Putri Ong Tien dan Sultan Cirebon

 

Seorang putri muda, mutiara dari negeri tirai bambu, yang berparas cantik elok nan rupawan, pernah berlayar jauh dilautan nan luas, memburu sang kekasih pujaan hatinya dari negeri China ke Nusantara. Berikut ini k8sahnya :

Dia adalah Putri Ong Tien, pernah meninggalkan sebuah kisah indah yang romantis sebagai seorang istri dari ulama tinggi penyebar agama islam di Tanah Jawa, Syeikh Syarif Hidayatullah atau lebih di kenal dengan Sunan Gunung Jati, yang menjadikannya Ratu atau Putri Laras Sumanding yaitu sebutan Nyi Ong Tien di Keraton Kasepuhan Kesultanan Pakungwati Cirebon sekitar 600 tahun yang silam.

Ratu Laras Sumanding atau Nyi Ong Tien memang ada orangnya, karena jelas ada makamnya yang terdapat di Kompleks Pemakaman Gunung Sembung Cirebon. Tercatat nama lengkap kelahirannya Tan Hong Tien Nio (陈凤珍娘), walaupun ada yang mencatat sebagai Lie Ong Tien (李凤珍), tetapi bukan bermarga Ong (王) yang sering disalahkan karena juga disebut Ong Tien Nio. Entah Nyi Ong Tien bermarga Tionghoa atau apa, pastinya bukan keturunan Kaisar Ming Hong Gie (Hongxi 明洪熙) Zhu Gao Zhi (朱高炽) yang bermarga Zhu dan hidup dari tahun 1378 sampai 1425. Maharaja tersebut hanya setahun saja menggantikan Yongle Zhu Di ditahta, sudah wafat jauh sebelum kelahiran Nyi Ong Tien. Begitupun, Sunan Gunung Jati atau Syeikh Syarif Hidayatullah tidak mungkin pernah menemuinya di Cina, Tionghoa Ming (大明).

Sewaktu Syeikh Syarif dilahirkan di Kairo pada tahun 1448, Armada Ming pimpinan Cheng Ho sudah bubar 10 tahun dan perairan Tiongkok sudah disegel tertutup untuk pelayaran masuk keluar, lagi pula setelah penggusuran masal Muslim Tionghoa yang berturut-turut dari Teluk Zaitun, Quanzhou Hokkian dan Dali, Kunming Yunnan lebih dari seratus tahun sebelumnya, pusat Muslim Tionghoa sudah bergeser dari Tiongkok ke Indrapura (sekarang Da Nang) di Negeri Champa yang terletak dipertengahan Vietnam. Maka bukanlah ke China Tionghoa Ming yang Syeikh Syarif tuju, semestinya hanya ke Indrapura, Champa yang pada waktu itu memang adalah negeri bagian Tiongkok. Dari sana juga ada kedatangan putri-putri dari Cina seperti Ibundanya Raden Patah, Nyai Campa selir Brae Vijaya V, maupun Sunan Ampel dan lainnya yang dari Negeri Cina diabad 15.

Cerita pertemuan pertama antara Nyi Ong Tien dan Syeikh Syarif Hidayatullah itu sebagai fakta atau fiksi masih perlu banyak dikaji.

Salah satunya di ceritakan, Di masa Sunan Gunung Jati masih hidup, Areal Pemakaman Gunung Jati, dahulunya merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Cirebon selain Keraton, di gunung itulah para petinggi Kerajaan Cirebon merapatkan hal-hal penting tentang negara, dan agama. Ditempat itu pula dahulu terdapat masjid dan Dalem Pura (Istana). Berubahnya fungsi Gunung Jati yang semula menjadi pusat pemerintahan terjadi selepas kedatangan Putri Ong Tien, yaitu tepat setelah Satu tahun lebih dua puluh lima hari kedatangannya dari Negeri Cina.

Nyi Ong Tien tercatat dalam sejarah Cirebon merupakan salah satu Istri Sunan Gunung Jati, beliau berasal dari negeri Cina, dahulu ketika Sunan Gunung Jati mengembara ke Negeri Cina, dikisahkan beliau ditantang oleh ayah Ong Tien untuk menebak anaknya yang sedang hamil.

