Panggilan Sang Ratu

Oleh : Heru Sang Amurwabumi

Lepas pukul empat sore, kami masih berada di halaman kantor suikerfabriken. Sudah lebih dua jam. Membosankan. Untuk mengusirnya, sesekali kami menumbukkan pandangan ke perkebunan yang luas. Ke mana memandang, yang terlihat hamparan tanaman tebu. Lengkap dengan parit, buruh perkebunan, serta setumpuk daun tebu kering yang tampak di kejauhan.

Sayup-sayup, bunyi yang nyaring dan tajam selalu terdengar setiap kali sisi mengkilap sabit pribumi-pribumi buruh perkebunan membabat dedaunan tebu yang sudah kering. Pada setiap ayunan sabit itu, tampak hentakan kencang otot-otot pergelangan tangan sampai ke bahu mereka.

Kuketuk-ketukkan sepatu hitam mengkilap ke lantai mobil diiringi helaan napas panjang untuk mengusir rasa kesal akibat bosan.

“Sebaiknya kau keluar dulu. Kita tak tahu berapa menit lagi harus menunggunya.”

Aku memandang sekilas ke arah Jansen. Ia tersenyum tipis. Tubuhnya yang berada di balik kemudian menghadapku sesaat sebelum memutarnya kembali.

Jansen sudah hampir tiga tahun menjadi sopir di keluarga kami. Aku masih ingat betul. Saat itu malam perayaan Natal di salah satu teman ayahku. Dari balik jendela, kuamati dengan seksama seorang lelaki bertubuh ringkih yang sedang berdiri dekat pohon trambesi di pinggir jalan. Ayah ternyata memerhatikanku kemudian bertanya. Aku memberitahunya kalau ada seorang lelaki sedang berdiri kepayahan di luar rumah. Bisa ditebak, ayah lalu menghampiri Jansen kemudian memberinya makanan. Kata teman ayah, Jansen seorang pengemis yang kerap meminta belas kasih kepada beberapa pemilik rumah di kompleks.

Joseph Snell-Meyer, ayahku memang terkenal sebagai seorang pemurah. Tanpa banyak pertimbangan, ia menawari Jansen bekerja di rumah kami. Tak kusangka, lelaki itu bekas serdadu KNIL dan bisa mengendarai mobil. Jansen mengaku pernah bekerja sebagai sopir sebelumnya. Hanya saja karena sebuah kecelakaan, tuannya terdahulu memberhentikannya karena ia tak dapat berjalan sempurna. Sungguh alasan yang tidak manusiawi menurutku.

“Apa kau merasa bosan juga?” tanyaku. Jansen mengangguk kecil tanpa menoleh.

Kembali, aku mengambil napas panjang. Aku merutuki tanggal 31 Agustus. Jika bukan karena perintah Tinke tak sudi rasanya aku ikut ke rumah keluarga Speelman. Ya, setiap tanggal 31, Tinke mempunyai ritual yang tak boleh dilewatkan, merayakan Hari Ratu. Sesuatu yang hampir tidak pernah aku rayakan. Ayah tak pernah menganggap 31 Agustus sebagai sesuatu yang penting dan patut dirayakan. Ayah hanya memasang bendera tiga warna di halaman rumah. Itu saja yang kami lakukan demi menunjukkan bahwa kami masih menjadi bagian dari mereka; kaum kulit putih dari Belanda.

“Ayahmu terlalu sibuk dengan teman-temannya, Nak. Jadi mulai sekarang kau harus merayakannya bersamaku. Belajar untuk menjadi bagian dari kaum kita.” Begitulah jawaban Tinke saat aku bertanya kepadanya mengapa kami harus merayakan ulang tahun sang ratu.

Aku menunduk. Kemeja putih yang Tinke beli untukku serta selempang oranye adalah dua benda yang wajib kukenakan. Tak lupa dasi kupu-kupu menjadi pelengkapnya. Aku menggeleng. Terakhir kali kukenakan pakaian ini saat perayaan Hari Ratu di keluarga den Hoorg setahun lalu. Kini, aku harus memakainya kembali. Tinke, seorang perempuan Belanda totok serupa dengan ayahku. Ayah menikahinya tiga tahun lalu. Satu tahun setelah kematian ibuku.

“Keluarlah.”

Suara berat Jansen membangkitkanku dari lamunan. Aku sedikit terperangah. Kami saling melempar pandang. Jansen sama denganku, seorang Indo. Kulit kami tidak terang. Aku dan Jansen lahir dari perempuan pribumi. Nasiblah yang membedakan kami. Aku lebih beruntung.

“Apa kau masih suka bermain dengan teman-temanmu dari kampung?” Jansen melontarkan pertanyaan kepadaku.

