Memaknai Tradisi Megengan di Jawa

Oleh Ust. Dr. Sadin Subekti, ST.M. Kom

Di Masjid al-Muthahirin Kampus Poltekkes Kemenkes Surabaya.

Bapak Ibu dan saudaraku yang berbahagia…….

Dakwah di Indonesia utamanya di Jawa maka tidak terlepas dari akulturasi budaya, ini dikarenakan kondisi geografis Indonesia yang penduduknya pluralisme, baik suku, bahasa, dan budaya dan agama memiliki corak yang berbeda, sehingga dakwah multicultural adalah jawaban yang paling relevan dalam rangka memperbaiki pemahaman ajaran Islam maupun ekonomi serta aspek lainnya, begitu pesan Allah terhadap nabi Muhammad Saw. dalam kontek berdakwah:

وَمَآ اَرْسَلْنَا مِنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا بِلِسَانِ قَوْمِهٖ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ ۗفَيُضِلُّ اللّٰهُ مَنْ يَّشَاۤءُ وَيَهْدِيْ مَنْ يَّشَاۤءُ ۗوَهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ

Kami tidak mengutus seorang rasul pun, kecuali dengan bahasa kaumnya, agar dia dapat memberi penjelasan kepada mereka. Maka, Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki (karena kecenderungannya untuk sesat), dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki (berdasarkan kesiapannya untuk menerima petunjuk). Dia Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.(QS. Ibrahim {14}: 4)

Jawa khususnya menjelang bulan ramadhan adalah momentum untuk memperbaiki diri dari dosa dan kesalahan baik pada Allah Swt atau sesama manusia sebagai persiapan untuk menjemput datangnya bulan suci ramadhan yaitu adanya Megengan. Itu terjadi tidak hanya di Jawa saja tapi hampir diseluruh wilayah Indonesia melakukan itu meski dalam perspektif dan sebutan yang berbeda-beda. Megengan sendiri secara harfiah bisa dimaknai keagungan / kemulyaan lalu poso (jawa) artinya ngeposke roso artinya mengistirahatkan nafsu, tidak gampang marah, tidak ghibah, namimah,menyebarkan berita hoak, tidak berbuat hedonism.

Dalam perspektif Islam di Jawa maka Megengan dibagi menjadi 3 aspek yaitu:

  1. Berziarah ke makam saudara, orang tua dan leluhur yang telah meninggal dunia.
  2. Membbuata makanan yang akan diberikan kepada tetangga atau handai taulan.
  3. Mandi sekujur tubuh/keramas sebagai simbul kebersihan lahir dan batin

Pertama, Berziarah ke alam kubur adalah ajaran Islam yang dianjurkan sebagai bentuk identitas orang yang shalih, karena ciri orang yang shalih adalah senantiasa mendoakan orang tuanya atau leluhur  yang telah mendahuhlui kita. Selain berdoa juga membersihkan lingkungan makam agar terlihat bersih. Kemudian orang yang ada di alam kubur hakikatnya bukan orang mati tetapi dia hidup bahkan mendapat rizki (QS. Ali Imran: 169) FirmanNya:

وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ قُتِلُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ اَمْوَاتًا ۗ بَلْ اَحْيَاۤءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُوْنَۙ

  1. Jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati. Sebenarnya, mereka itu hidup dan dianugerahi rezeki di sisi Tuhannya.134)

134) Maksudnya adalah hidup di alam yang lain, bukan di alam dunia. Mereka mendapatkan berbagai kenikmatan di sisi Allah Swt. Hanya Allahlah yang mengetahui bagaimana keadaan hidup di alam lain itu.

 

Bagi orang yang berziarah juga bisa mengambil I’tibar atas orang yang mendahului kita. Selalu ingat kematian maka hakikatnya selalu mengingat Allah.

Kedua, Peristiwa megengan biasanya membuat makanan-makanan seperti membuat apem (bahasa Arab afwan) yaitu makanan yang berasal dari tepung beras dicaampur dengan gula, kemudian diberikan kepada sanak keluarga atau tetangga sebagai simbul silaturahim dan permohonan maaf atas kesalahan yang pernah dilakukan. Begitu juga setelah selesai puasa juga ada makanan yang berupa ketupat dan lepet juga diberikan kepada sanak dan family atau tetangga sebagai simbul kelepatan dan kalepetan (kesalahan dan kekeliruan), ini juga menu njukkan bahwa manusia tidak lepas dari salah dan dosa dimata Alah swt.

Ketiga, mandi keramas, meskipun mandi janabat tidak harus pada saat menjelang puasa tetapi apabbila ini menjadi tradisi juga akan menyempurnakan puasa kita, tidak hanya mensucikan secara fisik saja tetap juga membersihkan ruhani.

قَدْ اَفْلَحَ مَنْ زَكّٰىهَاۖ وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسّٰىهَاۗ

  1. sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu)
  2. dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.(QS. Asy-Syams {91}: 9-10)

 

 

Inilah model dakwah dengan akulturasi budaya yaitu budaya yang berbasiskan keislaman dengan budaya lokal akan menjadi sesuatu yang indah yang dilakukan oleh para Wali songo pada saat mengislamkan tanah Jawa seingga tanpa ada perlawanan yang berarti dan juga dakwah akulturasi budaaya juga diteruskan oleh penerus sampai saat sekarang ini utamanya adalah pengikut Ahlus sunnah wa al-Jamaah an-Nahdhiah (Nahadiyin) yang secara geonologi adalah keturunan para wali songo di Tanaha Jawa.

[1] Dosen Pengampu matakuliah agama Islam Poltekkes Kemenkes Negeri Surabaya

[2] Disampaikan pada saat kuliah subuh tanggal 03 april 2022M/1443H.