Penguasa Cina itu dikisahkan mempunyai dua orang putri, satu putri yang sedang hamil muda, sementara satunya lagi putri yang masih perawan, satu putrinya yang masih perawan itu bernama Ong Tien. Oleh ayahnya Ong Tien perutnya di isi bokor kuningan yang diikat selendang, sehingga penampilannya menyerupai orang sedang hamil.

Demi untuk mengetes kesaktian Sunan Gunung Jati, penguasa Cina itu dikisahkan menghadapkan kedua anaknya didepan Sunan Gunung Jati, sang sunan kemudian diperintah untuk menebak siapa yang sedang hamil.

Setelah melihat-lihat kedua putri itu, akhirnya Sunan Gunug Jati kemudian menebak bahwa Puti yang sedang hamil adalah Ong Tien. Mendengar jawaban dari Sunan Gunung Jati maka puaslah hati penguasa Cina itu, ia pun kemudian mengusir Sunan Gunug Jati, karena terbukti salah tebak dan tidak bisa menjawab tangtangannya dengan benar.

Perlu dipahami bahwa, selama di Negeri Cina, Sunan Gunung Jati ini banyak mengislamkan orang-orang Cina dengan keajaiban atau karomah yang dimilikinya, seperti menyembuhakan orang sakit demam dengan hanya mengusapkan tangannya dan lain sebagainya, sehingga waktu itu banyak orang Cina yang berbondong-bondong masuk Islam, kesaktian Sunan Gunug Jati waktu itu menjadi terkenal hingga sampai ke telingga ayahnya Ong Tien, dari itulah kemudian ayah Ong Tien memanggil Sunan Gunug Jati untuk di tes kesaktiannya.

Selepas di usir dari Cina oleh penguasa, Sunan Gunung Jati berlayar ke Cirebon, dan meninggalkan negeri itu untuk selama-lamanya.

Sementara itu di Istana, Ayah Ong Tien merasa puas karena menyelamatkan rakyatnya dari seorang penyebar agama jahat yang menjalankan dakwahnya secara licik dengan menipu menurutnya.

Tidak lama setelah kepergian Sunan Gunug Jati dari Istana, Sang Penguasa itu kemudian memerintahkan anak perawannya untuk melepaskan bokor yang melekat di perutnya, namun kejadian ajaib justru datang, bokor itu menghilang dan rupanya masuk keperut Ong Tien dan berubah menjadi busung, menyerupai orang hamil.

Mendapati kejadian aneh yang menimpa anaknya itu barulah si penguasa itu menyadari bahwa, orang yang ia usir itu rupanya benar-benar seorang Wali penyebar agama yang sakti. Ia pun kemudian memerintahkan prajuritnya untuk mendatangkan kembali Sunan Gunung Jati, namun prajuritnya tak dapat menemukan keberadaannya.

Sebenarnya dalam menyembuhkan anaknya dari penyakit aneh itu Ayah Ong Tien telah melakukan berbagai cara, mulai dari mendatangkan tabib hingga dukun, tapi tak ada satupun orang yang sanggup menyembuhkannya. Salah satu tabib bahkan memberitahukan bahwa yang dapat menyembuhkan Ong Tien hanyalah Sunan Gunung Jati sendiri.

Maka mendengar anjuran dari tabibnya, akhirnya Sang Penguasa itu kemudian memerintahkan anaknya untuk mencari Sunan Gunung Jati, ia diijnkan untuk tidak kembali ke negerinya, selepas peristiwa itu Ong Tien disertai pengawalnya kemudian berlayar meninggalkan negeri Cina menuju ke Cirebon untuk mencari keberadaan Sunan Gunung Jati.

Setelah beberapa lamanya waktu, ketika Sunan Gunung Jati sedang berada di Gunung Semar, ia mendapatkan kabar bahwa serombongan orang Cina mendarat di pelabuhan Muara Djati di Cirebon dan mencari keberadan Sunan Gunung Jati.

Pernikahan Sunan Gunung Jati pun akhirnya terjadi pula dengan seorang Putri yang berasal dari keturunan Dinasti Ming tersebut. Pernikahan Sunan Gunung Jati adalah salah satu bukti bahwa perkawinan merupakan cara yang efektif untuk mengikat hubungan politik.