Aku ragu untuk menjawab. Khawatir jika ia tidak bisa memegang rahasia dan membocorkannya kepada Tinke. Aku membisu. Tinke melarangku berteman dengan anak-anak pribumi. Katanya, aku tak layak berhubungan dengan mereka. Sementara teman kulit putihku sendiri tak banyak.

Terdengar derai tawa Jansen. Ia menggeleng beberapa kali.

“Kau memang benar-benar mewarisi darah Tuan Snell-Meyer,” katanya. Bibir Jansen tersenyum lebar.

“Mengapa ayah lebih suka bertemu dengan teman-teman pribuminya?” Kuajukan sebuah pertanyaan yang dari dulu enggan kuungkapkan. Namun, Jansen malah menatapku cukup lama sebelum ia keluar dari kendaraan roda empat yang akan aku naiki bersama Tinke.

Kuperhatikan gerak-gerik Jansen dari balik kaca mobil. Lelaki itu mengeluarkan rokok kretek dari saku celana. Tak berselang lama asap mulai muncul dari bibirnya.
“Bisa jadi karena ayahmu lebih nyaman bersama mereka. Seperti dirimu, Nak,” ucap Jansen setelah aku mengikutinya, keluar dari mobil dan berdiri di sisinya.

“Aku tak menyukai mereka. Mereka selalu memperlakukanku dengan tidak baik. Aku …. ” Aku terdiam tak sanggup meneruskannya. “Setiap perayaan Hari Ratu di rumah keluarga sahabat Tinke juga. Maksudku memang tak semuanya begitu, seperti Beatrice den Hoorg. Cuma masalahnya, tak mungkin kuhabiskan sepanjang waktu bersamanya apalagi bermain boneka,” lanjutku.

Jansen terkekeh. Ia lekas membuang rokok yang tersisa separuh. “Posisi kita memang sulit, Nak. Tapi, setidaknya kau lebih beruntung dariku. Orang-orang masih bisa menerima kehadiranmu,” ucapnya sambil menengadah.

“Karena pekerjaan ayah, bukan? Jika ayah hanya pekerja rendahan, bisa jadi mereka juga akan mengucilkan ayah karena menikahi ibuku.” Aku mengatakannya dengan nada lirih. Kepingan-kepingan tentang ibu seketika berkelabatan memenuhi pikiranku.

Jansen menggeleng beberapa kali sesudah mendengar ucapanku.

“Kau tahu, dua tahun lalu ketika perayaan di kediaman keluarga Cornelius, para sopir bahkan enggan menerimaku. Ketika aku mendekat, mereka tidak meneruskan pembicaraan dan kembali ke mobil masing-masing. Makanya ketika di rumah keluarga den Hoorg tahun lalu, kuputuskan untuk berdiam di mobil saja,” kata Jansen kembali sembari mengangkat kedua tangannya.

“Mengapa begitu? Bukankah para sopir itu orang-orang pribumi? Seharusnya mereka bisa menerimamu juga.”

“Nee, mereka sama dengan orang-orang kulit putih, tak mau menerima orang campuran sepertiku,” jawab Jansen dengan nada tegas.

“Dan nanti saat di keluarga Speelman apa kau akan menyendiri lagi?” tanyaku keheranan.

“Tentu saja tidak. Aku sudah minta izin untuk pergi ke alun-alun, akan ada perayaan juga di sana. Rumah keluarga Speelman dekat dengan alun-alun. Kalau tidak ke situ, mungkin aku akan pergi ke kampung, menikmati Hari Ratu dengan menonton panjat pinang dan sejumlah pertunjukkan lainnya. Bagi mereka perayaan Hari Ratu adalah hiburan menyenangkan.”

Panjat pinang? Bibirku merekah. Teringat beberapa tahun lalu ketika ayah selaku administratur perkebunan mengadakan lomba panjat pinang untuk memberi hiburan kepada para kuli.

“Kurasa Nyonya Snell-Meyer baru bermurah hati memberi izin kepadaku saat Natal dan Hari Ratu saja. Lihatlah, ia tak pernah setengah-tengah merayakan hari kelahiran Ratu Wilhelmina. Lang leve de koningin.” Telunjuk Jansen terarah ke gapura rumah dengan hiasan tulisan yang disebutnya tadi.

Aku menoleh ke belakang. Terdengar Tinke memanggil Jansen dengan nyaring. Lelaki itu lalu tergopoh-gopoh menuju ke teras dengan hati-hati. Sebuah kotak besar ada di samping Tinke. Sementara Mbok Pinah dan suaminya, babu dan jongos kami, turut menyertai Tinke dengan membawa beberapa kotak yang lebih kecil.

