, Abu Muhammad Abdul Wahid, Abu al-rabi’ al-Mudzoffari, dan Abi Zaidin Hubatullah (juz 3, h.355), tidak ada nama Abi Abdillah al-Magribi sebagai murid Abu Madyan. Dengan tidak terbuktinya Abi Abdillah Al-Magribi maka sanad silsilah Faqih Muqoddam kepada Abu Madyan terputus.

Pentahqiq kitab Salim bin Jindan, Faisal al-Yamani, menyebut bahwa yang dimaksud Abi Abdillah al-Magribi ini adalah Muhammad bin Ismail Abi Abdillah. Ini lebih aneh, kerena dalam kitab Tabaqat al-Sufiyah karya Al-Sullami (w. 412 H.), Abu Abdillah al-magribi ini disebut sudah wafat tahun 279 H. (h. 194). Bagaimana seorang yang sudah wafat di tahun 279 H. bisa menjadi murid Abu Madyan di tahun 768 H. ?

Di halaman 233, Salim bin Jinda menyebut bahwa Hadramaut menjadi bercahaya karena kedatangan Ahmad bin Isa. ia menyamakan Tarim Hadramaut yang kedatangan Ahmad bin Isa, dengan Madinah al-Munawwarah yang kedatangan Nabi Muhammad SAW. ia juga mengatakan, Pembangunan Hadramaut terjadi setelah hijrahnya Ahmad bin Isa. Penulis mengatakan, dari mana Salim bin Jindan mengetahui Ahmad bin Isa hijrah ke Hadramaut, sehingga ia menyamakan Hadramaut seperti Madinah yang kedatangan Nabi Muhammad SAW, mana kitab sezamannya? Sebutkan! Jangankan hijrah, Ahmad bin Isa belum pernah berkunjung sekalipun ke Hadramaut. Ramainya hari ini kitab yang menyebut demikian, hanya karena terjebak cipta sejarah kaum Ba’alwi yang tidak bertanggungjawab. Jangan-jangan nanti disebut Indonesia subur dan makmur ini karena barokah kedatangan Ba’alwi: “Sebelumnya Indonesia itu tanah kering yang tidak ada sungai, setelah Ba’alwi datang tahun 1850 M, lalu muncullah sungai-sungai yang membelah dataran Indonesia, dan tumbuhlah pepohonan seperti sekarang ini”; “ Indonesia dulu dijajah ratusan tahun, tetapi setelah datangnya Ba’alwi Indoneisa baru bisa merdeka”. Jangan-jangan nanti akan banyak narasi-narasi dusta demikian jika hari ini kita tidak waspada.

Untuk contoh narasi terakhir, kita sudah mendengar ada cerita bahwa hari proklamasi Indonesia ditentukan oleh seorang Ba’alwi, padahal mereka adalah antek-antek penjajah yang melarang umat Islam memberontak kepada Belanda. Sejarah mencatat itu. Tidak hanya sampai disitu, Salim bin Jindan juga membuat kisah bahwa Ahmad bin Isa telah mampu membuat kaum khawarij bertobat (h. 234). Bagaimana orang yang tidak ada di Hadramaut dapat membuat taubat orang yang ada di Hadramaut.

Salim bin Jindan, di halaman 247 menyebutkan bahwa Al-Adzmat Khan adalah keluarga Ba’alwi yang menyebarkan Islam di Nusantara. Di kitab ini ia memang hanya menyebutkan keluarga Palembang, para sultan di Mindanau dan di Manila yang merupakan keluarga Adzmatkhan. Tetapi di kitab lainnya, Salim bin Jindan menyebutkannya. Dan tahun 1984, Hamisy kitab Syamsudzzahirah, menyebut semua Walisongo adalah Adzmatkhan.

Semua berita bahwa Walisongo adalah Ba’alwi tidak berdasar data apapun, karena walisongo, berdasar dokumen-dokumen tua adalah keturunan para sayyid dari jalur Al-Musawi dan Al-jailani. Tidak ada data apapun yang menjadi referensi Ba’alwi ketika mengklaim Walisongo sebagai bagian dari mereka selain sabotase kemulyaan masalalu, sebagaimana mereka lakukan kepada keluarga Ali bin Jadid dan Salim bin Basri. Lalu, ketika walisongo diklaim sebagai bagian keluarga mereka dengan tanpa data atau dengan data palsu, kemudian anak keturunannya dianggap musnah dan yang mengaku adalah palsu, hal demikian sebagaimana Ali bin Jadid dan Salim Basri ini diakui sebagai keluarga mereka, lalu keturunan mereka berdua dianggap inqirad ( musnah, tidak berketurunan lagi) di abad enam.