Dalam rangka memperkuat kekuatan politik, jalur perkawinan merupakan jalan yang lazim
dijalani oleh para penguasa untuk memperkuat hubungan diplomatis dengan penguasa
lain, pernikahan dengan Putri Ong Tien contohnya. Dari pernikahan ini, Kesultanan Cirebon memiliki banyak peninggalan khas dari Negeri China yang sengaja merupakan hadiah pemberian dari penguasa Cina yaitu ayahandanya Ong Tien untuk Sunan Gunung Jati. Seperti halnya yang ada di Keraton Kaprabonan Cirebon, yang berpendapat bahwa adanya pengaruh dari China dibuktikan dengan banyaknya ornamen keramik khas China yang terdapat didinding Keraton.

Berbagai hiasan keramik China di dinding keraton ini terdapat di sebagian besar di Keraton Kasepuhan Cirebon, bukti dari adanya hubungan antara Kesultanan Caruban dengan kerajaan di China pada masa itu.

Istri Sunan Gunung Jati, Putri Ong Tien, konon ternyata juga seorang yang sangat menyukai Petis yaitu makanan berwana hitam pekat yang terbuat dari ebi atau udang kecil.

Menurut filolog Cirebon, Opan Rahman Hasyim mengatakan, kedatangan Putri Ong Tien ke Cirebon ketika itu disambut meriah dengan tari-tarian dan makanan yang enak-enak. Satu dari makanan yang terhidang dan langsung memikat atau menarik perhatian Ong Tien adalah Petis. Petis adalah sejenis makanan yang bahan dasarnya terbuat dari Terasi.

Saking sukanya, Putri Ong Tien sempat dijuluki sebagai Ratu Petis. Mengetahui istrinya menyukai petis, Sunan Gunung Jati memfasilitasinya dengan selalu menyediakan petis. Bahkan di setiap kesempatan, petis selalu hadir sebagai teman makan atau pelengkap hidangannya di kala Ong Tien makan. Sehari-hari selalu ada, disandingkan dengan makanan lainnya, setiap menu harus ada petis. Ong Tien itu paling disayang Sunan Gunung Jati.

Petis disinyalir berasal dari negeri Tiongkok dan sudah ada jauh sebelum kedatangan Ong Tien ke Cirebon. Karena sebelumnya wilayah Nusantara pernah berhubungan dengan negeri Tiongkok yaitu dengan Laksamana Cheng Ho.

Berdasarkan beberapa sumber sejarah, Mbah Kuwu Cirebon sekaligus paman Sunan Gunung Jati yang babad alas pertama kali diketahui sudah lama membuat Terasi.

Terasi sejak dahulu kala sebagai komoditas dagang yang bernilai tinggi. Terbukti terasi dan garam Cirebon pernah dijadikan sebagai upeti yang diserahkan kepada Kerajaan Padjadjaran.

Sebagaimana diketahui bahwa, perkawinan Nyi Ratu Lara Santang atau Syarifah Muda’im dengan Syarif Abdillah penguasa Kota Isma’illiyah, telah dikaruniai dua orang putra yaitu Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah.

Sejak usia Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah masih belia, ayahandanya telah
menekankan agar menimba ilmu dari siapa saja ulama yang mereka gurui dengan
sungguh-sungguh. Kemungkinan diantara keduanya berlainan dalam memilih guru, ulama yang diketahui menjadi guru Syarif Hidayatullah adalah SyekhTajmuddin Al Kubro dan Syekh Ataillah Sadzali. Bidang ilmu yang dipelajari pun tidak berkisar tentang ilmu-ilmu agama dan ilmu sosial saja, ia juga mempelajari ilmu tasawuf dari ulama-ulama Baghdad.

Sementara itu, Abdullah Iman/Walangsungsang menyiarkan agama Islam di Caruban dan lambat laun banyak orang memeluk Islam hingga Abdullah Iman atau Mbah Kuwu Cirebon mendirikan Masjid Jelagrahan dan rumah besar.

