Jenang Sengkolo Gerhana Bulan

 

Oleh : Tara Kencana
(DPW Matra Ek Malang).

“Berbicara mengenai jenang sengkolo, istilah sengkolo itu sendiri berasal dari kata murwokolo yang artinya menghilangkan balak (kesialan). Jadi Murwokolo merupakan kata yang memiliki arti menguasai kala atau Batara Kala. Batara Kala diyakini merupakan sebuah simbol dari malapetaka yang akan menimpa sukerta dalam dunia nyata.
Dalam hajat masyarakat Jawa, jenang sengkolo memang secara khusus dihadirkan dengan tujuan untuk menolak balak alias membuang kesialan. Lebih lanjut lagi, jenang sengkolo juga menyimpan filosofi yang begitu mendalam. Bentuk jenang sengkolo yang berupa bubur melambangkan asal mula manusia, yakni berasal dari sperma dan indung telur. Jenang abang sebagai gambaran sosok ibu (sel darah merah) sedangkan jenang putih sebagai gambaran sosok ayah (sel darah putih/sperma).
Ini menunjukkan bahwa jenang sengkolo menjadi simbol kehidupan manusia yang tidak terlepas dari peran kedua orang tua. Selanjutnya, jenang sepuh yang merupakan bagian dari jenang sengkolo ditujukan untuk “ngaweruhi Gusti” yakni sebagai wujud syukur pada Tuhan atas kekayaan alam yang telah disediakan-Nya untuk memenuhi kebutuhan manusia. Jenang sepuh juga bermakna sebagai bentuk permohonan maaf manusia kepada alam, atas segala tindakan manusia yang bersifat merusak.

Di era modern ini, banyak dari kita yang menganggap jenang sengkolo sudah kuno dan tidak lagi penting. Namun bagi masyarakat Jawa, tradisi membuat jenang sengkolo dan membagikan jenang abang dan jenang putih setiap hari lahir atau wetonan merupakan keharusan. Sisi baiknya, jenang sengkolo ini dapat dijadikan sebagai sarana berbagi dan mempererat silaturahmi antar tetangga dan saudara. Jadi tidak ada ruginya kita mempertahankan keberadaan jenang sengkolo sebagai salah satu cara nguri-uri kabudayan, karena tradisi tersebut membawa kebaikan dan memberi nilai lebih bagi kehidupan kita.

Sore tadi bertepatan dengan gerhana bulan saya membuat Jenang sengkolo untuk saya letakkan di 3 tempat berbeda, satu saya letakkan di ruang depan, ruang tengah dan ruang khusus berdoa (sanggar pamujan).
Dalam kepercayaan Jawa, ada banyak mitos tentang Gerhana bulan total. Hal tersebut tidak lepas dari penemuan batu prasasti tertua dari abad ke 9, atau tanggal 11 Maret tahun 843 Masehi.
Dalam prasasti tersebut menyebutkan peristiwa Gerhana bulan memiliki arti penting bagi masyarakat Jawa.
Prasasti tersebut menggambarkan peristiwa Candra grahana atau Gerhana bulan utama sebagai kejadian penting bagi masyarakat Jawa.

Mitos tentang Gerhana bulan juga tertulis dalam candi belahan atau sumber tetek. Pada rilis itu digambarkan bahwa Candra sinarahu atau raksasa yang sedang menelan bulan, raksasa tersebut bernama Batara kala dengan wataknya yang jahat.
Lalu muncul beberapa tradisi memukul bebunyian atau tetabuhan sebagai gambaran masyarakat yang berusaha mempertahankan matahari dan bulan agar tak ditelan Kala Rahu.
Masyarakat mengejar Kala Rahu dengan memainkan alat musik bertalu-talu, menggunakan tampah, wajan, solet dan lesung agar Kala Rahu melepas atau memuntahkan matahari atau bulan (kali ini saya mencoba membunyikan singing bowl).
Tradisi ini berlangsung secara turun temurun dan biasa disebut Bendrong (kothekan) sebagai reaksi atas lenyapnya matahari atau bulan…”

Rahayu… Ungkapnya Jeng Tara selaku Pengurus Matra Malang

Aminoto