Benteng Martabat Diri dan Nusantara Thema Sarasehan ForSabda

 

Tulungagung-menaramadinah.com-Sarasehan ForSabda (Forum Sarasehan Seni & Budaya) yang digelar di Lotus Garden Sabtu (28/5) malam kali ini mengangkat tema “Benteng Martabat Diri Dan Nusantara”.

Narsum Ifada bersebelahan dengan Taufan Hendro Baskoro.

Tema tersebut diangkat karena akhir-akhir ini banyak kerapuhan dalam diri manusia dan negara (Nusantara). Itulah sebabnya diperlukan benteng pertahanan diri dan nusantara. Wawan Susetya dari Menara Madinah melaporkan.

Laksamana Muda (purn) Harry Yuwono.

Ada beberapa tokoh yang menjadi pematik atau nara sumber dalam sarasehan bersama Sasana Budaya Ngesthi Laras pimpinan Ki Handaka. Sarasehan dihadiri sekitar 100-an orang.

Ki Bambang Kardjono ketika menyampaikan pandangannya.

Mengawali sarasehan, Ki Lamidi (Sesepuh Veteran Tulungagung) mengingatkan pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan anak bangsa. Oleh karena itu ia berharap agar para genrus (generasi penerus) dapat bersinergi dan adaptif dalam dalam menghadapi kehidupan, sehingga menjadi utuh dan manunggal.
“Ingat kuasai situasi dan kondisi, jangan dikuasai oleh situasi dan kondisi!” tandas Ki Lamidi.

Sementara itu Laksamana Muda (purn) Harry Yuwono selaku tuan rumah mengucapkan rasa terima kasih atas kedatangan hadirin. Dalam kesempatan itu, ia mengingatkan mengenai pentingnya Wawasan Nusantara, yakni cara pandang mengenai terhadap rakyat, bangsa dan wilayah kesatuan Republik Indonesia, baik darat laut dan udara. Dalam hal ini diperlukan benteng pertahanan bagi NKRI yang meliputi Ipoleksosbudhankam (ideologi, politik, ekonomi, budaya, pertahanan dan keamanan).

Pemantik selanjutnya Ki BK (Bambang Kardjono), mantan Kepala Dinas Pendidikan Tulungagung. Ia menjelaskan bahwa prasasti Mula Manurung tahun 1255 di Gunung Wilis Sendang Tulungagung mengenai “Cakrawala Mandala” merupakan cikal bakal terwujudnya Nusantara I di bawah kepemimpinan Prabu Kertanegara atas perintah ayahandanya Prabu Wisnu Wardhana, Raja Singasari. Hal itu merupakan perwujudan penyatuan antara Singasari dan Kediri. Pasca keruntuhan Singasari, Nusantara II dimunculkan kembali dengan ditandainya berdirinya Kerajaan Majapahit tahun 1293 oleh Raden Wijaya (menantu Prabu Kertanegara).

“Dari Nusantara I ke Nusantara II hanya membutuhkan waktu 2 tahun, tapi menuju terwujudnya kembali Nusantara III membutuhkan waktu sekitar 467 tahun Yakni dari masa keruntuhan Majapahit tahun 1478 sampai berdirinya NKRI tahun 1945 yang diproklamasikan oleh Bung Karno,” jelas Ki Bambang Kardjono yang juga menjadi ketua perumus penulisan buku “babon” Sejarah Daerah Tulungagung (Sedagung).

Maka, berdasarkan kesepakatan banyak pihak bahwa bentuk NKRI dengan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sudah final. Pancasila yang digali oleh Bung Karno yang dicetuskan tanggal 1 Juni 1945 merupakan ideologi bangsa Indonesia yang hendaknya menjadi pandangan hidup bangsa Indonesia.

Dari perspektif Nusantara kemudian ke perspektif diri dengan pemantik Ifada Nur Rohmaniah, dosen UIN Satu Tulungagung dan sekretaris KPA (Komisi Penanggulangan Aids). Tentu saja ia berbicara mengenai benteng pertahanan diri melalui konsep diri, terutama bagaimana mencegah penularan virus Hiv/Aids yang sangat memprihatinkan.

“Tentu kita sangat prihatin dengan semakin bertambahnya penderita Hiv/Aids, sedang di Tulungagung saja penderitanya sekitar 3000 orang lebih,” kata Ifada seraya menambahkan bahwa Tulungagung termasuk lima besar di Jatim.

Pemantik berikutnya Taufan Hendro Baskoro, dosen UB (Universitas Brawijaya) sekaligus mahasiswa S3 jurusan Sastra Comparatif di Binghamtom New York, Amerika Serikat. Ia banyak bicara berbagai perspektif, dari perspektif diri, sains, filosofi Barat, kearifan lokal seperti pranata mangsa, pawukon dan sebagainya.

Taufan juga membahas mengenai kearifan Barat dan Timur, termasuk India, China, dan Jawa. Juga membahas tentang kesenian, sastra, hingga kesehatan dari berbagai perspektif.

“Kalau di India, orang memainkan seni wayang itu untuk memanggil arwah leluhurnya,” katanya seraya menambahkan bahwa ia pun meyakini kepiawaian para lelhur Jawa.

Ki Wawan Susetya, pemantik terakhir menyampaikan hal-hal mendasar yang bersifat lokal dalam budaya Jawa. Misalnya urutan penyebutan “sandang pangan papan” itu jangan sampai dibalik atau diubah urutannya. Mengapa yang disebutkan pertama sandang, sebab sandang atau pakaian itu mencerminkan martabat diri manusia.

“Kalau kita disuruh memilih antara makanan dan pakaian, tentu kita akan lebih memilih pakaian. Kita lebih baik menutup aurat dengan berpakaian meskipun menunda makan. Jangan sampai kita memilih makan dengan keadaan telanjang (tidak berpakaian) yang berarti tidak menjaga martabat kita,” tuturnya.

Ia juga mencontohkan hal lain misalnya ketika orang Muslim yang memiliki wudhu lalu buang angin atau ketut. Dalam keadaan batal wudhu seperti itu, bukan lantas (maaf) dubur atau bagian belakang yang dibersihkan, tetapi kembali berwudhu dengan membasuh wajah (muka) sebagai simbol martabat diri manusia.

Wawan juga mengingatkan mengenai pentingnya menjaga benteng Nusantara jangan sampai mengalami seperti masa penjajahan dulu. Oleh karena itu, persatuan dan kesatuan anak bangsa sangat penting dalam menjaga benteng martabat Nusantara.

Suasana menjadi semakin hangat saat dialog dalam sarasehan yang diselingi tembang dan suluk oleh Ki dhalang Riko dan iringan gamelan Ngesthi Laras. (WN)