Masjid Jelagrahan ini adalah masjid pertama di Cirebon dan masih ada sampai sekarang keberadaannya. Hingga saat ini perkembangan Caruban masih signifikan didalam wilayah Caruban dengan makin banyaknya pemeluk Islam.

Perkawinan Walangsungsang dengan Nyai Endang Geulis dikaruniai seorang putri yang kemudian diberi nama Nyai Pakungwati. Nama Pakungwati pulalah yang dijadikan nama keraton pertama yang dibangun oleh Walangsungsang.

Keraton Pakungwati ini adalah cikal bakal berdirinya Keraton Kasepuhan yang
dipimpin oleh Syarif Hidayatullah/Sunan Gunung Jati. Hal ini terjadi karena
sesampainya Syarif Hidayatullah di Caruban, ia dijodohkan dengan Nyai Pakungwati dan mendirikan Keraton Kasepuhan sebagai keraton utama, Keraton Pakungwati kemudian berada di sebelah barat Keraton Kasepuhan sekarang yang selanjutnya pemerintahan Cirebon diteruskan oleh keturunan Sunan Gunung Jati secara turun-temurun.

Seperti kutipan dari buku Babad Tanah Sunda Babad Cirebon dibawah ini :

“…Syahdan pada suatu hari para murid pada berkumpul. Ki Kuwu sudah menghadap. Pangeran Panjunan, Pangeran Kejaksan, Syekh Datuk Kahfi, Syekh Majagung, Syekh Lemah Abang, Syekh Bentong, Syekh Magrib dan
para Gegedeng sudah pada datang. Ki Kuwu berkata,”Sekarang Rama memasrahkan putri saya nama Ratna Pakung Wati dan keratonnya berikut seluruh wilayah Cirebon yang dapat Babakyaksa/membangun si Rama pribadi, terimalah semuanya, semoga putra menjabat sebagai Nata/Raja Cirebon memangku Keraton Pakung Wati.” Jeng Maulana menerimanya
menurut kehendak Rama Uwa/Pak dhe. Berkata Pangeran Panjunan,”Pla si Raka (Kakak) menyerahkan adik Siti Baghdad serombongannya berikut Dukuh Panjunan serakyatnya, hanya semoga rakyat Panjunan diberi tanah untuk penghidupannya (tanah liat untuk membuat keramik) seturunannya, oleh karena si Raka mau pergi bertapa.” Syekh Datuk Kahfi dan Pangeran Kejaksan pula menyerahkan penganut-penganutnya, Jeng Maulana menerimanya. Ki Kuwu berkata, ”Putra semoga memasuki Keraton Pakung Wati dan hari besok dinobatkan.” Jeng Maulana menyetujuinya. Segera dari Gunung Jati Jeng Maulana diiring oleh rombongan segenap para murid, para Syekh, para Pangeran, para Gegedeng, bertolak ke Keraton Pakung Wati, datang sudah didalam Keraton. Ki Kuwu bergembira sekali menyelenggarakan hidangan
kehormatan, dan malam jumat Jeng Maulana lalu menikah dengan Putri Sri Mangana yang bernama Pakung Wati. Jeng Maulana Insan Kamil atau Sunan Gunung Jati seba’danya nikah pada waktu tengah malam pergi ke Gunung Jati shalat hajat empat rokaat, semoga keridhoan Allah menjadi Nata/Raja mohon terus langsung seketurunannya dan ridha-Nya bumi suka Negara …”

Kutipan di atas menceritakan tentang pernikahan Syarif Hidayatullah yang
kemudian dijuluki Sunan Gunung Jati dengan putri dari Kuwu Cerbon/Pangeran Walangsungsang/Pangeran Cakrabuana, Nyai Pakungwati. Pernikahan ini dilangsungkan dihadapan para penguasa Caruban sekaligus penyerahan Keraton Pakungwati dan wilayah disekitar Caruban untuk kemudian menjadi dibawah kekuasaan Syarif Hidayatullah sebagai pemimpin Cirebon selanjutnya. Para
penguasa ini memiliki nama julukan sesuai dengan nama daerah tempat bersemayamnya, seperti Panjunan, Kejaksan, dsb. Selain para penguasa Caruban, pernikahan ini disaksikan juga oleh para Wali.

