Peserta Didik SMP PGRI 1 Buduran Belajar Kitab Kakawin Sutasoma di Museum Mpu Tantular

 

SIDOARJO – Kegiatan P5 (Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila)  SMP PGRI 1 Buduran mengajak peserta didik berkunjung di Museum Negeri Mpu Tantular, Kamis (18/1/2024). Implementasi Kurikulum Merdeka tersebut mengambil tema “Bhinneka Tunggal Ika”. Belajar tentang isi Kakawin Sutasoma, karya Mpu Tantular, yang memuat semboyan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) tersebut.

Pagi itu, dengan berjalan kaki, para peserta didik kelas VIII SMP PGRI 1 Buduran, dengan dikawal oleh 6 orang guru pendamping sampai di Museum Negeri Mpu Tantular sekitar pukul 09.45 WIB. Setelah membeli tiket masuk, mereka disambut oleh 5 orang petugas museum, dan diterima di aula museum.

Setelah duduk, para peserta didik mendapat presentasi sejarah Mpu Tantular, isi Kakawin Sutasoma, dan kisah Raden Sutasoma dari narasumber, M. Saiful Arif, pamong budaya Museum Negeri Mpu Tantular, yang didampingi oleh Suyatno, pemandu museum.

  1. Saiful Arif menyebutkan, Mpu Tantular adalah pujangga yang hidup pada Zaman pemerintahan Negara Majapahit dipimpin oleh Prabu Hayamwuruk. Pada masa tersebut, di wilayah Negara Majapahit terdapat dua agama, yaitu agama Syiwa (Hindhu) dan agama Buddha. Hal inilah yang menjadi ide Mpu Tantular untuk menuliskan “Bhinneka Tunggal Ika” dalam Kakawin Sutasoma. Yang intinya terdapat pesan moral: toleransi beragama.

“Kitab Kakawin Sutasoma terbuat dari lontar atau rontal (daun pohon siwalan). Ditulis dengan pena penggores, dan diolesi dengan jelaga. Di Museum Negeri Mpu Tantular ada dua koleksi Kakawin Sutasoma. Pertama berupa naskah tertulis, dan yang kedua berwujud gambar ilustrasi dengan keterangan cerita,”katanya.

  1. Saiful Arif pun bercerita tentang kisah Raden Sutasoma. Menurutnya, Raden Sutasoma adalah seorang pangeran sekaligus putra mahkota Negara Astinapura, anak dari Prabu Mahaketu. Meski ditimang-timang untuk menjadi raja menggantikan ayahnya, dia menolak. Malah pergi seorang diri secara diam-diam pada suatu malam hari. Memilih menjadi seorang pertapa di dalam hutan belantara.

Dalam perjalanan spiritualnya, Raden Sutasoma bertemu dengan dua raksasa yang suka memangsa manusia. Raden Sutasoma akan dimangsanya. Namun, dua raksasa tersebut bisa dikalahkan oleh Raden Sutasoma. Akhirnya, kedua raksasa tersebut menjadi murid Raden Sutasoma.

Raden Sutasoma pun melanjutkan perjalanan. Bertemu dengan Gajah Waktra, yang menantang mencoba menjajal kesaktian Raden Sutasoma. Gajah Waktra kalah, dan menjadi murid Raden Sutasoma.

Perjalanan berikutnya, Raden Sutasoma bertemu dengan harimau kelaparan yang akan memangsa anaknya. Raden Sutasoma menawarkan untuk menjadi mangsanya. Harimau tersebut setuju, dan memangsa tubuh Raden Sutasoma. Raden Sutasoma pun mati, karena dimangsa harimau tersebut.

Ternyata, kematian Raden Sutasoma yang dimangsa oleh harimau tersebut disaksikan oleh Dewa Indra. Karena ketulusan pengorbanannya, maka Raden Sutasoma dihidupkan kembali. Namun, Raden Sutasoma bertanya, mengapa harus dihidupkan kembali? Dijawab oleh Dewa Indra, bahwa masih belum selesai tugas yang harus diemban oleh Raden Sutasoma di dunia. Selanjutnya, Raden Sutasoma semakin bertambah spiritualitasnya, menikah, dan akhirnya dinobatkan menjadi Raja Negara Astinapura.

Dalam Kitab Kakawin Sutasoma terdapat kutipan frase “Bhinneka Tunggal Ika” pada pupuh 139 bait 5 yang petikannya: “Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wisma, Bhinneki ng Jiwatwa kalawan Siwatatwa tunggal, Bhinneka Tunggal Ika tan hana dharma mangrwa”. Artinya:  Konon Buddha dan Syiwa merupakan dua dzat yang berbeda, Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali? Sebab, kebenaran jina (Buddha) dan Syiwa adalah tunggal.

Setelah berdialog interaktif, para peserta didik dipandu untuk melihat benda-benda koleksi Museum Negeri Mpu Tantular. Mulai yang ada di halaman, di ruang lantai satu, dan ruang lantai dua. Semuanya sebagai media pembelajaran keanekaragaman Nusantara.

(Koesmoko, Humas SMP PGRI  Buduran)