Jika kita membaca kitab Ibnu Batutah (w.779 H.) yang berjudul Rihlah Ibnu Batutah: Tuhfatunnudzar fi Garaibil Amsar wa ‘Aja’ibil Asfar, yang mengunjungi Nusantara di abad 14 Masehi, maka masuknya Islam di Nusantara itu satu abad sebelum masa Ba’alwi ini mengklaim diri sebagai Ba’alwi. Maksudnya, sebelum keluarga Abdurrahman Assegaf ini mengklaim bahwa silsilah mereka sama dengan silsilah Ali Bin Jadid dari keluarga Abi Alwi yang terdapat dalam Al-Suluk karya Al-Janadi, dan sebelum mereka mengklaim sebagai keturunan Nabi, maka Ibnu Batutah sudah mendapati orang Nusantara ini memeluk Islam.

Ibnu Batutah mengkisahkan, bahwa ketika ia memasuki Jawa (maksudnya Nusantara) di abad ke-delapan Hijriah, ia mendapati penduduk Nusantara sudah memeluk Islam; ia bertemu dengan Sultan Malik al-Dzahir (Sultan Samudra Pasai Aceh). Ibnu Batutah juga menyebutkan bahwa Sultan dan rakyatnya menganut Madzhab Syafi’I; para fuqoha berkumpul bersama Sultan bermudzkarah ilmu (h. 630). Dari situ kita mengetahui bahwa klaim Ba’alwi menyebarkan Islam di Nusantara itu adalah klaim mengada-ada. Nusantara di abad ke-8 sudah memeluk Islam, ketika keluarga Ba’alwi masih gelap dalam sejarah tidak ada yang menyebutkan sama sekali.

Ditambah, klaim mereka bahwa para sultan Palembang, Mindanau, Manila, dan walisongo sebagai bagian Ba’alwi adalah palsu, tidak berdasar sejarah apapun. Siapa yang dapat menunjukan kepada penulis satu data primer yang menyebut bahwa Abdul Malik Ba’alwi mempunyai anak bernama Abdullah lalu cucu bernama Jalaludin, lalu cicit bernama Jamaluddin, lalu canggah bernama Ali Nurul Alam, lalu wareng bernama Abdullah Umdatuddin, lalu krepek bernama Sunan Gunung Jati? Tidak ada.

Walisongo disambungkan kepada Ba’alwi itu baru diciptakan abad 20 Masehi, ditulis Salim bin Jindan dalam kitab Al-Khulasah al-Kafiyah (juz 1 h. 35) dan dalam kitab Tsamaratul Aqlam, Sebelumnya tidak ada, lalu dicetak dalam hamsiy kitab Syamsudzahirah tahun 1984 M. ada sebuah mansukrip Cirebon yang berangka tahun abad 17 M bernama Negarakertabumi yang menyebut silsilah Waliongo sebagai Ba’alwi, tetapi kemudian terbukti oleh pakar filolog bahwa manuskrip itu adalah palsu, dan baru ditulis 1960-an (masa yang sama dengan Salim Jindan).

Bukti juga bahwa catatan silsilah Salim Jindan mengenai Walisongo tidak dapat dijadikan rujukan adalah dtemukannya manuskrip-manuskrip nusantara yang lebih tua yang menyebutkan para walisongo itu adalah keturunan Nabi dari jalur Musa al-kadzim dan Al-jailani. Seperti manuskrip Bangkalan tahun 1624 M, manuskrip Tapal Kuda tahun 1650 M, manuskrip Pamekasan tahun 1700 M. sedangkan silsilah Walisongo menjadi jalur Ba’alwi ini memang baru ditulis oleh Salim bin Jindan antara tahun 1930- 1969 M.
Demikian sedikit pembahasan tentang kitab Raudatul Wildan karya Salim bin Jindan. Semoga bermanfaat.

Penulis: Imaduddin Utsman Al-Bantani