Kutipan diatas juga memberi beberapa fakta tentang beberapa nama tokoh yang terlibat dalam pernikahan Syarif Hidayatullah dengan Nyai Pakungwati. Fakta yang pertama adalah nama lain dari Pangeran Walangsungsang adalah Sri Mangana, Ki Kuwu, Pangeran Cakrabuana, dan Haji Abdullah Iman. Terakhir
adalah nama lain dari Syarif Hidayatullah adalah Sunan Gunung Jati, dan Maulana Insan Kamil. Penyebutan nama ini sering berubah-ubah sesuai dengan kondisi tertentu, dimana orang yang dimaksud tetap orang yang sama.

Kutipan selanjutnya dari Babad Tanah Sunda Babad Cirebon yang menceritakan tentang berdirinya Keraton Kasepuhan adalah sebagai berikut :

“… Jeng Maulana sudah dikabul hajatnya oleh Allah keridhoannya jadi Nata/Raja, lalu pulang ke Keraton Pakung Wati terus shalat subuh dalam Masjid Jelagrahan. Seluruh para Wali dan Wadya Cirebon sudah berkumpul, para Pangeran, para Gegedeng, dan Ki Kuwu Sri Mangana, setelah Jeng Maulana/Syarif Hidayatullah dinobatkan oleh Wali Sang Jawa Dwipa sebagai Kepala Negara Cirebon, antara ba’da Jum’at mengumumkan kepada khalayak ramai, bahwasannya Jeng Maulana Insan Kamil menjabat sebagai Yang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panata Agama Aulya Allah Kutubijaman Kolifaturrasulullah s.a.w., pada tahun 1479 M. Patih Keling diangkat menjadai patihnya disebut Dipati Suranenggala, Pepatih Dalem Kanjeng Sinuhun Susuhunan Cirebon. Jeng Maulana sesudah
dinobatkan sebagai Yang Sinuhun. Kanjeng susuhunan Cirebon yang bersemayam di Keraton Pakung Wati Cirebon. Antara hari kemudian membangun tembok keliling keraton. Susuhunan Cirebon diakui pula oleh
Wali Sanga Jawa Dwipa sebagai Panetep Panata Agama seluruh Sunda. Sejak tahun ini pula Cirebon memberhentikan upeti tahunannya kepada Pajajaran dan Rajagaluh. Pada tahun ini pula Wali Sanga Jawa Dwipa
mengakui Raden Patah sebagai Sultan Demak. Namun, Brawijaya Majapahit masih mengakui Negara Demak sebagai Negara bagian Majapahit, hanya Majapahit tidak mengadakan tindakan apa-apa…”

Pengangkatan Syarif Hidayatullah menjadi Sultan di Cirebon disaksikan para anggota Walisongo menandakan bahwa Cirebon sudah memiliki hubungan dengan kekuatan Islam lainnya disepanjang Jawa. selain itu, gelar yang didapat Sunan Gunung Jati sebagai Penata Agama wilayah Sunda menandakan bahwa kekuatan Islam yang disimbolkan dengan berdirinya Kesultanan Cirebon adalah
bentuk nyata proses pengislaman yang dilakukan ditanah Jawa umumnya, tanah
sunda khususnya. Selain berperan sebagai mubaligh di wilayah Cirebon untuk mengembangkan Islam ke seluruh Jawa Barat, Sunan Gunung Jati juga berperan
memegang kekuasaan Cirebon diistana Pakungwati, Negara Caruban. Sunan Gunung Jati juga mendapat gelar sebagai Wali Kutub setelah ada kesepakatan diantara dewan Walisongo.

Penobatan wali kutub Sunan Gunung Jati ini merupakan hal yang sudah lama direncanakan para mubaligh Islam. Strategi perluasan Islam oleh para mubaligh yang kebanyakan keturunan Nabi Muhammad S.A.W. ini termasuk di wilayah Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Oleh karena itu, para tokoh penyebar Islam ini menghendaki pengangkatan Sunan Gunung Jati sebagai wali kutub dari daerah masrik/timur yang berkedudukan di Cirebon.
Pengangkatan Sunan Gunung Jati dilakukan setelah wafatnya wali kutub dari daerah magrib/barat Syekh Abdul Qadir Jaelani.