“Hans, apa kau akan berdiam terus di situ tanpa membantu kami?” Tinke melambaikan tangannya ke arahku. Ia terlihat merapikan rambut bagian yang tidak tertutupi cloche.

Aku berjalan dengan gontai menuju ke serambi rumah. “Banyak sekali kotak yang kau bawa?” protesku begitu menghampiri Tinke.

“Jangan begitu, ini hari istimewa. Kotak-kotak ini untuk anak-anak. Akan ada banyak anak yang datang termasuk Beatrice dan Fritz. Kudengar Tuan Speelman akan mengadakan permainan untuk mereka dan kau harus ikut.” Seluas senyum muncul dari bibir Tinke yang dihiasi gincu merah.

Seketika, bayangan suasana perayaan di keluarga den Hoorg berebutan memenuhi benakku. Tahun lalu, aku jatuh terjerembab saat bermain dengan anak-anak dari keluarga den Hoorg dan van Fries. Bukan, aku jatuh bukan karena keteledoranku tetapi kakiku dijegal Fritz, kakak laki-laki Beatrice. Hampir saja air mataku tumpah di hadapan Tinke jika saja perempuan itu tidak mengizinkanku keluar sebentar untuk menenangkan hati.

“Hans.”

Kuarahkan pandanganku ke Tinke yang telah berada dekat mobil. Sementara Jansen juga memberikan isyarat agar aku lekas menghampiri mereka.

Aku masih mematung di tempat dengan pikiran tak karuan. Dua hari lalu masih jelas terekam dalam pikiranku bagaimana ayah dan Tinke sempat berdebat kecil di ruang kerja. Tinke memaksa ayah supaya ikut ke perayaan Hari Ratu di rumah keluarga Speelman.

“Aku lelah, tiap kali aku menghadiri perayaan, orang-orang selalu bertanya mengapa kau tidak turut serta? Sebegitu burukkah Hari Ratu bagimu, Joseph?” Itulah yang diucapkan Tinke kala itu.

Dari balik pintu yang tidak tertutup rapat, kudekatkan telinga ke daun pintu bermaksud menguping pembicaraan ayah dan Tinke.

“Kita seharusnya malu dengan perayaan ini, Tinke. Apa kau tak sadar, kita , orang kulit putih menindas orang-orang Hindia Belanda di negeri mereka sendiri lalu dengan seenaknya kita merayakan kelahiran sang ratu di tanah mereka dengan mereka. Kita juga mewajibkan mereka menghias kampung-kampung mereka untuk perayaan ini. Sebenarnya apa keuntungan mereka merayakan Hari Ratu?”

Aku tak tahu bagaimana reaksi Tinke begitu mendengar kata-kata ayah. Hanya saja saat itu telingaku mendengar derap sepatu yang makin dekat menuju pintu. Aku pun bergegas bersembunyi. Tak berselang lama kemudian terdengar suara pintu keras seperti dibanting.

Mengingat kejadian dua hari lalu, membuatku makin yakin tentang pandangan ayah terkait perayaan Hari Ratu. Ya, seharusnya aku tak kaget. Seingatku ayah tak pernah menghadiri perayaan itu di rumah sahabatnya maupun di societeit.

Telingaku masih menangkap jelas suara Tinke yang terus memanggilku. Sepasang mataku menangkap Tinke yang sedang melangkah menuju tempat aku berdiri. Melihatnya, bergegas kulepas selempang yang menghiasi baju lalu kubuang ke tanah. Begitu juga sepatu, aku juga melepasnya.

Teriakan Tinke dan Jansen terdengar bersamaan. Namun, tak kuhiraukan. Aku terus berlari menuju gapura. Keluar menuju kampung Paino dan Jaka, dua teman pribumiku yang berada dekat alun-alun. Bayangan merayakan Hari Ratu dengan mengikuti panjat pinang dan kemeriahan di alun-alun tentu lebih menarik hatiku ketimbang perayaan di rumah keluarga Speelman.

“Tanggal 31 Agustus adalah panggilan sang ratu untuk kita. Panjang umur untuk Ratu Wilhelmina.”

Aku tersenyum hambar mengingat ucapan Tinke beberapa saat lalu. Sekembalinya nanti, aku pun tak tahu hukuman apa yang akan diberikan Tinke. Setidaknya, saat ini aku hanya ingin menikmati perayaan Hari Ratu sesuai keinginanku. (*)

Dewi Sartika, berdomisili di Malang. Menulis cerpen-cerpen sejarah era pemerintahan kolonial. Tulisan-tulisannya kerap menjuarai lomba menulis.

Illustrator: Kevin Sang Mahadewa
Editor: Heru Sang Amurwabumi

Catatan:
Lang leve de koningin (bahasa Belanda): semoga ratu panjang umur
Hari Ratu: Perayaan hari kelahiran Ratu Belanda