Pernikahan Sunan Gunung Jati yang disertai penyerahan kekuasaan Pangeran Cakrabuana ke Sunan Gunung Jati juga menjadi penanda bahwa pada sekitaran tahun 1479 Negara Cirebon telah merdeka. Langkah besar yang diambil Sunan Gunung Jati adalah pada tahun 1483 menghentikan pengiriman bulubekti/upeti berupa garam dan terasi pada Kerajaan Pakuan Pajajaran. Hal ini direstui oleh Pangeran Cakrabuana dan mendapat dukungan para walisongo. Dengan pemberhentian upeti Cirebon pada Pajajaran maka Kesultanan Cirebon dibawah kepemimpinan Sunan Gunung Jati merdeka dan tidak berada dibawah pengaruh Kerajaan Pajajaran yang Hindu.

Pada tahun 1478 M pula Walisongo mengakui Raden Patah sebagai Sultan Demak, akhirnya Kesultanan Demak berdiri pada 1478 menjadi kerajaan Islam pertama di Jawa. Hal ini menandakan pengaruh Walisongo sangat besar dalam perkembangan agama Islam di Jawa. Baik di Demak maupun di Cirebon,
Walisongo hadir dalam upacara-upacara penting. Penghentian upeti Cirebon pun
merupakan salah satu buah pikiran para Walisongo untuk menandakan berdirinya
panji-panji Islam di Tanah Jawa umumnya, di Cirebon Khususnya.

Menurut Kitab Purwaka Caruban Nagari dua tahun setelah Syarif Hidayatullah lahir, Syarifah Muda’im kembali melahirkan Syarif Nurullah. Tidak lama kemudian ayahandanya, Syarif Abdillah meninggal dunia. Sepeninggal
Syarif Abdillah, Kesultanan Mesir untuk sementara dilimpahkan kepada saudaranya Mahapatih Unkha Djutra dengan gelar Raja Onkah. Kedua pangeran ini belum cukup umur untuk memimpin Kesultanan Mesir.

Sedangkan menurut buku Sejarah Kerajaan Tradisional Cirebon, Syarif Abdillah meninggal saat usia Syarif Hidayatullah menginjak usia dua puluh tujuh tahun. Sebagai putra tertua, Syarif Hidayatullah ditunjuk untuk menggantikan ayahandanya memerintah dikota Isma’illiyah,34 akan tetapi Syarif Hidayatullah telah bertekad untuk melaksanakan harapan ibundanya Syarifah Muda’im/Lara Santang untuk menjadi mubaligh di tanah Jawa, di Caruban khususnya, akhirnya kekuasaan Kesultanan Mesir dilimpahkan ke adiknya, Syarif Nurullah.

Antara kedua buku diatas ada perbedaan tentang usia Syarif Hidayatullah dan kematian Syarif Abdillah beserta pelimpahan kekuasaannya. Usia Syarif Hidayatullah saat kematian Syarif Abdillah masih harus dikaji lebih mendalam karena belum ada kejelasan. Tentang pelimpahan kekuasaannya juga bisa jadi dari Syarif Abdillah turun ke Raja Onkah (Maha Patih Kesultanan Mesir) lalu setelah
usianya mencukupi baru dilimpahkan kembali kepada Syarif Nurullah. Sedangkan Syarif Hidayatullah kembali ke Caruban bersama Syarifah Muda’im/Lara Santang. Syarif Hidayatullah dan Syarifah Muda’im kembali ke Caruban beberapa bulan setelah pengangkatan Syarif Nurullah sebagai Sultan Mesir.

Seperti dikutip dalam kitab Purwaka Caruban Nagari berikut ini :

“… kemudian Ki Syarif kembali pulang kembali ke negerinya (Mesir). Sang Mahapatih Unkha Jutra yang menjabat sebagai kedudukan ayahandanya almarhum –Syarif Hidayatullah- menyerahkan kepadanya pemerintahan dan
kepemimpinan agama Islam di seluruh Kerajaan Mesir. Sedangkan untuk kepemimpinan agama Ki Syarif diberi nama Ibrahim. Beliau (Unkha Jutra) berkata pada Ki Syarif, “putraku, terimalah kedudukan ayahmu sebagai Sultan Mesir dan uruslah rakyat sebaik-baiknya.”

Dibalas oleh Syarif Hidayatullah dengan hormat, “betul paman, akan tetapi maafkanlah saya, seyogyanya adik saya Nurullah yang menjadi Sultan Mesir, kesukaanku adalah mengabdi kepada Ilahiku, saya berkehendak
menyiarkan Agama Islam di Jawa Dwipa.”

Menuruti kehendak Syarif Hidayatullah, maka adiknya dinobatkan menjadi Raja Mesir bergelar Sultan Syarif Nurullah, kemudian Syarif Hidayatullah yang telah diberi nama Sayid al Kamil oleh gurunya di Mekah bertolak menuju Jawa.

Menurut data yang diuraikan diatas, Syarif Hidayatullah lahir pada tahun 1448 M dan wafat pada tahun 1568 M dalam usia 120 tahun. Data sejarah lain dibuku Babad Tanah Sunda Babad Cirebon menyatakan bahwa berdirinya Kesultanan Cirebon yang bersemayam di Keraton Kasepuhan adalah seiring pengangkatan Sunan Gunung Jati sebagai Sultan pertama menggantikan Pangeran Cakrabuana/Kuwu Cerbon yaitu pada tahun 1479 M. Maka dari itu, berarti usia

Syarif Hidayatullah ketika diangkat menjadi Sultan Cirebon adalah kurang lebih
saat beliau menginjak umur 31 tahun. Saat pengangkatan, Syarif Hidayatullah pun
mulai dikenal dengan julukan Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati adalah Sultan pertama di Negeri Caruban karena penguasa sebelumnya Pangeran Cakrabuana hanya menjadi penguasa daerah bergelar Kuwu Cerbon.

Pengangkatan Sunan Gunung Jati menjadi Sultan Cirebon adalah momen titik balik berkembangnya Islam di Cirebon. Karena kedudukannya sebagai Raja dan ulama, maka Sunan Gunung Jati diberi gelar Raja Pandita.

Sunan Gunung Jati didaulat menjadi Panata Agama Islam yang bertugas menyebar luaskan Islam di seluruh Tanah Sunda dibantu para walisongo dalam pengislaman seluruh Jawa.
Sunan Gunung Jati adalah pendiri dinasti raja-raja Cirebon dan juga kemudian Banten.
Kedaulatan Kesultanan Cirebon mencapai puncaknya ketika dibawah kepemimpinan Sunan Gunung Jati merata keseluruh daerah bawahan Pajajaran.

Pada tahun 1482 M Pangeran Cakrabuana mendapat warisan Kerajaan Pajajaran
setelah prabu Siliwangi wafat, setelah itu Pangeran Cakrabuana memberikan tahta
kerajaan pada Sunan Gunung Jati. Oleh karena itu, daerah kekuasaan Pajajaran kemudian berada dibawah Cirebon dan membuat kedaulatan Cirebon sebagai kerajaan Islam di Jawa Barat semakin kuat.

Meskipun sebagian besar wilayah bawahan Pajajaran telah berada di bawah Cirebon, tetapi Raja Galuh merupakan kerajaan yang masih merdeka. Raja Galuh merupakan daerah di sebelah barat Cirebon yang masih memegang ajaran Hindu. Akan tetapi pada tahun 1528 M, Kesultanan Cirebon berhasil memenangkan peperangan dengan Raja Galuh yang kemudian makin memperkuat kedaulatan Cirebon.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, Sunan Gunung Jati merupakan pendiri dinasti di Kesultanan Cirebon setelah pengangkatannya pada tahun 1479 M. Pengangkatan beliau sebagai Sultan juga berperan sebagai ulama
yang bergelar “Sunan Gunung Jati” berkedudukan di Cirebon.

Dari berbagai sumber :
– Sejarah Cirebon.
https://www.historyofcirebon.id/2018/12/.
– Ayocirebon.com Jumat (6/7/2018).
– Biografi Sunan Gunung Djati
DR. H. Wawan Hernawan, M.Ag.
Dr. H. Ading Kusdiana, M.Ag.
LP2M UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Gambar ilustrasi : Raden Ampo.